Feminisme

Feminisme adalah sebuah paham yang menghendaki kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Secara etimologis kata “feminisme” berasal dari bahasa Latin, yaitu femina, yang berarti “perempuan” atau “wanita” atau “memiliki sifat keperempuanan”.

Paham feminisme merupakan bentuk protes atas perlakuan diskriminatif kaum laki-laki terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin sering dijadikan landasan untuk membedakan wilayah kerja, pendidikan, sampai pada masalah etika atau moral di dalam kehidupan sehari-hari.

Feminisme melihat bahwa telah terjadi rekayasa sejarah melalui konstruksi sosial dan budaya yang menampilkan perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, gemulai, cantik, emosional, keibuan, dan lebih senang di rumah (berdandan, memasak, mengurusi anak, dan segala bentuk domestikasi rumah tangga).

Peran tertinggi perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga atau istri yang senantiasa berada di rumah dan ibu yang bangga dengan keibuannya. Sebaliknya, laki-laki dianggap manusia yang kuat, pandai, rasional, jantan, dan perkasa; karena itu ia menjadi penguasa. Peraturan dan ukuran moral pun dibuat untuk membatasi baik buruknya perilaku perempuan, sementara laki-laki tidak demikian.

Perbedaan pemahaman berdasarkan gender ini menyebabkan perempuan berada dalam bayang-bayang dan genggaman dominasi laki-laki. Gerak dan langkah perempuan ditentukan aturan main yang sangat diskriminatif, yang sangat menguntungkan laki-laki. Hal ini diperkuat keyakinan bahwa perbedaan gender dengan segala konsekuensinya, baik dalam budaya, ekonomi, politik, maupun pada ranah sosial lainnya, dipahami sebagai kodrat dari Tuhan yang sudah given dan tak terganggu gugat. Namun, bagi kalangan feminis hal tersebut tidak demikian.

Gerakan feminisme hadir sejak abad ke-14. Pada awal kehadirannya, ia lebih memfokuskan diri pada upaya perbaikan nasib perempuan sebagai manusia semata. Dalam perkembangannya, feminisme mulai memperjelas gerakannya sebagai langkah yang beroposisi terhadap perlakuan kejam laki-laki (misoginis).

Pada abad ke-19 muncul studi ilmiah tentang feminisme yang dikaitkan dengan masalah gender dan upaya kesetaraan gender (equal right feminism) antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika Serikat, gerakan feminisme baru memfokuskan diri pada upaya tersedianya hak bagi perem­ puan untuk dapat memilih (the right to vote).

Sebuah konvensi diadakan pada 19–20 Juli 1848 yang membahas tentang hak sosial, sipil, serta agama kaum perempuan, dan menghasilkan The Declaration of Sentiment. Konvensi ini berlanjut dengan terbentuknya National Women Suffrage Association (NWSA) yang menuntut adanya hak suara (the right to vote) bagi kaum perempuan.

Dalam waktu yang sama, sebuah wadah lainnya terbentuk dengan nama American Women Suffrage Association (AWSA) dengan tujuan yang tidak jauh berbeda, yaitu memperjuangkan hak memilih bagi kaum perempuan. Pada 1920 perempuan Amerika Serikat mendapatkan hak suara dalam pemilihan. Tuntutan gerakan femi-nisme pada waktu itu belum beranjak jauh dari tuntutan tersebut.

Meskipun secara historis feminisme merupakan gerakan yang sudah tua, namun baru pada 1960-an dianggap sebagai saat lahirnya gerakan itu. Tahun tersebut dianggap sebagai momentum menguatnya gerakan feminisme liberal di Amerika. Pada saat itu di Amerika Serikat muncul gerakan yang meletakkan feminisme sebagai bagian dari budaya hak-hak sipil (civil rights) dan kebebasan seksual (sexual liberation).

Sejak itu pula angka tenaga kerja perempuan meningkat dua kali lipat. Dari sini bermunculan kelompok feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan praktis, misalnya pengasuhan anak (childcare), kesehatan, dan pendidikan. Gerakan feminisme ini terus bergulir ke Eropa, Australia, dan kini telah menjadi gerakan global yang menggerakkan kesadaran perempuan sampai di negara Dunia Ketiga. Gerakan feminisme semakin menguat dengan terbitnya sebuah buku The Feminist Mystique (1963) yang ditulis Betty Friedan.

Kemudian muncullah teori yang menjadi landasan bagi upaya pembongkaran terhadap dominasi laki-laki yang berlangsung tidak hanya pada tataran fisik, tetapi juga telah menjadi bagian dari kesadaran sosial. Paling tidak, ada enam teori gerakan feminisme. Pertama, gender theory, yaitu pandangan yang melihat bahwa perbedaan peran yang dimainkan laki-laki dan perempuan bukan disebabkan perbedaan biologis, tetapi lebih oleh realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang distorsif.

Oakley, dalam Sex, Gender, and Society (1972), mengatakan bahwa perbedaan biologis merupakan kodrat Tuhan, dan karenanya secara permanen berbeda; sementara gender bukan perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, yang diciptakan dan diwarisi manusia. Sebab itu, kemungkinan adanya dominasi dan distorsi sangat terbuka.

Kedua, mainstream feminist theory, yaitu teori yang berusaha memasukkan istilah feminisme ke dalam pengetahuan tradisional, dan memodifikasinya sesuai dengan misi feminisme itu sendiri. Ketiga, soft feminist theory, yaitu teori yang mengakui adanya kesetaraan gender, tetapi tetap dalam pencitraan perempuan dengan tugas pengasuhan.

Keempat, liberal feminist theory, yaitu teori yang melihat perlunya berbagai transformasi sosial berupa kesamaan antara laki-laki dan perempuan, baik di depan hukum, ekonomi, politik, dan kesempatan kerja. Teori ini lebih mengedepankan proses evolutif, dan tidak radikal. Kelima, socialist feminist theory, yaitu teori yang melihat akar persoalan dominasi seksual (laki-laki atas perempuan) terletak pada dinamika kelas.

Sebab itu, urusan rumah tangga harus dijadikan industri sosial dan urusan mengasuh anak menjadi urusan publik, sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan dominasi. Keenam, radical feminist theory, yaitu teori yang melihat laki-laki sebagai sumber masalah. Persoalan fundamental yang dihadapi oleh perempuan adalah ketertindasan kaumnya. Sebab itu, para penindas (kaum laki-laki) harus dilawan.

Beragam teori tersebut melahirkan format gerakan (praksis) yang berbeda pula. Namun secara keseluruhan ia tetap berpijak pada upaya pemberdayaan kaum perempuan dari berbagai bentuk ketertindasan dan diskriminasi, baik secara kultural maupun struktural.

Gerakan feminisme semakin menjadi perhatian dunia setelah pada 1975 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan International Decade of Women. Pada 1979 PBB juga mengeluarkan resolusi untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam perkembangannya, gerakan feminisme yang terlalu menekankan kesetaraan gender secara universal dan meletakkan perbedaan biologis yang diskriminatif sebagai inti masalah dengan mengabaikan struktur sosial budaya yang khas cenderung menjadi kontraproduktif, karena pada kenyataannya, feminisme sebagai gerakan yang lahir di Barat dari strata masyarakat tertentu tidak dapat diberlakukan pada masyarakat yang memiliki latar belakang budaya dan ekonomi berbeda.

Realitas yang hadir di dalam beragam masyarakat, baik yang berbeda secara ras, agama, maupun ideologi, memiliki persoalan yang berbeda dengan masyarakat Barat; sehingga muncul gerakan feminis yang lebih spesifik, seperti black feminism (feminisme kulit hitam), yang menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan kulit hitam tidak sekadar persoalan biologis, tetapi juga menyangkut ras dan kelas.

Begitu juga perempuan yang secara ekonomi berada pada kelas sosial bawah merasa kesulitan untuk mewujudkan perjuangan kaum feminis radikal agar meninggalkan peran keibuan, seperti pengasuhan anak, sementara mereka menggantungkan nafkahnya pada sang suami. Hal itu juga menyangkut kaitan antara feminisme dan agama, sehingga melahirkan gerakan feminisme dalam perspektif agama, seperti feminisme Islam dan feminisme Kristen.

Pada dasarnya, feminisme Islam tidak jauh berbeda dengan gerakan feminisme pada umumnya yang sangat beragam. Perbedaan fundamentalnya terletak pada upaya meletakkan sisi transendentalitas dari feminisme itu sendiri; bahwa persoalan feminisme tidak sekadar menyangkut hubungan horizontal, tetapi juga vertikal, yaitu posisi manusia di mata Tuhan.

Itulah sebabnya feminisme yang muncul di dalam Islam selalu dikaitkan pada upaya pemberdayaan yang berpijak pada Al-Qur’an dan sunah dengan segala interpretasinya, seperti yang diwacanakan oleh Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Haifaa A. Jawad, Lois Lamya al-Faruqi, Nawal el-Saadawi, dan Asghar Ali Engineer. Bahkan sebagian feminis muslim meyakini bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan risalahnya berhasil menjunjung tinggi posisi dan peran perempuan setelah dicampakkan oleh budaya Jahiliah.

Daftar Pustaka

Bordo, Susan R. Unbearable Weight: Feminism, Western Culture, and the Body. California: University of California Press, 1995.
Engineer, A.A. The Rights of Women in Islam. London: C. Hurst and Company, 1992.
Fakih, Mansour. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
al-Faruqi, Lois Lamya. ‘Ailah, Masa Depan Kaum Wanita, Model Masyarakat Ideal Tawaran Islam, Studi Kasus Amerika dan Masyarakat Modern. Surabaya: Alfikr, 1997.
Hubies, Aida Fitalaya S. “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan,” Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Jawad, Haifaa A. Otentisitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Mas’udi, Masdar Farid. Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan, 1997.
Megawangi, Ratna. “Feminisme: Menindas Peran Ibu Rumah Tangga,” Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi Khusus, 1994.
Mernissi, Fatima. Teras Terlarang, Kisah Masa Kecil Seorang Feminis Muslim. Bandung: Mizan, 1999.
–––––––. Pemberontakan Wanita, Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 1999.
–––––––. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1994.
Natsir, Lies M. Marcoes, dan Johan Hendrik Meuleman, ed. Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: INIS, 1993.
Schimmel, Annemarie. Jiwaku adalah Wanita, Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan, 1998.
Wadud Muhsin, Amina. Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, 1994.

A Bakir Ihsan