Tarjih

(Ar.: tarjih)

Salah satu cara menyelesaikan dua atau lebih dalil yang saling berbeda atau bertentangan disebut tarjih. Secara bahasa, tarjih berarti “menguatkan” atau “memberatkan”.

Ibnu Hajib dan al-Amidi, dua ahli usul fikih, mendefinisikan tarjih sebagai “membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya”. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan tarjih sebagai “kelebihan suatu dalil dari dalil yang lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri”. Artinya, dua dalil yang bertentangan itu mempunyai kekuatan yang sama. Untuk memilih mana yang akan dimenangkan diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.

Hakikat dan tujuan kedua definisi itu sama, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang sama untuk diamalkan. Kedua dalil yang bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yaitu zanni (tidak tegas).

Munculnya pertentangan dua dalil ini dimungkinkan oleh pandangan para mujtahid (ahli ijtihad) ketika mereka membahas dalil yang ada. Namun mereka sepakat bahwa pertentangan yang dimaksud bersifat zahir (lahir) saja, karena Allah SWT tidak mungkin menurunkan dua khithab atau perintah/larangan yang satu sama lain bertentangan.

Ada beberapa cara yang ditempuh dalam menarjih. Tarjih adakalanya berhubungan dengan nas dan adakalanya menyangkut pertentangan dalam kias. Terhadap penyelesaian dua nas yang bertentangan, ulama mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu

(1) tarjih dari sisi sanad (rangkaian penutur hadis sampai pada Rasulullah SAW),

(2) tarjih dari segi matan (teks, untaian kalimat hadis itu sendiri),

(3) tarjih dari segi hukum yang dikandung hadis, dan

(4) tarjih dilakukan dengan indicator pendukung dari luar atau dalil lain.

Tarjih dari segi sanad oleh Imam asy-Syaukani (ahli usul fikih) dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara.

1) Tarjih dilihat dari segi rawi. Misalnya, sanad yang mempunyai banyak rawi lebih dikuatkan daripada sebaliknya; tarjih dilakukan terhadap sanad yang salah satu rawinya lebih adil, lebih takwa, dan lebih kuat ingatannya daripada sanad yang rawinya tidak demikian.

2) Tarjih dari segi yang diriwayatkan itu sendiri. Misalnya, lebih menguatkan hadis mutawatir (yang diriwayatkan orang banyak) daripada hadis masyhur (yang diriwayatkan beberapa orang saja). Demikian juga hadis masyhur lebih dikuatkan daripada hadis ahad (yang diriwayatkan satu orang).

3) Tarjih dari sisi cara menerima hadis. Misalnya, lebih menguatkan hadis yang diterima langsung dari Nabi SAW daripada hadis yang didapati dalam tulisan.

Tarjih dari segi matan oleh al-Amidi dikatakan dapat dilakukan paling tidak dengan beberapa cara. Misalnya, matan yang sifatnya melarang lebih didahulukan daripada matan yang sifatnya menyuruh, matan yang menguatkan perintah lebih didahulukan daripada yang hanya sifatnya boleh saja, matan yang menguatkan hakikat lebih didahulukan dari pada majas (kiasan), dan matan yang khas lebih didahulukan daripada yang umum.

Tarjih dari segi hukum yang dikandung nas, misalnya lebih mendahulukan nas yang sifatnya melarang daripada yang membolehkan dan lebih menguatkan nas yang sifatnya menetapkan hukum daripada yang menafikannya.

Adapun tarjih melalui faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan ahli Madinah (penduduk Madinah) atau amalan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (keempat khalifah pertama) daripada amalan orang lainnya dan lebih menguatkan dalil yang didukung Al-Qur’an, sunah, ijmak atau kias daripada sebaliknya.

Jika yang bertentangan itu antara kias dan kias, dapat ditarjih dari empat sisi pula, yaitu dari segi asl (pokok), dari segi furuk (peristiwa hukum yang akan ditentukan hukumnya), dari segi ‘illah (sebab), dan dari faktor luar.

Tarjih dari segi asl, misalnya kias yang hukum asalnya didasarkan dengan dalil qath‘i (jelas, nyata) lebih didahulukan daripada kias yang didasarkan pada dalil zanni (tidak jelas) dan kias yang sifatnya khusus lebih didahulukan daripada kias yang sifatnya umum.

Tarjih dari segi furuk dapat dilakukan misalnya dengan lebih mendahulukan kias yang furuknya paling akhir datang daripada kias yang furuknya datang lebih dahulu atau dengan cara mendahulukan kias yang ilatnya diketahui secara qath‘i daripada kias yang ilatnya hanya didasarkan pada yang zanni.

Tarjih dari segi ilat dapat dilakukan dengan cara:

(1) melalui penetapan ilat, misalnya lebih menguatkan ilat yang qath‘i, seperti ilat yang langsung ditunjuk nas atau yang disepakati, daripada ilat yang ditetapkan melalui yang zanni dan

(2) dari segi sifat ilat itu sendiri, misalnya lebih menguatkan kias yang ilatnya dapat diukur dengan kias yang ilatnya tidak dapat diukur dan lebih menguatkan kias yang ilatnya dapat dikembangkan daripada kias yang ilatnya terbatas pada kasus itu saja.

Tarjih berdasarkan faktor luar, misalnya menguatkan kias yang ilatnya didukung oleh ilat lainnya.

Daftar Pustaka

Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1983.
as-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab. hasyiyah al-Bannani. Beirut: Dar al-Fikr, 1982.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-haqq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Nasrun Haroen