Nama “fir’aun” berasal dari kata Yunani, pharaoh, yang berarti “rumah yang agung”, yang merujuk kepada istana raja-raja Mesir Kuno yang megah dan agung, dan kemudian berkembang menjadi gelar bagi raja yang memerintah Mesir Kuno.
Raja Menes adalah raja Mesir Kuno pertama yang disebut fir’aun. Untuk pertama kalinya ia berhasil mempersatukan seluruh wilayah Mesir Kuno menjadi satu negara kesatuan sekitar milenium (alaf) ke-3 SM.
Pembangunan peradaban Mesir Kuno –salah satu peradaban manusia pertama di dunia–dimungkinkan berkat dukungan air Sungai Nil yang melimpah, sehingga manusia yang berdiam di sekitar sungai itu dapat mengolah tanah tanpa tergantung pada musim hujan. Lembah subur di tepian Nil merupakan faktor alam utama yang melahirkan peradaban Mesir Kuno. Menguasai Sungai Nil berarti menguasai sumber perdagangan dan pertanian Mesir yang merupakan aset ekonomi terpenting pada masa itu.
Dengan menguasai Sungai Nil inilah para fir’aun memperkuat dominasi kekuasaannya atas bangsa Mesir Kuno. Dominasi fir’aun ini juga didukung lembah Sungai Nil yang dikelilingi gurun pasir, pegunungan, dan lautan di semua sisi sehingga tidak mudah diterobos kekuatan asing, dan oleh sistem kota kecil dan perkampungan.
Fir’aun adalah raja yang sangat kuat pada zaman Mesir Kuno. Mereka adalah pemimpin politik dan keagamaan bagi rakyat Mesir yang bergelar “Raja dari Dua Daratan” dan “Pendeta Setiap Kuil”. Disebut “Raja dari Dua Daratan”, karena para fir’aun menguasai Mesir Hulu di wilayah bagian selatan dengan ibukota Thebes (Luxor) dan Mesir Hilir di wilayah utara dengan ibukota Memphis.
Fir’aun adalah pemilik seluruh daratan Mesir, pembuat hukum, pengumpul pajak, dan pembela Mesir dari ancaman pihak asing. Disebut “Pendeta dari Setiap Kuil”, karena fir’aun diyakini sebagai wakil Tuhan di bumi. Fir’aun menggelar berbagai upacara ritual peribadatan dan membangun kuil untuk menghormati para dewa.
Fir’aun mencitrakan diri sebagai pejuang perkasa yang berbadan tinggi tegap dan berbahu lebar yang mampu mengalahkan musuh. Mereka mengobarkan perang ketika ada ancaman dari luar atau ingin menaklukkan daerah lain. Apabila fir’aun memenangkan peperangan, rakyat yang ditaklukkan harus mengakuinya sebagai penguasa mereka dan harus mempersembahkan barang terbaik dan paling berharga dari negeri mereka.
Dominasi dan kekuasaan para fir’aun begitu luas dan kuat karena mereka adalah pemilik, pengatur, dan penguasa seluruh negara dan wilayahnya. Fir’aun mengalirkan air ke area pertanian penduduk dan mengontrol seluruh kegiatan produksi serta distribusi, baik barang maupun jasa. Al-Qur’an surah az-Zukhruf (43) ayat 51 merekam tingkah laku pongah fir’aun ini,
“Dan fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?’”
Dengan kekuasaan ini para fir’aun tidak mengalami kesulitan untuk menekan dan mengendalikan rakyatnya. Kekuasaan absolut inilah yang memungkinkan para fir’aun leluasa melakukan apapun yang mereka inginkan. Para fir’aun itu mencitrakan diri sebagai makhluk suci karena memiliki kekuasaan sangat besar dan sanggup mencukupi semua kebutuhan rakyat.
Semua usaha para fir’aun itu didorong ambisi mereka untuk menandingi pengejawantahan dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir Kuno yang politeis. Bahkan para fir’aun menganggap diri mereka sebagai Tuhan.
Dalam Al-Qur’an surah an-Nazi‘at (79) ayat 24 disebutkan bahwa fir’aun berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Al-Qur’an surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 29 juga merekam perkataan fir’aun ketika ia mengancam Nabi Musa AS dengan mengatakan, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.”
Selanjutnya, dalam Al-Qur’an surah al-Qassas (28) ayat 39 disebutkan bahwa fir’aun juga berkata kepada orang di sekelilingnya, “Aku tidak mengetahui tuhan selain aku.”
Fir’aun dan bangsa Mesir Kuno menganut kepercayaan politeis (banyak tuhan), dan tuhan digambarkan dalam bentuk manusia berkepala binatang. Mereka percaya akan keabadian jiwa. Roh manusia akan tetap hidup setelah jasadnya mati.
Mereka juga percaya adanya hari akhirat, ketika kualitas amal perbuatan roh tersebut “ditimbang”, mereka yang baik dibawa ke tempat yang indah dan hidup bahagia, sedangkan bagi mereka yang jahat dikirim ke tempat buruk dan disiksa.
Sepanjang sejarah imperium Mesir Kuno yang diperintah 31 dinasti di bawah raja-raja yang dikenal sebagai fir’aun, salah seorang di antaranya mengembangkan ajaran monoteis yaitu Fir’aun Amenhotep IV (1375–1358 SM).
Ia dinilai memiliki sikap dan pandangan yang berseberangan dengan konservatisme dan tradisionalisme ajaran politeis yang berlangsung berabad-abad, karena melakukan berbagai perubahan radikal dalam berbagai bidang. Karena itu, ia kemudian tewas diracuni mereka yang merasa terancam oleh kebijakannya, khususnya di kalangan para pendeta.
Setelah kematiannya, kepercayaan politeisme kembali menjadi kepercayaan resmi dan dipertahankan terus sampai pada kekuasaan Fir’aun Ramses II (1300–1234 SM). Dialah fir’aun yang paling lama berkuasa dan pada masa kekuasaan Ramses II inilah Nabi Musa AS diutus oleh Allah SWT.
Secara umum, Al-Qur’an menggambarkan fir’aun sebagai figur manusia yang begitu terpesona oleh kekuasaan yang dimilikinya sehingga tidak mampu melihat kebenaran. Para fir’aun dikenal bersifat brutal, menindas, suka berperang, dan bengis. Al-Qur’an surah al-Qasas (28) ayat 3–4 menjelaskan,
“Sesungguhnya fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya fir’aun termasuk ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Pada bagian lain, Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 49 menjelaskan, “Mereka [fir’aun dan pengikutnya] menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya.” Atas dasar ini fir’aun dicap sebagai orang yang mendustakan dan mengingkari ayat Tuhan, dan karena itu para fir’aun akan disiksa dengan siksaan yang keras (QS.3:11; 8:52 dan 54).
Sekalipun dua nabi diutus Allah SWT untuk meluruskan dan memperingatkan fir’aun dan kaumnya, mereka tetap tidak mengikuti kebenaran, bahkan mereka berkata,
“Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan pernah beriman kepadamu” (QS.7:132).
Karena pengingkaran itu Tuhan kemudian menghukum (fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran (QS.7:130); dan mengirim kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak, dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa (QS.7:133).
Sampai menjelang akhir hidupnya, fir’aun tetap sombong dan atas kesombongannya itu, Allah SWT kemudian menenggelamkan fir’aun dan bala tentaranya. Ketika melihat dengan jelas tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, pada saat itulah fir’aun baru berkata,
“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS.10:90).
Untuk terakhirnya Tuhan menegur fir’aun dengan berkata, “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS.10:91).
Setelah fir’aun tenggelam, mayatnya terdampar di pantai, ditemukan orang Mesir, lalu dibalsem sehingga awet dan utuh. Sekarang mumi fir’aun ini dapat dilihat di Museum Mesir. Al-Qur’an merekam kejadian itu: “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami” (QS.10:92).
Peradaban Mesir terbagi dalam tiga periode: Kerajaan Tua (2700–2150 SM), Kerajaan Pertengahan (2040–1640 SM), dan Kerajaan Baru (1570–1085 SM). Kemunduran dinasti fir’aun diawali sejak 1085 SM, ketika Mesir dilanda kekeringan dan tidak mampu lagi mengairi daerah-daerah pertaniannya yang luas sehingga terjadi kelaparan yang melanda seluruh kawasan kerajaan Mesir.
Keadaan ini diperparah lagi dengan serangan kekuatan asing, yakni pasukan Libya. Peradaban Mesir Kuno berakhir pada tahun 525 SM setelah Kekaisaran Persia menaklukkan dan menguasainya.
Daftar Pustaka
Arifin, Bey. Rangkaian Cerita dalam Al-Qur’an. Bandung: al-Ma‘arif, 1986.
Audah, Ali. Konkordasi Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an. Bogor dan Bandung: Lentera Nusa dan Mizan, 1997.
Yahya, Harun. Negeri-Negeri yang Musnah: Pembuktian Arkeologis dan Historis atas Kehancuran Kaum-Kaum yang Dimurkai Allah. Bandung: Dzikra, 2002.
Rifki Rosyad