Sunatullah

(Ar.: sunnah Allah)

Secara etimologis, kata sunnah Allah terdiri dari sunnah –yang berarti: at-Thariqah (jalan, cara, metode); as-sirah (perikehidupan, perilaku); at-thabi‘ah (tabiat, watak); asy-syari‘ah (syariat, peraturan, dan hukum); serta al-hadits (hadis)– dan Allah. Secara terminologis, sunatullah berarti ketentuan, hukum, atau ketetapan Allah SWT yang berlaku di alam semesta. Sunatullah biasanya disebut juga hukum alam.

Sejak alam ini diciptakan, Allah SWT sudah menentukan hukumnya, sehingga alam bertingkah laku sesuai dengan hukum yang ditetapkan tersebut. Tunduk dan patuhnya alam terhadap hukum yang ditetapkan Allah SWT diterangkan dalam Al-Qur’an surah an-Nahl (16) ayat 12 yang berarti:

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).”

Kepatuhan alam semesta terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah SWT bukan karena keterpaksaan, tetapi betul-betul suka rela seperti diterangkan Allah SWT dalam surah Fussilat (41) ayat 11 yang berarti:

langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.’”

Karena tunduk dan patuh pada aturan dan hukum Allah SWT, alam semesta selalu bertingkah laku sesuai dengan aturan dan hukum tersebut. Tingkah laku alam ini bersifat tetap, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT yang berarti: “Sebagai suatu sunatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu” (QS.48:23).

Mengenai sunatullah ini, HAMKA juga mengatakan bahwa keadaan sunatullah itu sama dengan air hilir. Ia pasti menuruti aturan yang ditetapkan Allah SWT, yaitu mengalir ke tempat yang lebih rendah, mengisi tempat yang kosong yang didapatinya dalam pengaliran itu.

Setelah tempat yang kosong itu dipenuhi, aliran selanjutnya menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya menuju lautan. Peraturan Alam semesta tunduk dan patuh pada aturan dan hukum Allah SWT ini tidak dapat diganti, misalnya air itu mendaki ke udik, ke tempat yang lebih tinggi.

Karena alam ini diatur oleh sunatullah dan bertingkah laku tetap, manusia dapat melakukan penelitian dan pengkajian terhadap gejala alam. Dari penelitian dan pengkajian tersebut, manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan alam (sains) yang dapat disepakati masyarakat ilmuwan.

Ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan milik kolektif manusia. Siapa pun yang melakukan penelitian terhadap masalah yang sama dengan metode yang sama akan memperoleh hasil yang sama. Tanpa adanya sunatullah dalam alam manusia tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kealaman, karena tanpa sunatullah kelakuan alam tidak dapat dipelajari dan dikaji.

Dengan adanya sunatullah ini pula manusia dapat memanfaatkan alam dan dapat merumuskan teori sains, seperti teori gravitasi Isaac Newton (1642–1727), teori relativitas Albert Einstein (1880–1952), teori astronomi, geografi, kimia, dan kedokteran.

Daftar Pustaka
Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka, 1983.
HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
Ibnu Kasir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Jauhari, Tantawi. al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an. Cairo: Dar al-Babi al-Halabi, 1350 H/1931 M.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Beirut: Dar Ihya at-Turas al-Arabi, 1985.
Nasr, Sayyed Husein. Science and Civilization in Islam. New York: American Library, 1970.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-ManÎr. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

A HAFIZH ANSHARI A.Z.