Kaidah fikih adalah istilah yang digunakan ahli fikih untuk pengembangan cakupan suatu hukum. Dalam kitab usul fikih, digunakan istilah qawa‘id fiqhiyyah dan dhawabith fiqhiyyah. Qawa‘id (jamak: qa‘idah [kaidah]) berarti dasar sesuatu, dan dhawabith (jamak: dhabith) berarti ikatan, keterkaitan, dan kemestian.
Ada beberapa definisi kaidah fikih yang dikemukakan ulama. Tajuddin as-Subki, seorang ulama dari Mazhab Syafi‘i, mengatakan bahwa kaidah fikih adalah suatu acuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum dari kebanyakan persoalan parsial.
Sa‘aduddin Mas‘ud bin Umar at-Taftazani (722 H/1322 M–791 H/1389 M), ulama Syafi‘i lainnya, mengatakan kaidah fikih adalah ketentuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan parsial. Perbedaan kedua definisi tersebut terletak pada cakupannya.
Menurut as-Subki, tidak semua persoalan parsial dicakup oleh kaidah itu. Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan atau mayoritas persoalan parsial”. Definisi ini banyak diikuti para ahli fikih dan usul fikih. Adapun definisi at-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang dapat dicakup kaidah fikih.
Beberapa ulama fikih/usul fikih membedakan definisi kaidah fikih (qawa‘id fiqhiyyah) dari dhabith fikih (dhawabith fiqhiyyah). Mereka berpendapat bahwa kaidah fikih merupakan suatu ketentuan yang berlaku untuk berbagai masalah fikih, sedangkan dhabbith fikih adalah ketentuan yang hanya berlaku pada satu bab fikih.
Kaidah fikih yang mengatakan “al-masyaqqah tajlib at-taisir” (kesulitan itu membawa kepada kemudahan), misalnya, mempunyai cakupan yang luas, yakni berlaku dalam bidang ibadah maupun muamalah. Adapun dalam dhabith fikih, misalnya, dikatakan bahwa “setiap ketentuan kafarat (denda yang dikenakan karena melanggar ketentuan syariat) yang penyebabnya adalah maksiat harus dilaksanakan segera”.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk bab kafarat, tidak pada bab fikih lainnya. Contoh dhabith fikih lain adalah “setiap air yang belum berubah dalam hal salah satu sifatnya (warna, bau, dan rasanya) dianggap suci” dan dalam bidang muamalah, khususnya dalam jual beli pesanan, dikatakan bahwa “setiap barang yang bisa diukur kriterianya, bisa dijadikan objek as-salam (jual beli pesanan)”.
Ketentuan itu hanya berlaku untuk babnya masing-masing; contoh pertama hanya berlaku dalam bab air, sedangkan contoh kedua hanya berlaku dalam jual beli pesanan.
Oleh sebab itu, dijumpai beberapa buku yang secara khusus membahas dhabith fikih, antara lain al-Fawa’id az-Zayyinah fi Fiqh al-Hanafiyyah karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/1562 M), ahli fikih Mazhab Hanafi (kitab ini masih berbentuk manuskrip di Perpustakaan al-Haram al-Makki di Mekah); al-Kulliyyat fi al-Fiqh karya Muhammad bin Abdullah al-Miknasi (839 H/1436 M–917 H/1511 M), seorang ahli fikih Mazhab Maliki.
al-Qawa‘id oleh al-Maqarri (w. 758 H/1357 M), seorang ahli fikih Mazhab Maliki; dan al-Istigna’ fi al-Furuq wa al-Istitsna’, sebuah kitab dhabith fikih yang paling komprehensif karya Badruddin Muhammad bin Abu Bakar al-Bakri, seorang ahli fikih Mazhab Syafi‘i (masih berbentuk manuskrip di Perpustakaan Ahmad III di Turki dan mikrofilmnya terdapat di Universitas Umm al-Qura, Mekah).
Di samping istilah dhabith fikih, ditemui juga istilah nazariyyah fikih. Nazariyyah fikih adalah topik fikih yang mengandung berbagai masalah fikih. Pembahasannya lebih dititikberatkan pada persoalan syarat, rukun, dan hukum dari satu topik fikih. Misalnya, dalam masalah nazariyyah milkiyyah (teori hak milik), pembahasan naariyyah fikih akan terdiri atas pengertian milk, sumber hak milk, syarat milk, dan pembagian milk. Perbedaannya dengan kaidah fikih terletak pada inti pembahasannya. Kaidah fikih tidak membahas syarat dan rukun.
Perlu pula dibedakan antara kaidah fikih dan kaidah usul. Kaidah usul adalah kaidah hukum yang muncul dari pemahaman terhadap teks syarak (Al-Qur’an dan sunah), seperti kaidah yang mengatakan “pada dasarnya kata amr (perintah) itu menghendaki suatu kewajiban” dan “pada dasarnya kata ‘nahi’ (larangan) itu menunjukkan suatu keharaman”.
Dari segi cakupannya, kaidah usul dapat berlaku untuk seluruh topik dan seluruh persoalan parsial, sedangkan kaidah fikih hanya berlaku bagi mayoritas persoalan parsial. Dari sisi lain, kaidah usul merupakan jalan yang harus dilalui dalam memahami hukum yang dikandung teks suci (Al-Qur’an dan sunah), sedangkan kaidah fikih merupakan induksi dari hukum yang mirip, disebabkan oleh kesatuan motivasi hukum (ilat). Artinya, kaidah fikih itu diciptakan melalui penelitian seorang fakih (ahli fikih) dalam berbagai masalah parsial.
Adapun kaidah usul berawal dari pemahaman atas pemakaian kata/kalimat oleh Syari’ (pembuat syariat/Allah SWT dan Nabi SAW). Dengan demikian, perbedaan antara keduanya terletak pada kenyataan bahwa secara teoretis kaidah usul mendahului hukum parsial karena merupakan salah satu sarana untuk menyimpulkan satu hukum dari teks suci, sementara kaidah fikih baru muncul setelah berbagai hukum parsial dihasilkan oleh mujtahid dan setelah melihat tujuan yang hendak dicapai suatu hukum.
Sejarah Munculnya Kaidah Fikih. Kaidah fikih yang disusun para ahli fikih tidak muncul sekaligus, sebagaimana sebuah undang-undang disusun, melainkan secara bertahap melalui proses dan pemahaman terhadap hukum yang dikandung teks suci. Kaidah fikih yang paling awal ditemukan dalam tulisan dan ungkapan ulama fikih abad ke-2 H.
Namun, tidak dapat diketahui siapa penyusun pertama kaidah fikih itu. Adapun kaidah fikih sebagai salah satu ilmu tersendiri baru muncul pada abad ke-4 H, yang tersebar dalam beberapa mazhab fikih.
Mazhab yang paling awal menerapkan kaidah fikih adalah Mazhab Hanafi. Imam Abu Tahir ad-Dibas, tokoh Mazhab Hanafi yang hidup pada akhir abad ke-3 awal abad ke-4 H, telah mengumpulkan kaidah dasar dalam Mazhab Hanafi. Dengan demikian, kajian fikih secara sistematis mendahului munculnya kaidah fikih sebagai ilmu.
Akar kaidah fikih telah ada pada zaman Nabi SAW karena kaidah fikih itu merupakan induksi dari berbagai hukum yang ditentukan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Misalnya, dari hadis yang menyebutkan, “Sesungguhnya setiap pekerjaan itu tergantung pada niat” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar), disusun kaidah fikih yang berbunyi “al-umur bi maqashidiha” (segala urusan itu [dinilai] sesuai dengan tujuan/ niatnya), yang berlaku untuk semua aspek fikih.
Contoh lainnya, dari hadis yang mengatakan, “Tidak (boleh) bahaya membahayakan dalam Islam” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, Ah-mad bin Hanbal, Ibnu Majah, dan Daruqutni dari Abu Sa‘id al-Khudri, Ibnu Abbas, dan Ubadah bin Samit), disusun kaidah fikih yang berbunyi “ash-dharar yuzal” (segala bentuk kemudaratan harus dihilangkan) atau “la dharar wa la dhirr” (tidak [boleh] bahaya membahayakan), yang berlaku untuk segala bentuk perbuatan yang menimbulkan mudarat.
Para ahli fikih menjadikan hadis ini sebagai kaidah baku untuk mencari hukum suatu persoalan yang sama sekali tidak ditentukan oleh syariat. Oleh sebab itu, kaidah fikih dapat diterapkan dalam berbagai persoalan fikih.
Kemudian, dari berbagai ayat yang menunjukkan kemudahan dalam menjalankan perintah agama, ulama menyusun sebuah kaidah yang berbunyi “al-masyaqqah tajlib at-taisir” (kesulitan ini membawa kepada kemudahan). Kaidah ini diinduksi antara lain dari firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 6, surah al-Hajj (22) ayat 78, dan surah al-Baqarah (2) ayat 286. Demikian juga dengan kaidah “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa jadi hukum), diinduksi dari firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 228, surah an-Nisa’ (4) ayat 19, dan surah al-A‘raf (7) ayat 199.
Kaidah lain yang merupakan kaidah dasar adalah “al-yaqin la yuzal bi asy-syakk” (keyakinan itu tidak dapat dihapuskan oleh suatu keraguan). Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah yang berarti:
“Jika seseorang di antara kamu merasakan ada sesuatu dalam perutnya (ketika salat) sehingga ia ragu apakah keluar (angin) atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid (salat) sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”
Hadis di atas memaksudkan bahwa orang yang salat secara yakin telah berwudu, namun jika ada sesuatu yang meragukannya ketika salat, seperti keluar angin dari dubur, keyakinan berwudu tidak bisa dibatalkan oleh keraguan terhadap keluar angin.
Lima kaidah fikih yang terambil dari Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW di atas merupakan kaidah dasar, yang kemudian dikembangkan ulama sesuai dengan perkembangan permasalahan yang mereka hadapi sehingga kaidah fikih semakin banyak dan bertambah luas cakupannya.
Dari kaidah “al-umur bi maqashidiha” dikembangkan kaidah antara lain: “al-‘ibrah fi al-‘uqud li al-maqashid wa al-ma‘ani la li al-alfaz wa al-mabani” (yang menjadi patokan dalam suatu transaksi adalah tujuan dan makna akad itu, bukan pada ungkapan dan bentuknya). Dari kaidah “adh-dharar yuzal” dikembangkan kaidah “adh-dharar yudfa‘ bi qadr al-imkan” (kemudaratan itu harus dicegah sesuai dengan kemampuan).
Dari kaidah “al-masyaqqah tajlib at-taisir” dikembangkan antara lain kaidah “al-amr idza dhaqat ittasa‘at” (suatu keadaan jika sudah [sangat] sempit, bisa jadi lapang). Dari kaidah “al-‘adah muhakkamah” dikembangkan kaidah antara lain “la yunkar tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azman” (tidak dipungkiri berubahnya hukum berdasarkan perubahan zaman). Dari kaidah “al-yaqin la yuzal bi asy-syakk” dikembangkan kaidah antara lain “al-asl bara’ah adz-dzimmah” (pada dasarnya seseorang itu tidak dibebani hukum).
Kitab fikih tertua yang membicarakan kaidah fikih adalah al-Kharaj (Pajak Tanah) karya Imam Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Ansari (731–798, salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah) yang lebih dikenal dengan Imam Abu Yusuf.
Dalam kitab itu ditemukan kaidah baru yang diciptakan Imam Abu Yusuf, seperti kaidah yang berbunyi “tindakan imam (pemimpin) yang menyangkut permasalahan rakyat senantiasa harus terkait dengan kemaslahatan”. Dari Mazhab Syafi‘i, ditemukan pula kaidah fikih yang disusun Imam Syafi‘i dalam kitabnya al-Umm (Induk).
Ketika Imam Syafi‘i membahas persoalan rukhsah (keringanan hukum disebabkan adanya uzur), ia mengatakan, “Keringanan hukuman itu hanya berlaku sesuai dengan petunjuk yang ada dari Allah dan Rasul”. Kemudian ia juga mengatakan, “Dibolehkan ketika darurat sesuatu yang tidak dibolehkan dalam suasana lain”. Misalnya, orang yang dalam keadaan darurat dibolehkan memakan bangkai binatang, jika itu satu-satunya cara mempertahankan hidup.
Kebolehan ini sejalan dengan kaidah rukhsah di atas dan terbatas pada mempertahankan hidup saja, tidak boleh melebihi dari itu.
Kaidah fikih sebagai ilmu mandiri muncul pada abad ke-4 H ketika taklid melanda umat Islam dan ijtihad mulai melemah. Dalam keadaan seperti ini, setiap mazhab berusaha menciptakan kaidah fikih sesuai dengan hasil ijtihad fikih yang ada di dalam mazhab tersebut.
Kitab Kaidah Fikih. Kitab kaidah fikih yang termasyhur dari Mazhab Hanafi: 1) Ushul al-Karkhi karya Abu al-Hasan al-Karkhi al-Hanafi (260 H/870 M–340 H/952 M), sebanyak 37 kaidah; 2) Ta’sis an-Nazar oleh Abu Zaid ad-Dabusi (w. 430 H/1039 M); 3) al-Asybah wa an-Naˆa’ir oleh Ibnu Nujaim, 25 kaidah; 4) Majami‘ al-saqa’iq oleh Abi Sa‘id al-Khadimi (w. 1176 H/1762 M), 154 kaidah; Qawa‘id Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah disusun oleh Himpunan Ulama Kerajaan Turki Usmani pada 1292 H/1875 M, 99 kaidah; dan al-Fara’id al-Bahiyyah fi al-Qawa‘id wa al-Fawa’id al-Fiqhiyyah oleh Ibnu Hamzah al-Husaini (1236 H/1821 M–1305 H/1887 M). Buku terakhir ini merupakan buku kaidah fikih Mazhab Hanafi yang paling lengkap dan disusun sesuai dengan bab-bab fikih. Buku ini diterbitkan pertama kali di Damascus, Suriah, 1928.
Kitab kaidah fikih dari Mazhab Maliki: 1) al-Furuq oleh Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M), 2) al-Qawa‘id oleh al-Maqa-rri, dan 3) Itdhah al-Masalik ila QawÎ\a‘id al-Imam Malik oleh Winsyarisi (w. 914 H/1508 M).
Kitab kaidah fikih dari Mazhab Syafi‘i: 1) Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam oleh Imam Izzuddin bin Abdus Salam (577 H/1162 M–660 H/1262 M), 2) al-Asybah wa an-Naza’ir oleh Imam Ibnu al-Wakil (665 H/1267 M–716 H/1316 M), 3) al-Majmu‘ al-Mudzhab fi Qawa‘id al-Madzhab oleh Imam Ala‘i asy-Syafi‘i (664 H/1266 M–761 H/1360 M), 4) al-Asybah wa an-Naza’ir oleh Tajuddin as-Subki, 5) al-Mansur fi Tartib al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah oleh Imam Badruddin az-Zarkasyi (745 H/1344 M–794 H/1392 M), 6) al-Asybah wa an-Naza’ir oleh Imam Ibnu Mulaqqin (723 H/1323 M–804 H/1402 M), 7) al-Qawa‘id oleh Imam Abi Bakar al-Hisni (752 H/1351 M–829 H/1426 M), dan 8) al-Asybah wa an-Naza’ir oleh Jalaluddin Abdul Rahman as-Suyuti.
Kitab kaidah fikih dari Mazhab Hanbali: 1) al-Qawa‘id an-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah oleh Ibnu Taimiyah, 2) al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah oleh Ibnu Qadi al-Jabal (673 H/1275 M–771 H/1370 M), 3) al-Qawa‘id oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H/1393 M), 4) al-Qawa‘id al-Kulliyyah wa ad-dawabith al-Fiqhiyyah oleh Ibnu Abdul Hadi (w. 909 H/1503 M), dan Qawa‘id Majallah al-Ahkam asy-Syar‘iyyah ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad bin Abdullah al-Qari (1309 H/1891 M–1359 H/1940 M).
Daftar Pustaka
Abu Sulaiman, Abdul Wahhab Ibrahim. al-Fikr al-Ushuli. Jiddah: Dar asy-Syuruq, 1983.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad at-Tusi. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul. Cairo: al-Matba‘ah al-Amiriyyah, 1327 H/1909 M.
Haydar, Ali. Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1983.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. al-Madkhal al-Fiqhi: al-Qawa‘id al-Kulliyyah. Damascus: Dar al-Ma‘arif li at-Tiba‘ah, 1399 H/1979 M.
an-Nadwi, Ali Ahmad. al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah. Damascus: Dar al-Qalam, 1406 H/1986 M.
Nujaim, Zainal Abidin Ibrahim bin. al-Asybah wa an-Nasa’ir. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1387 H/1986 M.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah, ditahkik oleh Abdullah Darraz. Cairo: al-Maktabah at-Tijariah al-Kubra, 1975.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. al-‘Madkhal ila al-Fiqh al-‘Amm: al-Fiqh al-Islami fi taubihi al-Jadid. Beirut: Dar al Fikr, 1968.
Nasrun Haroen