Al-Battani

(Harran, Turki, 244 H/858 M – Kasr al-Jiss, Suriah, 317 H/929 M)

Al-Battani adalah seorang astronom Arab termasyhur. Di Barat ia dikenal dengan nama Albatenius, Albategnus, atau Albategni. Bukunya, kompendium tabel astronomi, diterjemahkan ke bahasa Latin sekitar 1116. Edisi cetak berjudul De Motu Stellarum (Gerak Bintang) diterbitkan pada 1537. Ia melakukan observasi astronomi dan matematika dan melahirkan berbagai teori matematika.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Jabir bin Sinan al-Battani al-Harrani as-Sabi’. Para ilmuwan Abad Pertengahan menyebutnya dengan nama Albategni atau Albategnus. Al-Battani berasal dari keluarga yang memeluk kepercayaan Sabi’ah seperti sebutan yang tercantum di akhir namanya, namun al-Battani sendiri adalah seorang muslim yang taat. Ia menempuh pendidikan di kota kelahirannya dan hampir seluruh masa hidupnya dihabiskan di ar-Rakka, daerah tepi Sungai Eufrat, untuk mengadakan observasi astronomi.

Bersama Sabit bin Qurrah al-Harrani, seorang ahli geometri yang membahas waktu matahari, al-Battani melakukan observasi astronomi pada sebuah observatorium yang dibangun Khalifah al-Makmun (khalifah ketujuh Abbasiyah; 813–833). Ia banyak memperkenalkan­ terminologi astronomis yang bersumber dari bahasa Arab, antara lain azimut, zenit, dan nadir.

Azimut adalah besarnya sudut yang diapit oleh garis yang ditentukan dengan garis Utara-Selatan (dihitung menurut perputaran jarum jam mulai dari titik utara dengan limit 0° sampai 360°). Zenit adalah titik khayal di langit yang tegak lurus di atas bumi terhadap cakrawala (bola langit); titik puncak. Nadir adalah titik yang paling rendah dari bulatan cakrawala (bola langit) yang terletak tepat di bawah kaki pengamat (titik kaki).

Istilah yang diperkenalkannya itu kemudian diambil dan dikembangkan orang Eropa. Sumbangan yang diberikan al-Battani terhadap ilmu pengetahuan antara lain adalah keberhasilannya menentukan “garis lengkung” atau “kemiringan ekliptika” (orbit tempat matahari kelihatan bergerak), panjangnya tahun tropis, lamanya suatu musim, dan tepatnya orbit matahari serta orbit utama planet.

Ia berbeda pendapat dengan Claudius Ptolemaeus (ahli astronomi, geografi, dan matematika­ Mesir–Yunani­ Kuno, 100–178) tentang sifat immobilitas apogee (keadaan titik terjauh dari bumi dalam peredaran suatu satelit yang tidak bergerak) tata surya.

Ia menunjukkan bahwa yang demikian itu merupakan subjek bagi perubahan siang/malam yang terjadi lebih awal dalam tiap tahun berturut-turut. Berpegang kepada persamaan waktu merupakan subjek bagi variasi sekuler yang lambat.

Berbeda­ dengan­ Ptolemaeus, al-Battani menunjukkan adanya variasi diameter­ angular (garis tengah yang semu) yang tampak pada matahari dan kemungkin­an terjadinya gerhana yang berbentuk seperti­ cincin. Ia juga meralat beberapa ke­salahan pada penentuan orbit bulan dan planet.

Selain itu, ia juga menyatakan suatu metode baru yang lebih akurat untuk menentukan kondisi jarak penglihatan­ dari suatu bulan baru. Ia pula yang membetul­kan nilai ”pressesi” (gerak lambat teratur dari sumbu perputaran bumi terhadap kutub ekliptika).

Observasi yang dilakukan al-Battani mengenai gerhana bulan dan matahari ini selanjutnya dijadikan­ acuan oleh Dunthorne, seorang ahli kimia dari Perancis, pada 1749 untuk menentukan percepatan sekuler dari gerhana bulan.

Sebagai seorang ahli matematika, al-Battani dalam melakukan observasi astronomi selalu bersan­dar pada teori matematika. Dalam teori bintang misalnya, dialah yang memperkenalkan pengertian sinus dan kosinus sebagai pengganti istilah chord (tali busur) yang digunakan pada perhitungan astronomi­ dan trigonometri.

Sinus atau sine berasal dari bahasa Latin. Istilah tersebut dalam bahasa Arab disebut jaib yang berarti “teluk” atau “garis bengkok”. Adapun kotangen dalam bahasa Arab adalah­ “bayangan lurus” atau  “garis istiwa” (khatulis­tiwa)­ dari gnomon. Gnomon sendiri adalah suatu alat semacam papan yang digunakan untuk mengukur cahaya matahari setelah dibagi menjadi dua belas bagian.

Tangen adalah “garis bayang-bayang melintang”. Teori tangen dan kotangen ini akhirnya dijadikan dasar bagi ilmu trigonometri modern. Ia mengukur garis lurus khatulistiwa melalui pengukuran­ bayang-bayang yang muncul pada alat gnomon­. Garis lurus itulah yang disebut dengan kotangen,­ sedang garis melintangnya disebut tangen.

Alat gnomon yang digunakan al-Battani tersebut merupakan dasar yang mengilhami penciptaan jam yang kita kenal pada masa sekarang ini, setelah melalui proses penyempurnaan yang dila­kukan Abbas bin Abdullah Habasy al-Hisab al-Marwazi. Yang terakhir ini lebih dikenal dengan nama Habasy al-Marwazi (w. sekitar 250 H/864 M), seorang astronom muslim yang sejak muda telah menekuni bidang astronomi.

Berbeda dengan al-Battani, Habasy membaginya menjadi 60 bagian. Setiap bagian dinilainya sama dengan satu jam, satu jam sama dengan 60 menit, dan satu menit sama dengan 60 detik.

Dari kedua pembagian ini jelaslah bahwa al-Battani menghitung satu hari (siang hari) sama dengan 12 jam, sementara Habasy menghitungnya sama dengan 60 jam. Dalam perkembangan­ selanjutnya ketika bidang ilmu ini dibawa dan dikembangkan para astronom di Eropa, perbedaan yang terjadi antara kedua pembagian ini dikombinasikan dan dipadukan.

Satu hari dihitung sama dengan 12 jam menurut teori al-Battani, se­dangkan satu jam sama dengan 60 menit dan satu menit sama dengan 60 detik diambil dari teori Habasy. Kombinasi dari kedua pendapat itulah yang sampai sekarang menjadi ukuran waktu yang berlaku di seluruh dunia.

Keberhasilan lain yang ditampilkan al-Battani adalah kemampuannya untuk menghitung tabel sinus, tangen, dan kotangen dari 0° hingga 90° secara cermat, dan kemampuan-nya untuk menerapkan operasi aljabar pada tanda khas tri­gonometri untuk segitiga sferis. Dalam observasinya­ ia juga menyumbangkan semacam aturan untuk mencari tinggi matahari yang berhubungan dengan tinggi sebuah menara (L) dan bayangannya (X), melalui rumus lain:

L.Sin (90-θ)

X = –––––––––– = L.Cotg θ

Sin θ

di mana:

L = tinggi menara dan X = alas segitiga.

Al-Battani juga menemukan letak kesalahan penemuan Ptolemaeus tentang gerak, posisi, dan apo­gee matahari yang 17° itu. Ia menemukan bahwa garis bujur apogee (titik terjauh peredaran suatu benda langit dari bumi) matahari telah bertambah 16°40’.

Dengan menghitung panjang tahun menjadi 365 hari 5 jam 46 menit 24 detik, ketepatannya hanya berselisih 2 menit dibanding dengan perhitungan waktu yang sebenarnya.

Buku mengenai astronomi dan matematika yang ditulis al-Battani adalah sebagai berikut.

(1) Kitab Ma‘rifat Matali‘ al-Buruj fi ma Baina Arba‘ al-Falak. Buku ini membahas kenaikan tanda zodiak dalam suatu ruang di antara kuadrat sfera langit, yaitu kenaikan titik ekliptika pada waktu tertentu. Zodiak adalah serangkaian rasi yang berjumlah 12 buah yang berjajar sepanjang­ ekliptika. Adapun ekliptika adalah tempuhan­ atau falak bumi di sekitar matahari yang berge­rak ke arah bintang dari barat ke timur. Buku ini dipandang dapat memberikan suatu pe­mecahan terhadap persoalan astrologi dengan cara matematik.

(2) Syarh al-Maqalat al-Arba‘ li Batlamiyus,­ buku yang berisi uraian dan komentar tajam terhadap “tetrabilon” (bidang empat)-nya Ptolemaeus.

(3) Risalah fi Tahqiq Aqdar al-Ittisalat, buku yang berisi uraian tentang penentuan secara tepat kuantitas penerapan­ astrologi, yaitu suatu penyelesaian trigonometri terhadap masalah­ astrologis dari “Proiectio­ Radiorum” (radiasi proyeksi) ketika bintang mempunyai ruang gerak yang terletak di luar ekliptika­.

(4) Az-Zij, berisi uraian astronomis dilengkapi dengan tabel. Buku ini juga mengetengahkan hasil observasi yang dilaku­kannya,­ yang kemudian sangat­ berpengaruh bukan hanya bagi astronomi Arab tetapi juga bagi perkembangan astronomi dan trigonometri sferis (permukaan cembung) di Eropa pada Abad Pertengahan dan permulaan Renaisans.

Buku al-Battani yang terakhir tersebut telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Latin. Terjemahan ke bahasa Latin dilakukan Robertus Retinensis dan Plato Tibastinus, keduanya ilmuwan Yunani yang hidup pada awal abad ke-12.

Teks terjemahan Robertus Retinensis dinyatakan hilang, se­dangkan teks terjemahan versi Plato Tibastinus yang ternyata tidak dilengkapi dengan tabel matematika masih ada. Teks terjemahan versi terakhir ini telah diterbitkan beberapa kali, antara lain di Nuremburg, Jerman, 1537 dan di Bologna, Italia, 1645. Buku ini juga diterjemah­ kan ke dalam bahasa Spanyol oleh Alphonso X da Castile (1252–1282).

Daftar Pustaka

Arsyad, M. Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan, 1989.

al-Baiquni. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Yogyakarta: Pustaka, 1983.

Hasan, Hasan Ibrahim. Islamic History and Culture from 632–1968, atau Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

Nasr, Sayed Hossein. Science and Civilization in Islam. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1987.

–––––––. Islamic Science: an Illustrated Study. t.tp.: World of Islam Festival, 1976.

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

M Suparta