Diponegoro adalah seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta yang menjadi pemimpin dan pahlawan perang melawan Belanda di Jawa pada abad ke-19. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III (memerintah 1810– 1814) dari istrinya R.A. Mangkarawati, putri seorang kiai dari desa Tembayat di selatan Yogyakarta.
Diponegoro melewati masa kanak-kanaknya di bawah asuhan kakek dan nenek buyutnya dalam lingkungan kraton Yogyakarta. Sejak kecil, ia, yang semula bernama R.M. Ontowiryo, diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Hamengku Buwono I (memerintah 1755–1792).
Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat dan digantikan putranya (Sultan Hamengku Buwono II, 1792–1810), Ratu Ageng tidak betah tinggal di kraton. Ia lalu membawa Diponegoro ke Tegalrejo, Magelang, dan hidup bersama rakyat biasa.
Di daerah itu Ratu Ageng memiliki tanah persawahan dan perkebunan yang luas. Di sana ia mendirikan masjid dan surau untuk tempat beribadah dan tempat belajar agama bagi anak-anak setempat. Di tempat inilah Diponegoro menimba ilmu sebanyak-banyaknya, baik dari para guru maupun dari para santri senior.
Di sana pulalah ia dapat bertemu dengan ulama-ulama terkenal pada masa itu. Ia pernah belajar pada Taftajani Kiai, seorang ulama dari Sumatera, yang bermukim dekat Tegalrejo.
Diponegoro tumbuh menjadi seorang yang alim, taat, dan sederhana. Hal ini tampak dari cara hidupnya sehari-hari. Ketaatannya kepada Islam membuatnya gemar bergaul dengan ulama dan senang belajar tasawuf, tauhid, dan fikih. Berbeda dengan bangsawan muda seusianya, ia enggan sekali muncul di kraton, kecuali kalau ada upacara keagamaan, seperti upacara Grebeg (Maulid).
Keengganannya untuk hadir di istana adalah karena ia menilai tempat itu telah terpengaruh budaya Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kebiasaan meminum minuman keras. Kraton juga dirasakan telah dipenuhi intrik-intrik Belanda.
Setelah Ratu Ageng meninggal, Diponegoro tetap tinggal di Tegalrejo sampai pecahnya perang. Ia mewarisi semua kekayaan neneknya itu di situ. Dalam mengelola tanah peninggalan neneknya, ia berhasil membuktikan dirinya sebagai seorang yang pandai mengelola keuangan, tetapi cukup toleran dan memberi kemudahan kepada penyewa tanah.
Lingkungan kehidupan yang sederhana dan pendidikan keagamaannya telah mengantarkannya menjadi seorang pangeran yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan pangeran lain pada masanya.
Dalam kedudukannya sebagai seorang pangeran, hal yang tampak paling menonjol pada diri Diponegoro ialah pakaiannya yang khas, yaitu pakaian yang biasa dikenakan ulama Mekah pada masa itu, yang terdiri atas jubah, ikat pinggang, dan serban.
Ia telah mengenakan pakaian seperti itu sebelum pecahnya Perang Diponegoro. Dalam babad yang ditulis Adipati Cakranegara I (1830–1862) dipaparkan bahwa Diponegoro mempunyai sifat adil, tidak membeda-bedakan pengikutnya, dan mempunyai perhatian yang besar terhadap rakyat kecil.
Jika dipelajari sikap hidup Diponegoro melalui babad yang ditulisnya sendiri, yaitu Babad Diponegoro, tampak bahwa ia tidak senang melihat kemungkaran yang terjadi di kraton Yogyakarta akibat pengaruh Belanda. Di hatinya selalu bergelora keinginan untuk menegakkan yang hak dan menghapuskan yang batil.
Ketika ia menyaksikan kemungkaran, kemerosotan moral, kesewenangan penguasa istana, penetrasi Belanda yang dipandangnya sebagai kafir, penindasan terhadap rakyat kecil, timbullah rasa benci di hatinya dan berkobarlah semangatnya untuk membela agama dan menegakkan kebenaran. Sejak itu ia memimpin suatu peperangan yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Perang Diponegoro (1825–1830) merupakan suatu perang besar dan dahsyat, yang dikobarkan bersama rakyat melawan penjajah Belanda. Dalam perang ini hampir sepertiga (lebih kurang dua juta) penduduk Kesultanan Yogyakarta menderita kerugian materiil maupun spiritual.
Di pihak Diponegoro diperkirakan sekitar 200 ribu orang meninggal, dan di pihak Belanda sekitar 15 ribu orang. Untuk perang ini Belanda harus mengeluarkan dana dua juta gulden.
Sebab-sebab timbulnya Perang Diponegoro antara lain:
(1) penetrasi Belanda semakin kuat dalam kehidupan kraton Yogyakarta;
(2) kehidupan rakyat kecil semakin tertindas di balik kehidupan me-wah para bangsawan;
(3) hukum agama tidak dilaksanakan lagi;
(4) ketentuan adat sudah diabaikan dan tidak dihargai lagi; dan
(5) kesewenang-wenangan Patih Danureja (pemegang pemerintahan di bawah Sultan Hamengku Buwono V, 1822–1855) yang dianggap sebagai boneka Belanda.
Menurut para ahli sejarah, selain hal-hal tersebut di atas, sebab langsung yang menimbulkan Perang Diponegoro adalah pemancangan tanah Diponegoro untuk pembuatan jalan raya, yang dilakukan atas perintah Residen Huibert Gerard Nahuys tanpa seizin Diponegoro.
Dalam Babad Diponegoro, perang itu disebut Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan orang kafir. Konsep “perang sabil” inilah yang melandasi perjuangan Diponegoro dan para pengikutnya sehingga ia digelari para pengikutnya sebagai Ratu Paneteg Panatagama (pemimpin agama di Tanah Jawa).
Diponegoro memimpin perang itu secara bergerilya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam peperangan itu ia dibantu sekitar empat puluh bupati yang berada di sekitar Yogyakarta, sejumlah besar guru agama dan ulama, khususnya yang berasal dari daerah perdikan (daerah bebas pajak) dan sejumlah besar penduduk desa.
Di antara ulama itu ialah Kiai Maja, yang berasal dari perdikan Maja (wilayah Surakarta). Panglima perang yang terkenal dalam peperangan tersebut adalah Sentot Prawirodirjo (Alibasah).
Babad Diponegoro adalah sebuah otobiografi yang ditulis Diponegoro dalam masa pembuangan di Manado, Sulawesi Utara. Terdiri dari bait, babad itu menjelaskan perasaannya dan hal-hal yang dialaminya sebelum dan sesudah peperangan.
Beberapa bait dari babad itu menggambarkan ketakwaan dan keimanannya, pengharapan yang besar akan datangnya pertolongan Allah SWT dan syafaat Nabi SAW, serta kepasrahannya terhadap takdir yang digariskan Allah SWT.
Pengikutnya memberi gelar Diponegoro dengan gelar Sultan Ngabdulkamit Erucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Gelar ini diartikan bahwa Diponegoro adalah Ratu Adil yang ditunggu dan dijanjikan Tuhan akan datang kepada para pengikutnya untuk melepaskan mereka dari penindasan dan penderitaan.
Sebagai pemimpin agama dan Ratu Adil, ia mendapatkan dukungan penuh dari para pengikutnya. Sebagai pemimpin agama, ia berjuang membela agama. Karena itu, pengikutnya beranggapan bahwa berjuang bersamanya merupakan perbuatan yang benar dan terpuji. Adapun sebagai Ratu Adil, kedatangannya diharapkan mampu mengembalikan ketenteraman rakyat.
Dengan kedua gelar tersebut, Diponegoro tidak sulit mencari pendukung dalam perjuangannya. Terbukti bahwa dari awal sampai akhir perang ia didukung ratusan ribu rakyat dan ulama. Mereka ini dikelompokkan ke dalam pasukan khusus dan pasukan umum. Pasukan khusus terdiri dari para santri dan ulama, sedangkan pasukan umum dipimpin para bangsawan.
Dengan semangat jihad yang menyala-nyala, Diponegoro dan pengikutnya berjuang melawan kolonial Belanda selama 5 tahun tanpa mengenal lelah. Perjuangan mereka berhasil menggoyahkan kekuasaan kolonial Belanda, bahkan nyaris menumbangkannya.
Kenyataan tersebut mengejutkan pihak Belanda. Berbagai cara ditempuh untuk mematahkan semangat juang mereka, baik dengan cara kekerasan dan kekuatan senjata maupun dengan siasat sikap manis, janji-janji muluk atau perundingan. Namun semua itu tidak berhasil.
Kemudian panglima tentara Belanda, Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock, menjalankan siasat perbentengan (benteng stelsel), yakni mendirikan benteng yang dilengkapi dengan penjagaan tentara yang kuat dan persenjataan yang lengkap di setiap daerah yang dapat direbut dengan tujuan mempersempit gerak Diponegoro. Usaha kolonial Belanda ini berhasil dan pada akhir 1829 perlawanan Diponegoro mulai merosot.
Jenderal de Kock mengajak Diponegoro untuk mengadakan perundingan perdamaian di Magelang yang diterima dengan baik oleh Diponegoro. Maka ia datang ke Magelang hanya diiringi beberapa pengikutnya. Tetapi sesampai di sana pada 28 Maret 1830, ia ditangkap dan diperlakukan sebagai tawanan perang.
Lalu ia bersama istri, anak-anak, dan pengawal setianya diasingkan ke Manado. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan meninggal di sana pada 1855. Makamnya sampai kini masih dapat dijumpai di tengah kota itu.
Daftar Pustaka
Carey, Peter. Asal Usul Perang Jawa. Jakarta: Pustaka Azzet, 1986.
–––––––. Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java War (1825–1830). Kuala Lumpur: The Surakarta Court Version Art Printing Works, 1981.
–––––––. Lambang Wayang dalam Tiga Babad Dipanagara, Masyarakat Indonesia. Jil. V. Jakarta: t.p., 1978.
Sagimun, M.D. Pahlawan Diponegoro Berjuang, Bara Api Kemerdekaan nan TakKunjung Padam. Yogyakarta: Dep. P & K, 1960.
Yamin, Muhammad. Sejarah Peperangan Diponegoro. Jakarta: t.p., 1945.
Musdah Mulia