Ganti rugi yang diserahkan oleh pelaku pidana kepada korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan orang lain disebut diat. Diat merupakan suatu bentuk hukuman yang dilandaskan pada Al-Qur’an dan hadis.
Fukaha membedakan diat dari ‘arsy, meskipun esensi keduanya sama, yaitu ganti rugi yang dibayarkan pelaku pidana kepada korban tindak pidana. Diat, menurut fukaha, adalah khusus ganti rugi terhadap kejahatan menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan ‘arsy adalah ganti rugi terhadap kejahatan yang berkaitan dengan anggota badan korban kejahatan. Anggota badan tersebut bisa cacat atau tidak berfungsi sama sekali.
Diat sebagai salah satu bentuk hukuman terhadap kejahatan menghilangkan nyawa orang lain didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 92, yang berarti:
“…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diser-ahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)….”
Dalam hukum Islam pembunuhan dibagi atas tiga bentuk jika dilihat dari niat dan alat yang dipakai untuk melakukan pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan tersalah. Hukuman untuk pembunuhan semi sengaja dan tersalah adalah membayar diat, sebagaimana yang dituntut surah an-Nisa’ (4) ayat 92. Adapun untuk pembunuhan sengaja, hukuman asalnya adalah kisas, sesuai dengan surah al-Baqarah (2) ayat 178 yang berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)….”
Namun demikian, jika kisas tidak bisa diterapkan, yang disebabkan beberapa hal, hukumannya diganti dengan hukuman diat. Dengan demikian, diat merupakan hukuman pengganti dalam tindak pidana pembunuhan yang disengaja.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan an-Nasa’i dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm. Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa jika wali korban merelakan untuk tidak melakukan kisas, sebagai gantinya dikenakan hukuman diat kepada pelaku.
Besarnya diat pada pembunuhan sengaja yang harus dibayarkan pelaku pidana kepada pihak wali korban dalam hadis di atas disebutkan sebanyak seratus ekor unta. Dalam hadis tersebut secara terperinci disebutkan jenis unta yang harus dibayarkan.
Seratus ekor unta sebagai diat yang akan dibayarkan terdiri atas 20 ekor unta yang memasuki umur 5 tahun, 20 ekor memasuki umur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun, dan 20 ekor unta betina berumur 3 tahun.
Keterangan mengenai hal ini dapat dilihat dalam hadis Ibnu Mas‘ud yang diriwayat-kan Ahmad, al-Baihaki, dan Ashab as-Sunan al-Arba‘ah (an-Nasa’i, at-Tirmizi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Pada dasarnya kewajiban membayar diat itu ditanggung pelaku pidana karena dialah yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Menurut Imam Syafi‘i, diat meru pakan hukuman pengganti pada pembunuhan sengaja, sementara jumhur ulama berpendapat bahwa diat merupa kan hukuman pokok pada pembunuhan semi sengaja dan tersalah.
Untuk yang terakhir, pembayaran diatnya ditanggung bersama oleh asabat (Ar.: al-‘asabah = ahli waris yang menghabisi sisa harta setelah dilakukan pembagian warisan) pelaku, sedangkan untuk diat sebagai hukuman pengganti pada pembunuhan sengaja menjadi tanggung jawab pribadi pelaku.
Jika pelaku pembunuhan sengaja itu anak kecil atau orang gila, barulah diatnya ditanggung bersama asabatnya atau disebut juga dengan istilah al-‘aqilah (orang yang berhak menuntut hukuman kisas).
Perbedaan diat dalam pembunuhan sengaja dengan yang lainnya didasarkan pada hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa untuk pembunuhan sengaja, al-aqilah pelaku pidana tidak boleh dibebani dengan diat. Hadis ini diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmizi dari Amr bin al-Ahwas ketika haji wadak.
Adapun untuk pembunuhan semi sengaja dan tersalah yang diatnya dibebankan kepada al-‘aqilah, didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah.
Untuk pembunuhan semi sengaja, diatnya adalah 100 ekor unta, antara lain 40 ekor unta betina yang sedang hamil (hadis riwayat Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amru). Adapun diat untuk pembunuhan tersalah sesuai dengan bunyi surah an-Nisa’ (4) ayat 92.
Diatnya terdiri dari seratus ekor unta, sedangkan pembayarannya, berdasarkan kesepakatan ulama, dapat ditunda sampai 3 tahun. Perincian seratus ekor unta ini sama dengan perincian diat yang ada pada pembunuhan sengaja, yaitu 20 ekor unta yang me masuki umur 5 tahun, 20 ekor unta memasuki umur 4 tahun, 20 ekor unta betina umur 2 tahun, 20 ekor unta jantan umur 2 tahun, dan 20 ekor unta betina umur 3 tahun.
Hanya, Imam Syafi‘i mengatakan bahwa 20 ekor unta betina berumur 3 tahun diganti dengan 20 ekor unta jantan umur 3 tahun.
Mengenai pelaku pidana yang melakukan kejahatan terhadap tubuh seseorang, yang mengakibatkan anggota tubuh itu rusak atau kehilangan fungsinya, juga dikenakan denda yang disebut ‘arsy.
Dalam hal ini, ada dua kelompok anggota tubuh, yaitu anggota tubuh yang berpasangan (seperti tangan, kaki, telinga, dan mata) dan anggota tubuh yang berdiri sendiri (seperti hidung dan lidah).
Untuk anggota tubuh yang tidak berpasangan diatnya adalah penuh (100 ekor unta). Adapun untuk yang berpasangan, jika kedua-duanya terpotong, misalnya tangan, pelaku dikenakan satu diat penuh (100 ekor unta). Jika yang terpotong itu hanya satu atau sebelah, dikenakan setengah diat (50 ekor unta).
Untuk pembayaran diat itu sendiri, dapat dibayar melalui harta pelaku tindak pidana atau dibayar al-‘aqilah. Penentuan diat terhadap setiap anggota badan tersebut dibahas secara terperinci oleh ulama berdasarkan ketentuan yang ada pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm.
Al-‘aqilah pada mulanya terbatas pada kerabat yang menjadi asabat. Namun, dalam perkembangan sejarah hu-kum Islam kata itu mengalami perubahan makna. Al-‘aqilah dalam arti asabat kelihatannya berlaku pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar as-Siddiq. Adapun pada zaman Umar bin Khattab, al-‘aqilah tidak lagi menjadi beban bersama asabat, akan tetapi juga bisa dibebankan kepada teman sekerja.
Perkembangan ini berdasarkan ijtihad yang dilakukan Umar. Menurutnya, al-‘aqilah tersebut tidak tepat lagi diartikan sebagai asabat, tetapi sudah berpindah ke kesatuan kerja. Oleh karena itu, di zaman Umar pengertian al-‘aqilah dan diat yang ditanggung bersama asabat menjadi beban diat yang ditanggung bersama oleh rekan senasib dan sepenanggungan di kesatuan kerja.
Artinya, jika seseorang dikenakan diat karena pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan orang lain, diatnya ini bukan lagi menjadi tanggungan asabat, melainkan menjadi tanggungan bersama-sama rekan sekerja yang memiliki nasib dan penanggungan yang sama.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Baltaji, Muhammad. Minhaj ‘Umar ibn al-Khaqqab fi at-Tasyri‘. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1970.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. al-hadist al-Ahkam. Damascus: al-Jadidah, 1986. al-Khin, Mustafa Sa’id. atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa‘id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf -Fuqaha’. Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1981.
al-Maqdusi, Ibnu Qudamah. al-Mugni. Cairo: al-Manar, t.t. Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1989
Nasrun Haroen