Menurut ajaran Islam, dunia adalah tempat tinggal sementara; menurut hadis, tempat singgah bagi musafir yang sedang dalam perjalanan. Sesuai dengan sifatnya sebagai tempat sementara atau tempat singgah, waktunya hanya sebentar jika dibandingkan dengan akhirat, yakni tujuan akhir kehidupan manusia abadi.
Sebagai lawan dari alam akhirat yang sifatnya gaib atau metafisika, alam dunia berarti alam syahadah atau fisika. Dengan demikian, pengertian dunia mencakup langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam dan di antara keduanya yang dapat disaksikan.
Meskipun dunia hanya tempat tinggal sementara, Islam mengajarkan bahwa seorang muslim tidak boleh melupakan kehidupannya di dunia. Allah SWT berfirman,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (QS.28:77).
Dalam ayat lain dinyatakan bahwa dunia ini diserahkan Allah SWT kepada manusia untuk dimanfaatkan demi kepentingannya sendiri (QS.14:32–33 dan QS.16:12). Dalam Al-Qur’an dinyatakan, apabila Allah SWT menciptakan sesua-tu, kepada sesuatu itu diberikan-Nya kekuatan atau hukum yang disebut petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan hukum inilah ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-Nya yang lain di dunia ini. Allah SWT berfirman,
“…Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan ke pada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS.20:50).
“Dialah yang menciptakan (segala sesuatu) dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS.87:2–3).
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS.7:54).
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” (QS.54:49–50).
Kejadian Dunia. Mengenai proses kejadian dunia (langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam dan di antara keduanya), Allah SWT berfirman:
“Dan apakah orang yang kafir tidak mengetahui bahwa sanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS.21:30).
Selanjutnya, Allah SWT menjelaskan bahwa keseluruhan proses penciptaan dunia ini terjadi dalam 6 hari (QS.7:54, QS.10:3, QS.11:7, QS.25:59, QS.32:4, QS.50:38, dan QS.57:4). Yang menjadi masalah pokok dalam ayat ini adalah mengenai jangka waktu penciptaan dunia yang dijelaskan dengan lafal “enam hari”.
Menurut Muhammad Jawad Magniyah, seorang ahli tafsir, dalam masalah ini terdapat perbedaan penafsiran di kalangan ahli tafsir yang pada pokoknya disebabkan oleh dua hal, yaitu:
(1) perbuatan Allah SWT tidak dapat ditentukan dengan masa dan (2) masa itu hanya ditentukan sesudah adanya langit dan bumi serta apa-apa yang ada di langit dan bumi tersebut. Justru itu kata tersebut harus ditakwilkan dengan penger-tian yang rasional. Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat untuk menentukan maknanya.
Sebagian memberi makna sebagaimana ukuran 6 hari dan sebagian yang lain memberi makna dengan enam periode. Yang dimaksudkan dengan enam periode adalah bahwa penciptaannya bukan satu ketika, karena setiap sesuatu mempunyai batas dan waktu yang tertentu.
Kedua pendapat tersebut didasarkan pada rekaan dan tidak mudah untuk menetapkan pendapat mana yang paling kuat. Namun kelihatannya lebih disepakati untuk memberi makna dengan “periode” atau “tahap”. Tetapi “enam hari” yang dimaksud adalah berdasarkan perhitungan hari Allah SWT yang tidak dapat dibandingkan dengan perhitungan hari di bumi.
Pada umumnya ahli tafsir memberi makna tersebut dengan sittah ayyam (enam masa) menurut perhitungan Allah SWT, bukan menurut perhitungan di bumi. Syekh Muhammad Rasyid Rida mengatakan bahwa 6 hari yang dimaksud adalah 6 masa menurut perhitungan Allah SWT. Tidak masuk akal perhitungan 6 hari itu sama dengan perhitungan di bumi.
Demikian pula Abu Su‘ud bin Muhammad, seorang ahli tafsir, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata ayyam adalah “waktu”. Justru itu kejadian alam dalam ayat tersebut di atas adalah berlangsung dalam enam masa. Sama halnya dengan Muhammad Husin Thabathaba’i, seorang ulama tafsir Iran, yang mengatakan bahwa ukuran hari dalam ayat tersebut adalah ukuran masa menurut perhitungan Allah SWT.
Menurut Rasyid Rida, penjelasan tentang asal pem bentukan langit dan bumi dijelaskan dalam surah al-Anbiya’ (21) ayat 30 dan proses penciptaan langit dan bumi dijelaskan dalam surah Fuœœilat (41) ayat 9–12. Dalam ayat tersebut dapat diambil beberapa hal penting.
(1) Penciptaan langit dan bumi berasal dari asap (dukhan).
(2) Asap pada mulanya berpadu satu, kemudian memecah. Dari bagian pecahan itu terjadilah langit dan bumi.
(3) Penciptaan bumi berlangsung dalam dua masa dan penciptaan isinya (gunung, tumbuhan, dan hewan) berlangsung dalam dua masa, sehingga genap menjadi empat masa.
(4) Sekalian yang hidup, baik tumbuhan dan hewan diciptakan dari air.
Masa penciptaan alam tersebut diperinci sebagai berikut:
(1) Masa pertama, asap (dukhan) yang memecah. (2) Masa kedua, timbul air yang berasal dari asap. (3) Masa ketiga, ter-pancangnya bukit dan gunung-gunung. (4) Masa keempat, terciptanya kehidupan yang berasal dari air, yaitu tumbuhan dan hewan. (5) Masa kelima, penciptaan langit. (6) Masa keenam, penciptaan benda langit.
Thabathaba’i dan Abu Su‘ud bin Muhammad menge mukakan bahwa perincian masa penciptaan alam adalah: penciptaan bumi selama dua masa, penciptaan isi bumi selama dua masa, dan penciptaan langit serta benda langit selama dua masa. Dengan demikian masa penciptaan alam secara sempurna adalah enam masa.
Apabila ditelaah firman Allah SWT yang berarti: “…Bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya…” (QS.21:30), jelas bahwa langit dan bumi pada mulanya ada-lah satu gumpalan dan satu materi. Mengenai hakikat dan jenis materi itu menurut al-Baghdadi (ahli usul fikih) tidak diperinci oleh Al-Qur’an dan diserahkan kepada manusia untuk menelitinya. Namun, dalam surah Fuœœilat (41) ayat 11 disebutkan bahwa langit itu pada mulanya adalah asap.
Dengan demikian, ketika itu langit masih berupa asap dan merupakan gumpalan bersama bumi, kemudian Allah SWT memisahkan bumi dari langit. Setelah Allah SWT menyem-purnakan penciptaan langit dan seluruh benda langit, lalu Dia menghamparkan bumi, yakni membentangkan permu-kaannya. Kemudian diturunkan-Nya air sehingga bumi dapat menumbuhkan berbagai jenis tanaman dan menghasilkan buah-buahan (QS.16:65 dan QS.79:30–31).
Dunia dalam Pandangan Kaum Sufi. Di samping Allah SWT menyerahkan dunia ini untuk dikelola dan dimanfaatkan demi kepentingan manusia sendiri, seperti telah disebutkan di atas, Dia memperingatkan manusia supaya berhati-hati agar jangan sampai terbawa hanyut oleh kehidupan duniawi yang dapat menyesatkannya.
Di antara sifat kehidupan duniawi yang harus diperhatikan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, adalah:
(1) kehidupan dunia hanya merupakan mainan dan senda gurau (QS.6:32);
(2) bahwa kehidupan dunia hanya merupakan permainan, sesuatu yang melalaikan, dan merupakan perhiasan untuk bermegah-megahan serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak (QS.57:20);
(3) kehidupan dunia jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit (QS.9:38);
(4) orang yang bermegah-megahan dan berbangga-bangga dengan banyaknya harta dan anak dalam kehidupan dunia akan memperoleh azab Allah SWT (QS.9:55);
(5) kehidupan dunia ibarat air hujan yang menyuburkan tumbuhan di muka bumi, padahal tumbuhan itu lalu menjadi kering dan musnah terk-ena angin (QS.18:45);
(6) harta dan anak hanya merupakan perhiasan kehidupan dunia (QS.18:46); (7) kehidupan dunia bagi orang kafir merupakan hiasan yang indah (QS.2:212); dan (8) kehidupan dunia hanya merupakan kesenangan sementara (QS.40:39).
Tampaknya ayat di atas telah mendorong kaum sufi untuk berpandangan bahwa kemewahan dunia ini adalah penghalang bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, oleh sebab itu harus dijinakkan.
Al-Ghazali dalam kitabnya Minhaj al-‘Abidin mengatakan bahwa dunia dengan segala isinya adalah salah satu rintangan yang bisa menghalangi seseorang untuk berbuat baik atau beribadah kepada Allah SWT. Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din, ia dengan panjang lebar menguraikan masalah tercelanya dunia.
Dunia yang dimaksudkan al-Ghazali juga adalah harta benda. Harta adalah salah satu bagian yang utama dari dunia. Oleh karena itu, al-Ghazali secara khusus membicarakan soal harta, yakni harta dapat membawa malapetaka dan kebahagiaan bagi manusia.
al-Hasan al-Basri, seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabiin, pernah memberi komentar tentang dunia. Katanya, “Dunia ialah tempat beramal, barangsiapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan bahagialah dia dan beroleh faedah dalam persahabatan itu. Tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepadanya, akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa pada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”
al-Hasan al-Basri juga mengatakan, “Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya tidak-lah dapat menyamai barang yang baka, walaupun sedikit. Awaslah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan.” Selanjutnya ia berkata, “Jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya membunuh.”
Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778 M), seorang sufi dari Khurasan (Iran), pada mulanya adalah seorang anak raja, tetapi kemudian meninggalkan kerajaan karena sewaktu berburu ia mendengar suara yang mengatakan, “Kamu diadakan bukan untuk hidup senang.” Ia kemudian pergi mengembara. Salah satu ucapannya, “Tinggalkanlah dunia ini. Cinta pada dunia membuat orang tuli serta buta, dan menjadi budak.”
Prof. H Abu Bakar Atjeh, mengatakan bahwa ada berbagai macam pandangan kaum sufi terhadap dunia ini. Ada yang membandingkannya dengan mimpi; ada yang membandingkannya dengan seorang wanita; ada yang membandingkannya dengan sebuah rumah yang memiliki dua pintu, sebuah tempat masuk dan sebuah tempat keluar yang tidak ada habis-habis pengunjungnya;
Ada yang membandingkannya dengan sawah tempat bercocok tanam dan hari akhirat sebagai tempat memungut hasilnya; ada yang membandingkannya dengan seekor ular yang cantik rupanya tetapi patukannya mematikan; bahkan ada yang membandingkannya dengan hidangan yang enak tetapi berisi racun; dan sebagainya. Semuanya untuk menunjukkan bahwa dunia itu tidak berharga, yang berharga ialah kehidupan di akhirat.
Daftar Pustaka
Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi & Tasawwuf. Sala-Semarang: Rama-dhani, t.t.
Basyuni, Ibrahim. Nasy’ah at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
–––––––. Minhj al-‘Abidin. Singapura: Sulaiman Mar’i, t.t.
HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
al-Hanafi, Abu as-Su’ud bin Muhammad. Tafsir Abi as-Su‘ud. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Mugniyah, Jawad. TafsÓr al-Kasyif. Beirut: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1970.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
Asmaran As