Diniyah Puteri, Madrasah

Perguruan Islam wanita pertama di Indonesia adalah Madrasah Diniyah Puteri. Sekolah ini didirikan pada 1 November 1923 di Padangpanjang, Su­matera Barat, oleh Rahmah el-Yunusiyyah (Padang­panjang,­29 De­sember 1900–26 Februari 1969), seorang wanita pe­ lopor perguruan dan pendidikan Islam.

Riwayat Madrasah Diniyah Puteri tidak bisa­ dilepaskan dari Diniyah School Padang panjang yang didirikan oleh H Zainuddin Labay el-Yunusy, kakak Rahmah el-Yunusiyyah, pada 1915. Diniyah­ School yang merupakan perkembangan­ da­ri Surau Jembatan Besi meng­guna­kan sistem pendi­dikan koedukasi yang dicontohnya dari kebiasaan yang berlaku di sekolah pemerintah waktu itu.

Diniyah School seperti yang dikembangkan H Zainuddin Labay el-Yunusy itu mendapat dukungan yang besar dari masyarakat. Pada 1922 berdiri sekitar 15 sekolah yang sama di daerah Minang­kabau.

Kelahiran diniyah-diniyah itu merupakan pengaruh­ dan sekaligus merupakan tandingan bagi­ Volkschool yang didi­ri­kan­ pemerintah Belanda yang dikenal juga dengan nama sekolah­ desa. Karena­ yang terakhir ini didirikan­ pemerintah Belanda yang kafir, maka banyak ulama­ me­nentang berdirinya sekolah itu.

Rahmah el-Yunusiyyah mempunyai keinginan untuk mendirikan diniyah school khusus untuk putri. Minatnya itu didorong keyakinan bahwa­ terdapat masalah yang hanya khusus berlaku bagi wanita dan yang terutama dapat di­beri­kan oleh wanita.

Ketika itu Rahmah adalah ketua Persatuan Murid-Murid Diniyah School (PMDS). Gagasan Rahmah ini kemudian disampaikannya di hadapan anggota PMDS yang ternyata mendukung gagasan itu. Maka pada hari Kamis 1 November 1923 berdirilah Madrasah li Banat (sekolah untuk wanita), yang untuk pertama kalinya bernama Diniyah School Puteri.

Ketika itu Rahmah el-Yunusiyyah baru berumur­ 23 tahun. Rahmah adalah anak bungsu dari lima bersau­dara. Ayah nya, Syekh Muhammad Yunus, se­orang ulama Islam yang memangku jabatan kadi di negeri Pandai Sikat, Padang panang, meninggal­ dunia ketika­ Rahmah masih kanak-kanak. Oleh karena itu, dia dididik­ oleh ibu dan kakaknya yang telah berumahtangga.

Dalam 3 tahun pertama berdirinya perguruan­ ini, pendidikannya dititikberatkan pada pemberantasan buta aksara di kalangan kaum wanita yang sudah berumah tangga­. Sejak itu muridnya terus bertambah. Pada waktu itu, tempat belajar adalah di serambi Masjid Pasar Usang, yang terletak di depan rumah Rahmah el-Yunusiyyah.

Pada 1924, setelah murid yang belum­ kawin mencapai jumlah 71 orang, ruang belajar dipindahkan ke ru­mahnya sendiri. Untuk itu dibuatlah ruangan­ belajar yang diatur per kelas. Se­mua murid tinggal dalam asrama yang ditangani sendiri oleh Rahmah.

Pada 1926 lembaga pendidikan­ ini mendapat musibah. Bangunan perguruan yang baru­ dibangun hancur oleh gempa bumi yang melanda Padangpanjang. Semua murid perguruan itu pulang ke kampung masing-masing.

Rahmah kemudian memulai kembali kegiatan mencari dana dan mulai lagi membina perguruan itu dari nol. Pada 1927 Rahmah berkeliling Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah bangunan permanen yang baru. Untuk pengumpulan dana itu, Rahmah bahkan sampai mengembara ke Malaya (Malaysia),­ menemui sultan-sultan Melayu.

Tidak lama setelah gempa itu, kegiatan belajar segera berjalan dengan bangun­an darurat. Bangunan permanen baru terwujud 2 tahun kemudian. Pada 1932 dan 1935 ia kembali melakukan perjalanan ke Malaya untuk mengantarkan putri-putri lulusan Perguruan Diniyah Puteri untuk menjadi guru di berbagai­ sekolah di Penang dan Trenggano.

Rahmah el-Yunusiyyah memang sangat giat dan berse mangat untuk mengembangkan seko­lah­ yang didirikannya ini. Pada 1930, untuk meningkatkan kemampuan murid­ madrasah yang terdiri dari tujuh kelas itu, ia mendirikan tingkat menengah, dengan tujuan untuk memberikan pelajaran dan pendidikan yang lebih tinggi kepada murid, terutama supaya mereka mempunyai kemampuan yang lebih­ baik dalam mengajar.

Pada 1937 sebuah­ sekolah guru untuk putri pun didirikan. Pada­ tahun 1930-an itu perguruan­ ini mengalami­ peningkatan. Muridnya te­rus bertambah banyak. Mereka berasal dari Yogyakarta,­ Lombok, Ternate, Halmahera, Sula­wesi, dan Ma­laya, di samping berasal dari Sumatera sendiri.

Pada 1935 Diniyah Puteri mendiri­kan sebuah­ cabangnya di Jakarta yang membina tiga buah sekolah, yaitu di Gang Nangka Kwitang, di Kebon Kacang Tanah Abang, dan di Rawasari.

Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan­ Republik Indonesia, proses pendidikan­ perguruan ini sempat terhenti. Setelah Belanda menduduki Padangpanjang­ pada agresi kedua, ge­dung perguruan diniyah ini berfungsi sebagai Rumah­ Sakit Umum khusus untuk pasien wanita.

Gedung ini baru kembali berfungsi seba­gai lembaga pendidikan setelah penyerahan kedaulatan. Sejak itu Madrasah Diniyah Puteri ini kembali berusaha­ meneruskan­ cita-citanya.

Kemajuan yang dicapainya se­belum dan sesudah kemer­dekaan mengundang banyak pemerhati pendidikan datang ke lembaga ini, seperti dari Malaysia, Singa­pura, dan negara Timur Tengah, di samping­­ dari dalam negeri sendiri.

Pada 1955 rektor Universitas al-Azhar Cairo meng­adakan kun­jungan khusus ke perguruan ini. Syekh al-Azhar sangat kagum melihat usaha besar ini dan mengakui­ secara terus terang bahwa Mesir dengan al-Azharnya yang sudah berusia 1.000 tahun itu ma­sih ketinggalan. Lembaga pendidikan­ khusus putri waktu itu belum ada di Mesir, apalagi di negeri­ Arab yang lain.

Pada 1957 Rahmah el-Yunusiyyah diundang ke al-Azhar dan mendapat gelar kehormatan keagamaan­ yang tertinggi dari Rapat Senat Guru Besar al-Azhar, yaitu Syaikhah, gelar yang belum pernah dianu­gerahkan sebelumnya­.

Karena keberhasilannya, Pemerintah Mesir memberikan beasiswa bagi lulusan madrasah ini untuk melanjutkan pendidikannya ke al-Azhar, yaitu pada 1950, 1965, dan 1972. Pada 1969 pemerintah Kuwait melakukan hal yang sama di salah satu lembaga pendidikan tinggi di Kuwait.

Dari dalam negeri sendiri, perhatian dan peng­hargaan pemerintah juga besar. Pada 1969, pemerintah melalui Departemen Agama RI me­nge­luarkan surat keputusan yang mempersamakan­ ijazah Fakultas Tarbiyah dan Dakwah perguruan itu dengan ijazah IAIN.

Meskipun demi­kian, apa yang dicita-citakan pendiri perguruan ini be­lum lagi tercapai, dan oleh karena itu, perkembangan­ perguruan ini masih terus berlanjut. Rahmah el-Yunusiyyah menginginkan­ agar perguruan ini juga mendirikan Universitas Islam khusus untuk wanita dengan lima fakultas, yaitu Adab, Dakwah, Syari’ah,­ Kesehatan, dan Perindustrian.

Sepeninggal Rahmah el-Yunusiyyah, pimpinan Di­ niyah Puteri dipegang Dra. Hajjah Isnaniyah­ Saleh. Pada 1990, Diniyah Puteri bekerjasama dengan Pondok Modern Gontor membuka Diniyah Putera. Setelah Isnaniyah Saleh meninggal (8 Agustus 1990), lembaga ini dipimpin oleh H Husainah Nurdin.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, et al., ed. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981.
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wadana Yogya, 1990.
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah­ dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Mod-ern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.

Badri Yatim