Al-Kazwini (lengkap: Zakaria bin Muhammad bin Mahmud Abu Yahya al-Kufi al-Kazwini) adalah seorang ilmuwan Arab Islam klasik yang menguasai berbagai bidang sains, seperti ilmu falak, geografi, geologi, mineralogi, botani, zoologi, dan etnografi. Di antara banyak bidang sains tersebut, ilmu falak merupakan bidang yang paling mendapat perhatiannya.
Al-Kazwini berasal dari Kazwin, Persia, tetapi ia mengaku keturunan Arab (suku Quraisy). Seorang nenek moyangnya yang bernama Syekh Abu al-Kasim bin Hibatullah al-Kazwini adalah ulama besar di Kazwin pada abad ke-3 H. Boleh jadi ia adalah generasi ketiga dari nenek moyangnya yang pertama kali pindah ke Persia. Nenek moyangnya mempunyai hubungan darah dengan Anas bin Malik. Keluarganya memakai nama akhir al-Kazwini setelah tinggal di Kazwin.
Pendidikan dasar dijalani al-Kazwini di kampung kelahirannya. Pada usia remaja, pada awal 630 H/1233 M, ia berkelana menuntut ilmu ke berbagai negeri, antara lain ke Baghdad dan Damascus. Di Damascus ia berjumpa dengan sufi dan filsuf mistik terkenal Ibnu Arabi. Pada masa mudanya ini ia juga bertemu dengan sejarawan terkenal Ibnu Asir (penulis kitab al-Kamil fi at-Tarikh li Ibn al-Atsir, w. 637 H/1239 M).
Dalam pengembaraannya, al-Kazwini juga pergi ke berbagai tempat di Persia dan pernah tinggal beberapa lama di al-Wasit dan al-Hilla, daerah antara Persia dan Irak, di sana ia diangkat menjadi kadi pada masa pemerintahan al-Musta‘sim (khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah di Baghdad, memerintah 640 H/1242 M–656 H/1258 M). Ia juga lama tinggal di Kufah dan akhirnya wafat di sana; itu sebabnya namanya memakai nasab al-Kufi.
Setelah Baghdad diserbu Hulagu Khan pada 656 H/1258 M, al-Kazwini menghilang dari muka umum. Sebagai seorang alim dan mantan kadi, hilangnya ia dari muka umum menjadi perhatian sejarawan. Rupanya ketika itu ia memusatkan perhatiannya untuk menelaah berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Al-Kazwini kemudian mendapat jaminan perlindungan dan bimbingan dari sejarawan dan negarawan al-Juwaini (w. 682 H/1283 M), yang menjadi gubernur Baghdad pada 661 H/1262 M di bawah kekuasaan Hulagu Khan dan penggantinya Abaka Khan. Perlindungan itu membuat al-Kazwini lebih produktif dalam menghasilkan karyanya. Karena perlindungan inilah agaknya karyanya tentang ilmu falak didedikasikan kepada al-Juwaini.
Karya monumental al-Kazwini dalam bidang ilmu falak berjudul ‘Aja’ib al-Makhluqat wa Gara’ib al-Maujudat (Keajaiban Makhluk dan Keanehan Alam). Kitab ini terdiri dari dua bagian besar. Pada bagian pertama, al-Kazwini mengemukakan uraian tentang benda langit seperti bulan, matahari, dan bintang, serta tentang penghuninya, yakni malaikat. Pada akhir bagian pertama ini ia mengemukakan perhitungan waktu dan kalender Arab dan Suriah.
Pada bagian kedua, al-Kazwini mengemukakan uraian tentang empat elemen alam fisika (udara, air, tanah, dan api) serta tentang meteor dan angin. Kemudian ia memberikan gambaran tentang iklim di bumi dalam tujuh bagian. Pada uraian selanjutnya ia mengemukakan gambaran tentang laut dan sungai yang ada di muka bumi. Ia juga menguraikan sebab terjadinya gempa bumi serta formasi pegunungan dan lembah.
Ia mengemukakan pembagian makhluk menjadi tiga golongan besar, yaitu alam mineral, alam tumbuhan, dan alam binatang (termasuk di dalamnya alam manusia). Dalam uraian ini ia mengemukakan gambaran tentang karakter, anatomi, dan kehidupan suku manusia. Uraian tentang makhluk hidup lain dikemukakan setelah uraian tentang jin dan iblis. Kitabnya diberi berbagai ilustrasi berupa tabel geometri serta gambar tumbuhan, binatang, dan berbagai macam monster dengan gaya artistic yang tinggi.
Aja’ib al-Makhluqat wa Gara’ib al-Maujudat merupakan kitab ilmu falak pertama yang sistematis dan paling komprehensif dalam literatur sains muslim. Karya al-Kazwini ini kemudian sering disalin orang sehingga ada banyak versinya, baik dalam bahasa Arab, Turki, maupun Persia.
Karya kedua al-Kazwini adalah tentang geografi (ilmu bumi) yang terdiri dari dua versi. Versi pertama berjudul ‘Aja’ib al-Buldan (Keajaiban Negeri), ditulis 661 H/1262–1263 M, berisi semacam ensiklopedi tentang negeri yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Versi kedua, yang merupakan pengembangan dan revisi versi pertama, selesai ditulis 674 H/1275–1276 M, dengan judul atsar al-Bilad wa Akhbar al-‘Ibad (Sejarah Negeri dan Kabar tentang Rakyatnya).
Gambaran tentang peta geografi (bumi) versi kedua ini mengikuti teori Ptolemaeus (ahli geografi Mesir kuno) yang membagi iklim di bumi atas tujuh bagian. Al-Kazwini menyebutkan kota, desa, pegunungan, sungai, dan sebagainya yang berada pada ketujuh iklim itu, menurut sistem hijaiah (abjad Arab). Uraian tentang kota dan desa dilengkapi dengan peta geografi, sejarah, dan biografi orang terkenal yang berasal dari daerah yang bersangkutan.
Jadi, atsar al-Bilad wa Akhbar al-‘Ibad mirip dengan Mu‘jam al-Buldan (Indeks tentang Negeri) karangan Sihabuddin Abu Abdullah Ya‘kub bin Abdullah al-Hamawi yang lebih dikenal dengan nama Yaqut ar-Rumi (ahli ilmu bumi, 1179–1229).
Sebenarnya corak karya al-Kazwini bukanlah sesuatu yang orisinal. Kelebihan al-Kazwini adalah penguasaan berbagai disiplin ilmu. Ia menyusun secara detail, memperbarui, dan menambah data, serta membuat sistematisasi berbagai bidang ilmu tersebut dalam waktu yang bersamaan.
Ia berhasil memadukan aneka ragam fakta dalam berbagai bidang ilmu yang diperolehnya pada waktu yang relatif singkat. Al-Kazwini berjasa besar dalam bidang ilmu falak karena berhasil menghimpun berbagai teori dan informasi ke dalam tulisan bermutu, dengan cakupan luas dan bahasa lugas, yang mudah dicerna pembacanya.
Karena karyanya merupakan semacam himpunan, al-Kazwini sering dituduh para orientalis sebagai ilmuwan rendahan. Misalnya, Gustav von Grunebaum (ahli sejarah dan orientalis abad ke-20 yang berasal dari Jerman), dalam bukunya Medieval Islam (Sejarah Islam pada Zaman Pertengahan, terbit di Chicago pada 1947), mengatakan bahwa ‘Aja’ib al-Makhluqat karya al-Kazwini merupakan contoh kemunduran ilmu pengetahuan pada abad ke-7 H/13 M, karena isinya hanya pengulangan dari karya pendahulunya.
G. Wiet (orientalis dari Perancis), dalam bukunya Introduction à la Littérature Arabe (Pengantar ke Literatur Arab, terbit di Paris 1966), memandang karya ilmu falak al-Kazwini tidak asli dan hanya jiplakan dari karya pendahulunya.
Tetapi menurut T. Lewicki (orientalis dari Belanda), al-Kazwini tidak bisa disebut penjiplak. Menurutnya, lumrah saja ilmuwan belakangan mengutip karya pendahulunya. Dalam tulisannya, ia memang sering mengutip Mu‘jam al-Buldan karya Yaqut, tetapi al-Kazwini menyajikan banyak informasi baru dalam karyanya itu. Gambaran tentang suatu negeri yang diberikan oleh Yaqut berbeda dari gambaran tentang negeri yang sama yang dikemukakan oleh al-Kazwini.
Terlepas dari kritik dan pujian terhadapnya, al-Kazwini dipandang memiliki pengaruh besar di kalangan ahli ilmu falak dan para ilmuwan Arab pada periode selanjutnya. Dua karya utamanya, Aja’ib al-Makhluqat dan atsar al-Bilad kembali dijadikan rujukan oleh para pengarang dalam bidang yang ditekuni al-Kazwini, seperti Syamsuddin ad-Dimasyqi (w. 727 H/1327 M), Ahmad bin Hamdan al-Harrani (menulis 732 H/1332 M), Hamdullah al-Kazwini (w. 750 H/1349 M), ad-Damiri (w. 808 H/1405 M), Ibnu al-Wardi (w. 861 H/1457 M), dan Mahmud bin Sa’id as-Safakusi (w. 1233 H/1818 M).