Evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai perkembangan perlahan-lahan atau tahap demi tahap tanpa unsur paksaan. Arti ini biasanya dikontraskan dengan perkembangan dan perubahan yang cepat serta melonjak atau sering kali juga disebut revolusi.
Dalam wacana ilmu, diksi kata “evolusi” lazim dan umum digunakan. Astronom berbicara tentang alam semesta yang berevolusi dari ledakan dahsyat (big bang) menuju struktur fisika. Karl Popper (filsuf Inggris; 1902–1994) dalam konteks epistemologi menulis buku dengan judul Objective Knowledge, an Evolutionary Approach untuk menunjukkan pertumbuhan ilmu yang berlangsung dari masalah lama ke masalah baru melalui konjektur (dugaan) dan refutasi (pembuktian).
Bahkan William Graham Sumner (sosiolog Amerika Serikat; 1840–1910) juga menyebut proses evolusi alamiah dalam pengertian pertarungan antara yang kuat dan lemah, yang berperan dalam kemajuan ekonomi dan politik. Evolusi dalam sejarah merupakan salah satu teori yang menjelaskan perkembangan peradaban umat manusia yang bermula dari yang paling sederhana menuju yang sempurna.
Kata “evolusi” menjadi populer setelah Charles Darwin (ahli zoologi Inggris; 1809–1882) memperkenalkan teorinya pada pertengahan abad ke-19. Evolusi yang dia maksud adalah evolusi populasi atau organik.
Secara ringkas, Darwin berteori tentang proses selektif kumulatif yang berlangsung pada makhluk hidup secara amat lamban dan alih ragam yang berjalan setahap demi setahap, sehingga memerlukan ribuan dan jutaan tahun untuk menjadi lengkap.
Menurut Prof. Dr. Teuku Jacob (paleontolog) dari Universitas Gajah Mada, evolusi tidak lain adalah perubahan frekuensi gen pada makhluk hidup dari generasi ke generasi. Perubahan itu tetap berlangsung sampai sekarang dan tidak ada yang tetap.
Dalam The Origin of Species yang terbit pada 1859, Darwin ingin menunjukkan bahwa evolusi populasi sebagai fakta telah berlangsung dan ada mekanisme yang bertanggung jawab terhadap evolusi tersebut. Menurut Darwin, mekanisme yang paling berpengaruh mendorong berlangsungnya evolusi populasi adalah seleksi alam.
Argumen seleksi alam Darwin ini dibangun di atas tiga generalisasi mengenai sifat organisme yang tampaknya tidak saling bertalian. Pertama, individu anggota spesies agak berbeda dibandingkan dengan individu lain dalam hal karakteristik ganda, yaitu struktur dan perilakunya.
Kedua, variasi individu hingga tingkat tertentu bersifat menurun, artinya diteruskan dari generasi ke generasi. Ketiga, prinsip Malthus (ahli ekonomi Inggris; 1766–1838) dalam bukunya An Essay on the Principle of Population menyatakan bahwa organisme berkembang biak pada laju yang melebihi kemampuan lingkungan yang mereka huni dan produksi makanan yang ada, sehingga banyak yang harus mati.
Mereka yang berhasil bertahan untuk tetap hidup dan melestarikan jenisnya adalah mereka yang terbukti sebagai yang terbaik dalam perjuangan mempertahankan diri.
Dalam buku pertamanya, The Origin of Species, Darwin sebenarnya tidak membahas masalah mengenai evolusi manusia, kecuali menyatakan harapan bahwa asal-usul manusia dan sejarahnya akan terterangi. Baru pada 1871, dalam buku keduanya, Descent of Man, Darwin menghebohkan dunia.
Dalam buku Descent of Man ini, ia menerapkan teorinya dalam perkembangan binatang menuju manusia. Binatang yang paling maju, yaitu kera, dengan mengalami proses struggle of life, sedikit demi sedikit berubah, dan dalam jenisnya yang paling sempurna, mengarah ke wujud kemanusiaan.
Di Jerman, kemudian muncul sarjana ilmu pengetahuan alam, yaitu Ernest Heinrich Haeckel (1834–1919) yang memopulerkan teori Darwin. Menurut Haeckel, dunia ini kekal, tidak ada permulaan, dan hidup tercipta dengan sendirinya secara mekanis. Demikian juga manusia.
Atas pengaruh Haeckel timbullah kebiasaan menyamaratakan manusia dengan kera; melalui ungkapan dangkal, manusia berasal dari kera. Haeckel dengan sikapnya yang ateistis membuka lebar jalan bagi penganut teori evolusi yang menentang Tuhan, lebih-lebih dalam hal ini Marxisme dan komunisme.
Darwin sendiri sebenarnya tidak menyebutkan satu pun spesies non-manusia yang mempunyai kemungkinan sebagai nenek moyang manusia; tetapi siapa dan bagaimana nenek moyang itu tetap belum ditemukan.
Darwin hanya memperlihatkan kesamaan yang sangat besar antara manusia dan binatang, dengan mengemukakan teori bahwa manusia dan kera antropoid pada suatu masa pasti telah berkembang dari nenek moyang yang sama.
Pada saat yang bersamaan tengkorak fosil pertama dari jenis manusia yang telah punah ditemukan, pertama-tama di Rock of Gibraltar dan beberapa tahun kemudian Neanderthal di Jerman. Fosil tengkorak itu berdahi rendah, menjorok mundur dengan lengkungan agak besar di mata, serta tidak berdagu. Ini menyerupai manusia dan kera.
Pemikiran Darwin ini memancing kemarahan pihak agama, terutama Gereja Katolik, yang tidak dapat menerima dan tidak membenarkan teori evolusi yang telah dirintis Darwin, karena tidak sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis).
Darwin meniadakan peran Tuhan selaku pencipta Charles Darwin, pencetus teori evolusi (evolusionisme versus kreasionisme). Sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra tentang teori evolusi di kalangan agamawan, baik Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, maupun Islam.
Bahkan di kalangan Kristen Protestan di Amerika terdapat kelompok-kelompok Kristen fundamentalis yang melarang penggunaan buku-buku yang mengandung teori Darwin.
Adapun dalam perspektif Islam, menurut Nurcholish Madjid (cendekiawan muslim Indonesia), para ulama Islam boleh dikatakan tidak pernah mempersoalkannya. Namun demikian, ulama Islam tidak seragam dalam menanggapinya. Ada yang menolak dan ada yang mencoba meletakkan dalam posisinya sebagai teori ilmu pengetahuan yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan penemuan baru yang lebih valid.
Kalangan Islam yang menolak teori evolusi mendasarkan pendapatnya dari keterangan dalam kitab suci bahwa jika Allah SWT menghendaki sesuatu ia hanya berfirman “Jadilah”, maka sesuatu itu pun menjadi. Berarti tidak ada evolusi atau proses menjadi yang lama, melainkan semuanya terjadi karena rancangan sempurna Tuhan.
Karenanya, Ahmad Baiquni (doktor Indonesia dalam bidang nuklir dari Universitas Chicago; 1923–1999), dengan mengutip surah al-‘Ankabut (29) ayat 20 dan surah an-Nahl (16) ayat 11–12, mengatakan bahwa yang ada hanya seleksi ilahiah bukan alamiah.
Said Hilabi (tokoh al-Irsyad) berpendapat lain tentang “Kun fa yakun” dalam firman Allah SWT. Menurut Hilabi, terjemahan yang paling pas adalah “Jadilah, maka sesuatu itu pun akan menjadi.” Dengan demikian, tersimpulkan adanya tenggang waktu, yaitu proses.
Menurut M. Quraish Shihab (ahli tafsir Al-Qur’an), tak sedikit dari sarjana muslim yang mengakui kebenaran teori tersebut, bahkan 5 abad sebelum Charles Darwin, Abdurrahman bin Khaldun (1332–1406) menulis dalam kitabnya, Kitab al-‘Ibar fi Daiwani al-Mubtadi’ wa al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut, “Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang meningkat dari alam kera.”
Yang dia maksud dengan kera adalah sejenis makhluk yang oleh para penganut evolusionisme disebut antropoides. Sementara ada juga kaum muslim yang membenarkan teori evolusi dengan ayat Al-Qur’an surah Nuh (17) ayat 13–14, “Mengapa kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah SWT, sedangkan Dia sesungguhnya telah menjadikan kamu berfase-fase (tingkatan kejadian).”
Muhammad Rasyid Rida (Suriah, 1865–1935), tokoh reformis Islam Mesir, dalam majalah al-Manar mengatakan, “Teori Darwin tidak membatalkan apabila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat Al-Qur’an. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin, teori itu adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun.”
Menurut Nurcholish Madjid, Al-Qur’an juga mengakui bahwa penciptaan alam raya oleh Allah SWT adalah sebagai ‘ayat’, simbol atau lambang yang tidak mesti diartikan secara harfiah.
Persoalan ilmiah teori evolusi Darwin ini melahirkan dialektika ilmu yang terus berevolusi. Selain memunculkan antitesis baru yang membantah teorinya, baik dari sudut teologis maupun ilmiah, tidak sedikit juga yang menyokong ide Darwin (neo-Darwinisme).
Inilah yang disebut Teuku Jacob bahwa teori evolusi sendiri juga berevolusi. Pada awalnya teori Aristoteles (filsuf Yunani; 384–322 SM), lalu Darwin, dan sekarang teori itu sudah banyak berubah. Bahkan Teuku Jacob yakin bahwa evolusi adalah jalan untuk menunjukkan cara Tuhan bekerja.
Terlepas dari pro-kontra tentang teori Darwin, dalam perkembangannya muncullah “Darwinisme biologis” (teori evolusi) dan “Darwinisme sosial”, yang berargumen bahwa masyarakat secara evolutif dan linear terus bergerak maju.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, Ahmad. “Evolusi Menurut Pandangan Sains,” makalah pada Seminar Sehari Teori Evolusi Perspektif Agama. Jakarta: LIPI, 1996.
Gould, Stephen Jay. The Mismeasure of Man. W.W. New York: Norton and Company, 1981.
Howard, Jonathan. Darwin Pencetus Teori Evolusi, terj. Hadyana Pudjaatmika.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Jacob, Teuku. “Evolusi adalah Cara Tuhan Bekerja,” Jurnal Relief, Vol. I, No. 1, Januari 2003.
Leksono, Karlina. “Teori Darwin dan Masalah Filosofi yang Dibangkitkan,” makalah pada Seminar Sehari Teori Evolusi Perpektif Agama. Jakarta: LIPI, 1996.
Madjid, Nurcholish, “Pandangan Keagamaan terhadap Teori Evolusi Tinjauan dari Semiotika Islam,” makalah untuk LIPI, IAIN, ICMI, Jakarta, 18 Desember 1996.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Yahya, Harun. The Al-Qur’an Leads the Way to Science. Singapura: Nickleodeon Books, 2002.
Amsal Bakhtiar