Muhammad Farid Wajdi lengkapnya Muhammad Farid bin Mustafa Wajdi, adalah seorang wartawan, penulis, ahli fikih, dan pembaru Islam. Menurutnya, Islam sesuai dengan peradaban modern. Untuk mewujudkan pemikiran dan budaya Islam perlu kebebasan akal, pengetahuan, dan asimilasi dengan peradaban modern.
Muhammad Farid Wajdi tumbuh dan besar di kota kelahirannya, Iskandariyah, dan memperoleh pendidikan di kota itu (tidak diperoleh keterangan tentang riwayat jenjang pendidikan yang ditempuhnya). Ia dikenal sebagai seorang remaja muslim yang gemar membaca berbagai buku ilmu pengetahuan, sehingga ia memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam.
Ia juga mendalami sosiologi, kebudayaan, dan filsafat. Karena itu, pemikiran dan pandangannya tentang Islam selalu dikaitkan dengan argumen sosiologis, budaya, filosofis, dan modern. Ia juga memiliki majelis pengajian sendiri yang dihadiri para mahasiswa yang suka pada pemikiran modern.
Ia pernah menetap di Propinsi Dimyat, Mesir, tempat ayahnya menjabat wakil gubernur. Kemudian bersama ayahnya ia ikut pindah ke Swiss. Di kota ini Farid Wajdi mulai membina kariernya dengan menerbitkan majalah al-Hayah (Juni 1899), dan menerbitkan risalah yang berjudul al-Falsafah al-Haqqah fi Bada’i al-Akwan serta menulis buku yang berjudul Tatbiq ad-Diyanah al-Islam ‘ala an-Nawamis al-Madaniyyah. Bukunya yang pertama dalam bahasa Perancis.
Buku ini kemudian ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul yang sama (1316 H/1898 M). Dalam terbitan terakhir (1322 H/1904 M), buku tersebut diberinya judul baru: al-Madaniyyah wa al-Islam (Peradaban Modern dan Islam). Kemudian ia kembali ke Cairo, dan bekerja sebagai pegawai di Dewan Wakaf. Ia menulis sebuah ensiklopedi yang dimuat dalam surat kabar ad-Dustur (1907), kemudian dalam majalah al-Wujdiyat (1910).
Ensiklopedi ini diberinya judul Da’irah Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin (Ensiklopedi Abad Kedua Puluh), sebanyak 10 jilid yang selesai ditulisnya tahun 1918. Menurut pengakuannya, ensiklopedi ini, yang banyak mengandung ide-ide modern, ditulisnya tanpa bantuan orang lain.
Sejak November 1921 ia menjadi redaktur sejumlah surat kabar dan majalah yang terbit di Mesir. Kemudian sejak 1933 sampai 1952 ia dipercaya menjadi pemimpin redaksi majalah Nur al-Islam yang diterbitkan Universitas al-Azhar yang kemudian berubah nama menjadi majalah al-Azhar. Majalah ini bertujuan untuk membela kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Dalam kaitan dengan Islam, majalah ini dalam pimpinan Farid Wajdi menampilkan ketinggian asas-asas ajaran Islam, menunjukkan patokan-patokan dan kebenaran ajarannya, memelihara tauhid dan ibadahnya, serta membela Islam dari paham dan pandangan hidup kaum materialis.
Majalah ini mendorong umat Islam agar memajukan kebudayaan dan peradaban Islam dan menghapus keraguan umat Islam terhadap kebenaran ajaran Islam dan persesuaiannya dengan peradaban modern. Hal ini dapat ditempuh dengan pendidikan yang sehat dan filsafat serta mengikuti pola pemikiran modern.
Dalam tulisannya, Farid Wajdi berusaha melakukan pembelaan terhadap Islam dari serangan luar dan menunjukkan kebenaran Islam. Ia mengkritik para sarjana Barat yang hanya menilai Islam dari praktek-praktek umat Islam yang berada di bawah kekuasaan mereka.
Menurutnya, apa yang dipraktekkan umat dan dijadikan dasar oleh para sarjana Barat dalam menilai Islam tidaklah memberi gambaran yang sebenarnya tentang Islam, sebab dalam praktek itu terdapat banyak bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Hal ini terjadi karena pemahaman umat Islam masih sangat dangkal terhadap ajaran agamanya, sehingga mereka tidak dapat membedakan hal-hal mana yang sesuai atau bertentangan dengan Islam.
Dalam kedudukannya sebagai pembaru, Farid Wajdi, yang juga dikenal sebagai pengikut ide Muhammad Abduh, mengemukakan pandangan bahwa Islam sebenarnya tidak bertentangan dengan peradaban modern.
Islam tidak hanya mementingkan hubungan langsung antara manusia dan Allah SWT, tetapi juga mengandung prinsip ajaran bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia, yaitu prinsip persamaan dalam kemanusiaan, prinsip musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, prinsip kebebasan pendapat, perasaan, dan kemauan, serta prinsip persatuan atas dasar toleransi dan penekanan pada kesejahteraan manusia.
Ia juga mengemukakan bahwa untuk mewujudkan perkembangan pemikiran dan kebudayaan dalam Islam diperlukan adanya kebebasan akal dan pengetahuan. Dalam menjelaskan ini semua ia mengaitkannya dengan aspek sosiologis dan budaya.
Baginya, “Islam sesuai dengan peradaban.” Adapun bagi Muhammad Abduh, “peradaban yang sejati sesuai dengan ajaran Islam.” Karena itu, menurutnya, umat Islam dalam membangun dan memajukan kebudayaan Islam jangan ragu untuk mengadakan asimilasi dengan pengetahuan dan peradaban modern.
Ia juga berpandangan bahwa orang dibolehkan menerjemahkan makna Al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab. Dalam bidang kepercayaan ia tidak membenarkan orang yang mengaku dapat melihat dan berdialog dengan jin. Hal ini baginya tidak masuk akal, karena jin adalah makhluk yang bukan berbentuk materi seperti manusia.
Pemikirannya mempengaruhi Hasan al-Banna (1906– 1949; tokoh pembaru Mesir) dan Ikhwanul Muslimin, organisasi yang dipimpin al-Banna, Hasan al-Banna sering menghadiri majelis pengajiannya di samping mengunjungi majelis Muhammad Rasyid Rida. Pemikirannya juga mempengaruhi tokoh-tokoh pembaru di India, seperti Halli dan Syibli, yang mengadakan kontak dengan Farid Wajdi dan Muhammad Rasyid Rida.
Di Indonesia, Soekarno sering mengutip pandangan Wajdi baik dalam tulisan maupun dalam pidatonya. Ia mengingatkan umat Islam Indonesia bahwa pemikiran Islam akan berkembang di Indonesia apabila ada kebebasan semangat, akal, dan pengetahuan. Karena itu, ketiga kebebasan ini harus dikembangkan dan pemikiran tradisional harus dibuang.
Karya-karya Farid Wajdi yang terpenting antara lain: al-Falsafah al-Haqqah fi Bada’i‘ al-Akwan (Filsafat yang Benar tentang Keindahan Alam); al-Madaniyyah wa al-Islam (Peradaban Modern dan Islam); Da’irah Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin (Ensiklopedi Abad Ke-20; 10 jilid, dicetak oleh Maktabah al-Ilmiah al-Jadidah, Beirut, 1918); dan sejumlah tulisan dalam majalah al-Azhar.
Daftar Pustaka