Secara kebahasaan, kata fidyah dalam bahasa Arab berarti “sesuatu yang diserahkan sebagai tebusan”. Secara terminologis, fidyah berarti “penebusan dosa yang dilakukan seseorang dengan memberikan sedekah atau melakukan puasa.”
Kata fidyah dalam pengertian syarak (hukum Islam) didapati dalam tiga ayat Al-Qur’an, yaitu pada surah al-Baqarah (2) ayat 184 dan 196 serta surah al-Hadid (57) ayat 15. Tetapi di samping tiga pengertian yang disebutkan terdahulu, kata yang seakar dengan fidyah dalam berbagai masalah terdapat sebanyak sepuluh kali dalam Al-Qur’an.
Fidyah karena Tidak Berpuasa.
Surah al-Baqarah (2) ayat 184 menjelaskan tentang kewajiban membayar fidyah yang berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakan puasa. Ayat tersebut berbunyi: “…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah….”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mendapat kesulitan yang sangat besar jika melakukan puasa mendapat keringanan (rukhsah) untuk tidak berpuasa, dengan syarat membayar fidyah.
Orang tersebut antara lain adalah:
(1) orang yang sudah sangat tua,
(2) orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya,
(3) perempuan hamil dan sedang menyusui jika mereka khawatir bahwa berpuasa akan menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan dan kesehatan bayinya. Sayid Sabiq (tokoh pembaru Islam) menambahkan dengan
(4) para pekerja berat yang tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali dari pekerjaan yang berat tersebut.
Alasan kebolehan tersebut juga terdapat dalam beberapa surah, yaitu: “…Tidak dijadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan” (QS.22:78); “Allah tidak hendak menyulitkan kamu” (QS.5:6); dan “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya…” (QS.2:286).
Bentuk fidyah yang harus ditunaikan orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa ini adalah memberi makan fakir miskin setiap hari ketika ia tidak berpuasa. Adapun tentang banyaknya makanan yang harus diberikan kepada fakir miskin itu ada perbedaan pendapat.
Ada yang mengatakan setengah sha‘ (gantang = kurang lebih 3,125 kg) gandum atau kurma, ada yang mengatakan satu sha‘ satu mud (lima per enam liter), dan lain sebagainya. Namun ada juga yang mengatakan hal itu tergantung pada kebiasaan makanan setempat.
Fidyah dalam Pelaksanaan Ibadah Haji.
Surah al-Baqarah (2) ayat 196 menjelaskan tentang fidyah dalam pelaksanaan ibadah haji, yakni: “…Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah….”
Di antara keadaan-keadaan yang mewajibkan fidyah sehubungan dengan ibadah haji adalah sebagai berikut.
(1) Mencukur rambut dan memakai pakaian berjahit bagi laki-laki yang berihram. Orang ini wajib membayar fidyah dengan memilih salah satu dari tiga macam fidyah sesuai dengan kemampuannya, yaitu: menyembelih seekor kambing, puasa tiga hari atau memberi makan 6 orang miskin sebanyak tiga sha‘ (gantang) kurma.
Bentuk dan pilihan fidyah ini dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW dari Ka‘ab bin Ujrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. Berdasarkan ayat di atas dan hadis tersebut, puasa tiga hari sebagai fidyah itu dilaksanakan di Mekah. Setelah itu, ketika kembali ke kampungnya, si pelaku wajib berpuasa sebanyak tujuh hari lagi.
(2) Jika pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram itu berbentuk hubungan badan suami istri (bersetubuh), maka di samping ibadah haji yang bersangkutan batal ia juga dikenakan kafarat yang terdiri dari memerdekakan budak, berpuasa 2 bulan berturut-turut, atau memberi makan orang miskin sebanyak 60 orang.
Adapun fidyah dengan arti “penebusan dosa di akhirat” yang dilakukan oleh orang munafik maupun orang kafir, jelas tidak akan diterima oleh Allah SWT. Tempat mereka tetap di neraka. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Hadid (57) ayat 15,
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.”
Daftar Pustaka