Diponegoro, Pangeran

(17 November 1785–8 Januari­ 1855)

Diponegoro adalah seorang pangeran Kesultan­an­ Yogyakarta yang menjadi pemimpin dan pahlawan perang melawan Belanda di Jawa pada abad ke-19. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III (memerintah 1810– 1814) dari istrinya R.A. Mangkara­wati,­ putri seorang kiai dari desa Tembayat di selatan Yogyakarta.

Diponegoro melewati masa kanak-kanaknya di bawah asuhan kakek dan nenek buyutnya da­lam lingkungan kraton Yogyakarta. Sejak kecil, ia, yang semula bernama R.M. Ontowiryo, diasuh nenek­ buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Hamengku Buwono I (memerintah 1755–1792).

Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat dan digantikan putranya (Sultan Hamengku Buwono­ II, 1792–1810), Ratu Ageng tidak betah tinggal di kraton. Ia lalu membawa Diponegoro ke Tegalrejo, Magelang,­ dan hidup bersama rakyat­ biasa.

Di daerah itu Ratu Ageng memiliki tanah persawahan dan perkebunan yang luas. Di sana ia mendirikan masjid dan surau untuk tempat beribadah dan tempat belajar agama bagi anak-anak setempat. Di tempat inilah Dipone­goro menimba­ ilmu sebanyak-banyaknya, baik dari para guru maupun dari para santri senior.

Di sana pulalah­ ia dapat bertemu dengan ulama-ulama terkenal pada masa itu. Ia pernah belajar pada Taftajani Kiai, seorang ulama dari Sumatera, yang bermukim dekat Tegalrejo.

Diponegoro tumbuh menjadi seorang yang alim, taat, dan sederhana. Hal ini tampak dari cara hidupnya sehari-hari. Ketaatannya kepada Islam membuatnya gemar bergaul dengan ulama dan senang belajar tasawuf, tauhid, dan fikih. Berbeda dengan bangsawan muda seusia­nya, ia enggan sekali muncul di kraton, kecuali kalau ada upacara keagamaan, seperti upacara Grebeg (Maulid).

Keeng­ganannya­ untuk hadir di istana adalah karena ia menilai tempat itu telah terpengaruh budaya Barat yang bertentangan­ dengan ajaran Islam, seperti­ kebiasaan memi­num minuman keras. Kraton juga dirasakan telah dipenuhi­ intrik-intrik Belanda.

Setelah Ratu Ageng meninggal, Diponegoro te­tap tinggal di Tegalrejo sampai pecahnya perang­. Ia mewarisi semua kekayaan neneknya itu di situ. Dalam mengelola tanah peninggalan neneknya,­ ia berhasil membuktikan dirinya sebagai se­orang yang pandai mengelola keuangan, tetapi cukup toleran­ dan memberi kemudahan kepada penyewa tanah.

Lingkungan kehidupan yang sederhana­ dan pendidikan­ keagamaannya telah mengantarkannya menjadi seorang pangeran yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan pangeran lain pada masanya.

Dalam kedudukannya sebagai seorang pange­ran, hal yang tampak paling menonjol pada diri Diponegoro ialah pakaiannya yang khas, yaitu pa­kaian yang biasa dikenakan ulama Mekah pa­da masa itu, yang terdiri atas jubah, ikat ping­gang, dan serban.

Ia telah mengenakan pakaian seperti itu sebelum pecahnya Perang Dipone­goro­. Dalam babad yang ditulis Adipati Cakranegara I (1830–1862) dipaparkan bahwa Diponegoro­ mempunyai sifat adil, tidak membeda-bedakan pengikutnya,­ dan mempunyai perhatian yang besar terhadap rakyat kecil.

Jika dipelajari sikap hidup Diponegoro me­lalui babad yang ditulisnya sendiri, yaitu Babad Diponegoro, tampak bahwa ia tidak senang me­lihat kemungkaran yang terjadi di kraton Yogyakarta­ akibat pengaruh Belanda. Di hatinya selalu bergelora keinginan untuk menegakkan yang hak dan menghapuskan yang batil.

Ketika ia menyaksikan kemungkaran, kemerosotan moral, kesewe­nangan penguasa istana, penetrasi­ Belanda yang dipandangnya­ sebagai kafir, penindasan terhadap rakyat kecil, timbullah rasa benci di hatinya dan berkobarlah semangatnya untuk membela agama dan menegak­kan­ kebenaran. Sejak itu ia memimpin suatu peperangan­ yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Perang Diponegoro (1825–1830) merupakan suatu perang besar dan dahsyat, yang dikobarkan bersama rakyat melawan penjajah Belanda. Dalam perang ini hampir sepertiga (lebih kurang dua juta) penduduk Kesultanan­ Yogyakarta menderita kerugian materiil maupun spiritual­.

Di pihak Diponegoro­ diperkirakan­ sekitar 200 ribu orang me­ninggal,­ dan di pihak Belan­da sekitar 15 ribu orang. Untuk perang ini Belanda harus mengeluarkan­ dana dua juta gulden.

Sebab-sebab timbulnya Perang Diponegoro antara­ lain:

(1) penetrasi Belanda semakin kuat dalam kehidupan­ kraton Yogyakarta;

(2) kehidupan­ rakyat kecil semakin tertindas di balik ke­hidupan me-wah para bangsawan;­

(3) hukum agama tidak dilak­sanakan lagi;

(4) ketentuan adat sudah diabaikan dan tidak dihargai lagi; dan

(5) kesewenang­-wenangan Patih Danureja (pemegang pe­merintahan­ di bawah Sultan Hamengku Buwo­no V, 1822–1855) yang dianggap sebagai boneka Belanda.

Menurut para ahli sejarah, selain hal-hal tersebut di atas, sebab langsung yang menimbulkan Pe­rang Diponegoro adalah pemancangan­ tanah Diponegoro­ untuk pembuatan jalan raya, yang dilakukan­ atas perintah Residen Huibert Gerard Nahuys tanpa seizin Diponegoro.

Dalam Babad Diponegoro, perang itu disebut Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan orang kafir. Konsep “perang sabil” inilah yang melandasi perjuangan Diponegoro dan para pengikutnya sehingga­ ia digelari para pengikutnya sebagai Ratu Paneteg Panatagama (pemimpin agama di Tanah Jawa).

Diponegoro memimpin perang itu secara bergerilya­ di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam peperangan itu ia dibantu sekitar empat puluh­ bupati yang berada di sekitar Yogyakarta, sejumlah besar guru agama dan ulama, khususnya yang berasal­ dari daerah perdikan (daerah­ bebas pajak) dan sejumlah besar penduduk desa.

Di antara­ ulama itu ialah Kiai Maja, yang berasal dari perdikan Maja (wilayah Surakarta). Panglima perang yang terkenal dalam peperangan­ tersebut adalah Sentot Prawirodirjo (Alibasah).

Babad Diponegoro adalah sebuah otobiografi yang ditulis Diponegoro dalam masa pembuang­an­ di Manado, Sulawesi Utara. Terdiri dari bait, babad itu menjelaskan­ perasaannya dan hal-hal yang dialaminya sebelum dan sesudah­ pepe­rangan.

Beberapa bait dari babad itu menggambarkan­ ke­takwaan dan keimanannya, pengharap­an­ yang besar akan datangnya pertolongan Allah SWT dan syafaat Nabi SAW, serta kepasrahannya terhadap takdir yang digariskan Allah SWT.

Pengikutnya memberi gelar Diponegoro­ dengan gelar Sultan Ngabdulkamit Erucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah­ Jawa. Gelar ini diartikan bahwa Diponegoro adalah Ratu Adil yang ditunggu dan dijanji­kan Tuhan­ akan datang­ kepada para pengikutnya­ untuk melepaskan mereka dari penindas­an­ dan penderi­taan­.

Sebagai pemimpin agama dan Ratu Adil, ia mendapat­kan dukungan­ penuh dari para­ pengikutnya­. Sebagai pemimpin agama, ia berjuang membela­ agama. Karena itu, pengikutnya beranggapan bahwa berjuang bersamanya merupakan perbuatan yang benar dan terpuji. Adapun sebagai­ Ratu Adil, kedatangannya­ diharapkan mampu mengembalikan ketenteraman rakyat.

Dengan kedua gelar tersebut, Diponegoro ti­dak sulit mencari pen­dukung dalam perjuangannya. Terbukti­ bahwa dari awal sampai akhir pe­rang ia didukung ratusan ribu rakyat dan ulama. Mereka ini dikelom­pokkan ke dalam pasukan­ khusus dan pasukan umum. Pa­sukan khusus terdiri dari para santri dan ulama, sedangkan pasukan­ umum dipimpin para bang­sawan.

Dengan semangat jihad yang menyala-nyala, Diponegoro dan pengikutnya ber­juang melawan kolonial Belanda selama 5 tahun­ tanpa mengenal lelah. Perjuangan mereka berhasil meng­goyahkan kekuasaan kolonial Belanda, bahkan nyaris menumbangkannya­.

Kenyataan tersebut mengejutkan pihak Belanda. Berba­gai cara ditempuh untuk mematahkan semangat juang mereka, baik dengan cara keke­rasan­ dan kekuatan senjata maupun dengan siasat sikap manis, janji-janji muluk atau perundingan. Namun semua itu tidak berhasil.

Kemudian panglima­ tentara Belanda, Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock, menjalankan siasat perbentengan (benteng stelsel), yakni mendirikan benteng yang dilengkapi dengan penjaga­an tentara yang kuat dan persenjataan yang lengkap di setiap daerah yang dapat direbut denga­n tujuan mempersempit gerak Diponegoro. Usaha kolonial Belanda ini berhasil dan pada­ akhir 1829 perlawanan Diponegoro mulai merosot­.

Jenderal de Kock mengajak Diponegoro untuk mengadakan perundingan perdamaian di Magelang­ yang diterima dengan baik oleh Diponegoro. Maka ia datang ke Mage­lang­ hanya diiringi beberapa pengikutnya­. Tetapi sesampai di sana pada­ 28 Maret 1830, ia ditangkap dan diperlakukan sebagai tawanan­ perang.

Lalu ia bersama istri, anak-anak, dan pengawal setianya diasingkan ke Manado. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan meninggal di sana pada 1855. Makamnya sampai kini masih dapat dijumpai di tengah kota itu.

Daftar Pustaka

Carey, Peter. Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azzet, 1986.
–––––––. Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java War (1825–1830). Kuala Lumpur: The Surakarta Court Version Art Printing Works, 1981.
–––––––. Lambang Wayang dalam Tiga Babad Dipanagara, Masyarakat Indonesia. Jil. V. Jakarta: t.p., 1978.
Sagimun, M.D. Pahlawan Diponegoro Berjuang, Bara Api Kemerdekaan nan TakKunjung Padam. Yogyakarta: Dep. P & K, 1960.
Yamin, Muhammad. Sejarah Peperangan Diponegoro. Jakarta: t.p., 1945.

Musdah Mulia