Faqih Usman adalah seorang ulama, cendekiawan muslim, dan tokoh Muhammadiyah yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berbakti pada organisasi sosial Islam. Ia pernah memangku jabatan menteri Agama selama dua periode, yakni pada Kabinet Halim (1950) dan Kabinet Wilopo (1952–1953).
Faqih Usman mengawali pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an dan ilmu agama lainnya di beberapa pondok pesantren di daerah Gresik dan sekitarnya. Hal ini dijalaninya antara 1914–1922. Ia tidak sempat mengecap pendidikan tinggi karena dilahirkan dalam lingkungan keluarga miskin. Oleh sebab itu, sejak masa mudanya ia telah terjun ke dunia usaha yang bergerak di bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik.
Keuletannya dalam bidang usaha ini memberikan andil pada pengangkatan dirinya sebagai ketua Persekutuan Dagang Sekawan se-Daerah Gresik. Berkat aktivitasnya ini ia dikenal luas oleh masyarakat Gresik, termasuk tokoh Muhammadiyah.
Pada 1922 ia masuk Muhammadiyah dan pada 1925 diangkat menjadi ketua Groep Muhammadiyah Gresik. Setelah menunjukkan aktivitas yang dinamis dan luas, Groep Muhammadiyah Gresik di bawah kepemimpinannya diresmikan mejadi salah satu cabang Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur.
Kariernya di Muhammadiyah meningkat dengan cepat. Untuk periode 1932–1936 ia diangkat menjadi ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur di Surabaya, di samping memimpin majalah Bintang Islam, media Muhammadiyah Jawa Timur. Pada 1936 ia terpilih sebagai konsul Muhammadiyah Jawa Timur, menggantikan KH Mas Mansur (1896–1946) yang diangkat pada Muktamar Muhammadiyah ke-26 menjadi ketua umum Muhammadiyah di Jakarta.
Pada 1948– 1952, ketika Ki Bagus Hadikusumo menjadi ketua umum, Faqih Usman diangkat menjadi salah seorang dari ketua PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah diketuai H M. Yunus Anis (1959–1961), Faqih Usman diangkat sebagai anggota PP Muhammadiyah. Jabatan tersebut tetap dipangkunya sampai 1961.
Pada periode kepemimpinan KH Ahmad Badawi (1962– 1965), Faqih Usman terpilih sebagai wakil ketua I PP Muhammadiyah, dan pada periode 1965–1968 (ketua umumnya masih KH Ahmad Badawi), Faqih Usman sebagai penasihat PP Muhammadiyah.
Selama 2 periode kepemimpinan KH Ahmad Badawi, ia selalu diminta untuk mendampinginya dalam menunaikan tugas ketua umum Muhammadiyah. Karena besarnya kepercayaan KH Ahmad Badawi kepadanya, ketika ia mulai sakit, pelaksanaan organisasi Muhammadiyah dipercayakan sepenuhnya kepada Faqih Usman.
Di sini terlihat isyarat dari KH Ahmad Badawi agar Faqih Usman dipilih menjadi ketua umum Muhammadiyah selanjutnya. Akan tetapi, Faqih Usman menganggap dirinya tidak pantas menduduki jabatan ketua umum dan ia menampilkan tenaga-tenaga muda, seperti KH Abdur Rozzaq Fakhruddin dan M. Djindar Tamimy, sebagai calon ketua umum pada Muktamar Muhammadiyah ke-37.
Namun, muktamar yang diselenggarakan di Yogyakarta tersebut tetap memilihnya untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 1968–1971.
Tiga tahun periode kepemimpinannya tidak selesai karena ia sering sakit. Pada 2 Oktober 1968 Faqih Usman mengundang anggota PP Muhammadiya untuk bersidang di Jakarta. Dalam sidang tersebut ia mengajukan program kerja PP Muhammadiyah dan garis besar kebijaksanaan PP Muhammadiyah periode 1968–1971 yang diterima secara aklamasi oleh peserta sidang.
Dalam sidang itu juga, Faqih Usman menunjuk Prof. Dr. H M. Rasjidi dan H A.R. Fakhruddin untuk menjalankan tugas kepemimpinan Muhammadiyah selama ia berobat ke luar negeri.
Ketika PP Muhammadiyah bersidang di bawah pimpinan Prof. Dr. H M. Rasjidi di Jln. Menteng Raya 62 Jakarta, datang berita bahwa Faqih Usman meninggal (3 Oktober 1968). Untuk menggantikannya, Dr. HAMKA menyarankan agar H A.R. Fakhruddin dipilih sebagai pejabat ketua umum. Usul ini diterima peserta sidang.
Di luar Muhammadiyah, Faqih Usman juga aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, antara lain sebagai: 1) anggota Dewan Kota Surabaya pada 1940–1942, 2) bendahara Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI) pada 1938, 3) ketua dan sekretaris MIAI periode 1939–1942, dan 4) anggota Komite Nasional Pusat dan ketua Komite Nasional Surabaya pada 1945.
Kegiatannya sebagai salah seorang pengurus besar di partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dimulai sejak partai tersebut didirikan pada 7 November 1945 dalam suatu muktamar umat Islam di Yogyakarta. Pada 1948 ia memangku jabatan wakil ketua Markas Tertinggi Hizbullah Sabilillah. Karier tertingginya di Masyumi adalah sebagai ketua II Pengurus Besar Masyumi yang dipangkunya sejak 1952 sampai Masyumi membubarkan diri 1960.
Pada tahun 1955 ia duduk sebagai anggota Konstituante, hasil pemilihan umum pertama Indonesia, mewakili partai Masyumi. Di bidang pemerintahan, ia pernah menjadi menteri agama pada Kabinet Halim sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Kemudian pada 1951 ia menduduki jabatan sebagai kepala Jawatan Agama Pusat. Ia menjadi menteri agama untuk kedua kalinya dalam Kabinet Wilopo periode 1952–1953.
Pengangkatannya sebagai menteri agama RI mempunyai dampak yang memprihatinkan bagi Masyumi, yaitu berpisahnya Nahdlatul Ulama (NU) dari Masyumi. Beberapa hari sebelum pembentukan Kabinet Wilopo/Prawoto, dalam suatu pertemuan Masyumi, pihak NU melalui juru bicaranya, KH Abdul Wahab Hasbullah (1888–1971), menuntut agar pos (jabatan) menteri agama diberikan kepada mereka. Akan tetapi, ketika diadakan pemungutan suara dalam sidang tersebut, Faqih Usman mendapat suara terbanyak untuk menduduki jabatan tersebut.
Setelah berhenti sebagai menteri agama (1952), Faqih Usman tetap aktif sebagai anggota Konstituante, di samping sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan di Departemen Agama RI sejak 1954.
Semasa pemerintahan Orde Baru, ia ikut aktif dalam pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) sebagai ketua Panitia Tujuh yang diberi tugas untuk menyusun badan kepengurusan. Ia bahkan dicalonkan sebagai ketua umum Parmusi pada tahun 1968. Namun, karena memangku jabatan ketua umum Muhammadiyah, ia tidak bersedia duduk sebagai ketua umum partai tersebut.
Terhadap berbagai aktivitasnya ini, H M. Yunus Anis berkata, “Sekalipun hanya mengecap pendidikan pondok, Faqih Usman tetap memiliki kewibawaan untuk memimpin suatu organisasi sosial dan politik yang bertaraf nasional. Ia adalah seorang ulama yang cerdas, rajin belajar, dan gemar membaca kitab agama serta ilmu pengetahuan sampai usia lanjut.
Ia adalah seorang ulama yang memiliki ilmu yang mendalam, berpikiran maju dan berpandangan jauh ke depan, serta menjadi teladan bagi teman-teman dan generasi sesudahnya.”
Berdasarkan kepribadiannya inilah, ketika terjadi gerakan daerah di Sumatera Barat, ia dan Mohamad Roem (1908– 1983) dipercaya oleh Masyumi untuk mendamaikan pertikaian antara pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah.
Keterlibatan beberapa tokoh partai Masyumi dalam PRRI menyebabkan pemerintah di bawah Presiden Soekarno menyatakan Masyumi sebagai partai terlarang.
Setelah lahirnya pemerintahan Orde Baru, tepatnya 9 Mei 1966, Faqih Usman bersama-sama dengan Hasan Basri (ketua Majelis Ulama Indonesia periode 1985–1990, 1990–1995, dan 1995–2000) dan H Anwar Harjono, SH (mantan ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah, yang isinya meminta agar pemerintah merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang.
Nota politik ini dikenal dengan nama “Nota KH Faqih Usman”. Nota politik ini didasarkan pada pertimbangan yuridis formal dan keyakinan bahwa rehabilitasi Masyumi tersebut bukan hanya memenuhi rasa keadilan berdasarkan hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi sekaligus akan meniupkan angin segar ke dalam kehidupan politik bangsa Indonesia.
Faqih Usman menulis Kepribadian Muhammadiyah, sebuah karya yang menunjukkan keahliannya dalam menyusun program kerja. Karya yang berisi pokok dan sifat Muhammadiyah ini menjadi pegangan bagi pimpinan dan segenap anggota Muhammadiyah dalam menjalankan organisasi.
Buku ini, setelah diperdebatkan dalam sidang Tanwir Muhammadiyah 25–28 Agustus 1962, diterima dengan beberapa perubahan. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 1962 di Jakarta, rumusan tersebut diterima sebagai pegangan dan pedoman perjuangan Muhammadiyah dalam membangun masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT.
Daftar Pustaka