Fakir Miskin

(Ar.: faqir miskin)

Menurut sebagian ahli fikih, orang fakir tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak memiliki satu nisab zakat, kebalikan dari orang kaya yang memiliki satu nisab. Al-Qur’an menyamakan orang miskin dengan yatim piatu. Keduanya adalah penerima zakat.

Orang fakir dan orang miskin adalah urutan pertama dan kedua yang berhak menerima zakat sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah at-Taubah (9) ayat 60,

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Anas bin Malik, pembagian zakat dapat diberikan kepada satu atau dua bagian (fakir miskin) dengan melihat kebutuhan dari delapan kelompok penerima zakat. Tetapi menurut Imam Syafi‘i, pembagian zakat harus dengan cara membagi rata pada delapan kelompok yang disebutkan di atas.

Fakir
Di kalangan ahli fikih masih ada perbedaan pendapat mengenai batasan fakir dan miskin. Menurut sebagian pakar hukum, antara lain Imam Hanafi, fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Fakir merupakan orang yang tidak memiliki satu nisab zakat, kebalikan dari kaya, yaitu orang yang memiliki satu nisab zakat.

Imam Syafi‘i berpendapat bahwa fakir tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya hajat al-ashliyyah). Jadi, fakir lebih parah dibandingkan dengan miskin. Hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa Nabi SAW pernah berdoa kepada Allah SWT memohon agar diberi kehidupan miskin dan diwafatkan juga dalam keadaan miskin, tetapi Nabi SAW berlindung (taawuz) dari kefakiran.

Adapun Imam Hanafi berpendapat bahwa meskipun seseorang tidak berpenghasilan tetap, tetapi ada yang memenuhi kebutuhannya sehari-hari melalui sedekah sunah, ia tidak dapat dikategorikan fakir yang boleh menerima zakat. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang menyatakan:

“Aku beritakan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sedekah (zakat) diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kata fakir dalam bentuk mufrad atau kata tunggal (faqr) disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 5 kali, yaitu surah Ali ‘Imran (3) ayat 181, surah al-Qasas (28) ayat 24, surah an-Nisa’ (4) ayat 6 dan 135, serta surah al-Hajj (22) ayat 28. Kata fakir dalam bentuk jamak (al-fuqara’) disebutkan sebanyak 7 kali, yaitu surah an-Nur (24) ayat 32, surah Fathir (35) ayat 15, surah Muhammad (47) ayat 38, surah al-Baqarah (2) ayat 273, surah at-Taubah (9) ayat 60, dan surah al-Hasyr (59) ayat 8.

Miskin
Orang yang memiliki pekerjaan tetap, tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Menurut Abbas Kararah, ahli fikih, miskin lebih parah daripada fakir, tetapi pendapat ini tidak lazim, meskipun sependapat dengan Imam Malik dan para ulama Baghdad. Abu Hanifah, Imam Syafi‘i, dan sahabatnya mengang­gap bahwa fakir dan miskin adalah dua nama yang berarti satu.

Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan bahwa di antara ciri-ciri orang miskin itu ialah orang fakir yang enggan meminta-minta kepada orang lain: “Orang miskin itu bukanlah orang yang engkau berikan sebutir atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap makanan, melainkan orang miskin itu adalah orang yang memelihara dirinya dari meminta-minta” (HR. Abu Dawud).

Kata miskin disebut dalam Al-Qur’an sebanyak­ 23 kali. Orang miskin selain berhak menerima zakat sebagai sedekah wajib, juga dibenarkan menerima bantuan dalam bentuk lain, seperti sedekah sunah dan pembayaran kafarat. Al-Qur’an menyamakan derajat orang miskin dengan anak yatim piatu, jika sama-sama tidak memiliki kemampuan ekonomi.

Hal ini terdapat dalam beberapa surah dalam Al-Qur’an, seperti surah al-Baqarah (2) ayat 83, 176, dan 215; surah an-Nisa’ (4) ayat 8 dan 36; serta surah an-Nur (24) ayat 22. Memberikan perhatian kepada orang miskin merupakan bagian dari pengamalan agama.

Apabila hal ini tidak diperhatikan, berarti orang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama. Hal ini tercermin dalam surah al-Ma‘un (107) ayat 1–3 yang berarti: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Selain itu juga terdapat dalam surah al-Haqqah (69) ayat 34, surah al-Fajr (89) ayat 18, dan surah al-Muddassir (74) ayat 44. Oleh sebab itu, orang miskin selain merupakan tanggung jawab sosial bagi orang yang mampu, baik melalui zakat (sedekah wajib) maupun melalui sedekah sunah, juga merupakan tanggung jawab agama. Hal ini karena memberi nafkah orang yang tidak mampu merupakan ciri-ciri orang yang bertakwa untuk mencari kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT.

Daftar Pustaka

al-Banjari, Syekh Muhammad Arsyad. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Fairuzabadi. al-Muhadzdzab. Cairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Mak-tabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
Kararah, Abbas. ad-Din wa az-Zakah. Cairo: Maktabah Kararah, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.

Ahmad Rofiq