Aparatur pemerintahan negara Republik Indonesia yang menangani bidang pembangunan dan kehidupan beragama ini dipimpin seorang menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian dari tugas pemerintahan dan pembangunan di bidang agama.
Menjelang kemerdekaan pada 1945, masalah urusan keagamaan, terutama bagi umat Islam, telah menjadi salah satu pembicaraan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Masalah ini dihidupkan lagi setelah proklamasi kemerdekaan.
Atas usul KH Abu Dardiri, M. Saleh Suaidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro (wakil dari Komite Nasional Indonesia [KNI] daerah Banyumas), yang kemudian mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan N. Kartosudarmo, sidang pleno Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang dipimpin Sutan Sjahrir dan berlangsung pada 25–28 November 1945 di Jakarta mendesak pemerintah agar dalam negara Republik Indonesia yang sudah merdeka, urusan agama tidak hanya menjadi bagian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang: Departemen Pendidikan Nasional) atau departemen lain, tetapi hendaknya diurus satu departemen tersendiri.
Melihat hasrat umat Islam yang kuat itu dan tanpa melalui pemungutan suara lagi, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang kemudian menyatakan bahwa pemerintah memberikan perhatiannya terhadap usul tersebut.
Dengan keluarnya Penetapan Pemerintah Tanggal 3 Januari 1946 Nomor 1/SD/1946 lahirlah Kementerian Agama secara yuridis formal. Kebijaksanaan pemerintah melahirkan Kementerian Agama, di samping sebagai realisasi Pasal 29 UUD 1945, juga sebagai imbalan dan penghargaan atas sikap umat beragama, khususnya umat Islam yang telah bersedia menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.
Berdasarkan Kepmenag No. 1 Tahun 2001, struktur organisasi Departemen Agama adalah sebagai berikut: Jabatan tertinggi di Departemen Agama dipegang oleh menteri Agama. Di bawahnya terdapat Sekretariat Jenderal dan Inspektorat Jenderal.
Departemen Agama memiliki lima Direktorat Jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimas Kristen, Direktorat Jenderal Bimas Katolik, dan Direktorat Jenderal Bimas Hindu dan Buddha, serta Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Agama.
Di tingkat propinsi terdapat Kanwil (Kantor Wilayah) Departemen Agama Propinsi, di tingkat kabupaten/kota terdapat Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, dan di tingkat kecamatan terdapat Kantor Urusan Agama (KUA).
Tugas dan Wewenang Departemen Agama. Tugas dan wewenang Depag senantiasa berubah dari masa ke masa. Perubahan ini dipengaruhi dinamika sosial politik yang terjadi di Indonedia. Sejak berdiri pada 1946, Depag menjalankan peran konvensionalnya, yaitu menjadi koordinator pendidikan agama di sekolah-sekolah agama dan umum; mengurusi administrasi nikah, talak, dan rujuk; mengatur hubungan umat beragama; membina organisasi keagamaan; mengatur pelaksanaan ibadah haji; dan mengangkat hakim-hakim agama untuk peradilan agama.
Sebagai negara yang memiliki keragaman agama dan budaya, Depag menjadi dinamisator dan katalisator kehidupan beragama di Indonesia. Tugas ini sebenarnya telah diemban sejak Depag didirikan. Namun usaha yang intensif baru dilakukan ketika departemen ini dipimpin H Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Pada saat itu Alamsjah mengusahakan terciptanya kerukunan umat beragama. Menurut Alamsjah, kerukunan umat beragama harus meliputi tiga hal: (1) kerukunan antarumat beragama, (2) kerukunan internal umat beragama, dan (3) kerukunan antarumat beragama dan pemerintah. Bentuk kerukunan yang diperjuangkan Alamsjah itu masih terus menjadi acuan bagi kelangsungan kehidupan beragama di Indonesia.
Sebagai pembina kehidupan beragama di Indonesia, Depag menjalin hubungan dengan berbagai organisasi keagamaan, baik dari kalangan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Depag mendirikan direktorat jenderal (Dirjen Bimas Islam, Dirjen Bimas Katolik, Dirjen Bimas Protestan, Dirjen Bimas Hindu, dan Dirjen Bimas Buddha), untuk membina ormas keagamaan yang ada. Semua dibina agar tercipta saling pengertian dan kehidupan beragama yang ideal demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Kerjasama dengan Lembaga Lain. Pada awal 1990-an Depag memulai usaha yang cukup strategis. Ketika Munawir Sjadzali menjadi menteri Agama, Depag menjalin kerjasama dengan beberapa universitas di dunia Barat agar para dosen muda IAIN dapat belajar di sana.
Kerjasama yang dilakukan, antara lain adalah dengan Universitas Leiden Belanda dengan menyepakati berdirinya INIS (Indonesian-Netherlands in Islamic Studies) dan dengan Universitas McGill Canada.
Dengan adanya kerjasama ini dimulailah pengiriman dosen-dosen muda IAIN ke kedua universitas tersebut untuk menempuh program master dan doktor. Kerjasama ini dirasakan sangat besar manfaatnya bagi para dosen muda yang ingin menimba pengetahuan dari Barat dan terus berlanjut sampai sekarang.
Sebelum dikirim, para dosen diseleksi terlebih dahulu secara ketat dan harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar mereka betul-betul siap, baik secara fisik, mental, maupun intelektual untuk belajar di sana.
Di samping itu Depag pun sebenarnya mengusahakan pengiriman dosen-dosen muda ke universitas-universitas lainnya. Sekarang ini adalah bukan hal aneh dosen-dosen muda belajar di berbagai universitas di Barat. Sementara itu kerjasama dengan berbagai universitas di Timur Tengah terus dipertahankan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam, Depag merealisasikan sejumlah proyek dengan bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB). Proyek pertama adalah Basic Education Project (BEP), yang bertujuan meningkatkan mutu guru-guru madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang meliputi enam propinsi (Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat). Proyek kedua adalah Development of Madrasah Aliyah Projet (DMAP). Proyek ini berupaya meningkatkan mutu madrasah aliyah.
Dasar pemikiran proyek ini berhubungan dengan kenyataan bahwa madrasah, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, memiliki kualitas rendah. Proyek ini dirasakan besar manfaatnya untuk peningkatan mutu pendidikan madrasah.
Hasil dari proyek ini bisa dilihat lonjakan kualitatif yang cukup signifikan pada beberapa madrasah di beberapa tempat. Sekarang para lulusan madrasah memiliki tingkat mobilitas yang semakin tinggi. Mereka semakin banyak yang melan-jutkan pendidikan di universitas-universitas umum.
Depag membuat sebuah direktorat baru yaitu Direktorat Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren (Pekapontren) untuk meningkatkan mutu pesantren. Direktorat ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk membenahi pondok pesantren yang dianggap sebagai soko guru pendidikan Islam di Indonesia.
Sebelumnya perhatian pemerintah terhadap pesantren sangat terbatas. Sekarang ini, Depag dan Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) bekerjasama untuk melakukan standardisasi mutu pesantren di Indonesia.
Keseriusan Depag untuk meningkatkan mutu madrasah tidak hanya terlihat pada sejumlah proyek yang mereka lak-sanakan. Depag pun menciptakan pusat data madrasah yang disebut EMIS (Educational Management Information System). Sebelumnya orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan data tentang madrasah. Dengan adanya sistem ini kebu-tuhan informasi yang berkaitan dengan madrasah sedikit banyak dapat diatasi.
Menteri Agama. Prof. Dr. H Mohammad Rasjidi. Rasjidi adalah menteri Agama yang pertama (12 Maret–2 Oktober 1946), yakni pada masa Kabinet Sjahrir II. Ia tidak diangkat atas nama Masyumi sekalipun ia anggota partai tersebut. Pada masa Kabinet Sjahrir I, Mohammad Rasjidi menjabat sebagai menteri negara yang mengurusi kepentingan Islam.
Sebelum menjadi menteri, di samping aktif dalam pergerakan Muhammadiyah dan PII (Partai Islam Indonesia; partai yang dipimpin Raden Wiwoho Purbohadidjojo), ia juga merupakan salah seorang tenaga pengajar pada Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin Drs. Mohammad Hatta.
Pada masanya, melalui Maklumat Kementerian Agama Nomor 2/1946 Tanggal 23 April 1946 dinyatakan beberapa hal berikut:
(1) Shumuka (Kantor Agama Daerah) yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan residen menjadi Jawatan Agama Daerah yang berada di bawah Kementerian Agama.
(2) Hak untuk mengangkat penghulu-landraad (penghulu pada Pengadilan Negeri) serta ketua dan anggota Raad Agama (Pengadilan Agama) yang dahulu ada dalam wewenang residen diserahkan menjadi wewenang Kementerian Agama.
(3) Hak untuk mengangkat penghulu masjid yang sebelumnya adalah wewenang bupati menjadi wewenang Kementerian Agama.
Kebijakan lain yang ditempuh adalah mengambil alih tugas keagamaan yang sebelumnya ditangani departemen lain. Hal ini didasarkan atas Penetapan Pemerintah No. 5/ SD Tanggal 25 Maret 1946. Tugas tersebut adalah :
(1) urusan perkawinan, peradilan agama, kemasjidan, dan haji yang ditangani Departemen Dalam Negeri;
(2) urusan yang berk-enaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi yang ditangani Departemen Kehakiman; dan
(3) urusan yang berhubungan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah, yang ditangani Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
KH R. Fathurrahman Kafrawi. Ia menjabat sebagai menteri Agama kedua (2 Oktober 1946–3 Juli 1947), yakni pada masa Kabinet Sjahrir III. Ia diangkat atas nama Masyumi dari unsur NU (Nahdlatul Ulama). KH R. Fathurrahman Kafrawi sebelumnya menjabat sebagai bupati Bojonegoro, Jawa Timur. Ia memperoleh pendidikan pesantren.
Ia melakukan banyak pembenahan pada kantor agama di pusat dan daerah dengan keluarnya UU No. 2/1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (NTR). Dengan berlakunya undang-undang tersebut, biaya NTR masuk ke kas negara.
Selain itu, para petugas pencatat NTR mendapat gaji dari negara, tidak lagi tergantung pada mereka yang mel-akukan NTR. Usaha lain yang dilakukan pada masanya adalah memperjuangkan pendidikan agama pada sekolah umum.
Karena terjadi Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947), kantor agama hanya sempat dibentuk di wilayah Jawa/Madura dan Sumatera guna keperluan pelaksanaan UU No. 2/1946 tersebut. Bahkan, sebagian kantor agama yang wilayahnya dikuasai Belanda (NICA: Netherlands Indies Civil Administration) terpaksa dipindahkan ke wilayah yang dikuasai Republik Indonesia.
KH M. Anwaruddin. Ia menjadi menteri Agama pada masa Kabinet Amir Syarifuddin I. Sebenarnya yang diangkat sebagai menteri Agama adalah H Ahmad Azhari, tokoh PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dari Palembang. Akan tetapi, karena Azhari ditahan Belanda dan tidak mungkin melaksanakan tugasnya, ia digantikan KH M. Anwaruddin, rekan separtainya dari Rembang, Jawa Tengah.
KH Masykur. Masykur menjabat menteri Agama pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin II. Pada masanya departemen ini pernah selama 27 hari tidak memiliki menteri karena KH Masykur mengundurkan diri dari kabinet bersama lima menteri lain dari Masyumi (2 Januari 1948).
Meskipun demikian, ada kemajuan yang dicapai Kementerian Agama ketika berada di bawah pimpinan KH Masykur, antara lain lahirnya Peraturan Menteri Agama No. 5/1947 yang mengharuskan biaya perkara Pengadilan Agama disetor ke kas negara dan diselenggarakannya Konferensi Kementerian Agama dengan Jawatan-Jawatan Agama Seluruh Indonesia di Yogyakarta sebagai ibukota negara (13–16 November 1947).
KH Masykur kembali tampil sebagai menteri memimpin Depag dalam Kabinet Hatta I berdasarkan Maklumat Presiden No. 1/1948. Berdasarkan Penetapan Presiden No. 6/1949 ia ditunjuk kembali memimpin departemen tersebut dalam Kabinet Hatta II.
Bekas anggota Badan Pembela Pertahanan Negara dan pemimpin gerilya Sabilillah serta rais am PB Syuriah NU itu menjadi menteri Agama beberapa kali lagi sampai pada masa Kabinet Ali-Arifin (1953–1955).
Sebagai bagian dari pemerintahan RI, Kementerian Agama segera pula membenahi diri dalam masa yang disebut “periode restorasi” sebagai konsekuensi atas bergabungnya negara bagian dan daerah lain kepada RI serta pembentukan kabinet baru karena sebelumnya telah dikacaukan oleh agresi Belanda. Periode restorasi ini berlangsung pada penghujung masa KH Masykur dan diteruskan oleh penggantinya, KH Faqih Usman.
Mr. Teuku Mohammad Hasan. Ia menjadi menteri Agama dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia/PDRI (19 Desember 1948–13 Juli 1949). PDRI di bawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berkedudukan di Kotot-inggi (Sumatera Barat) dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittinggi ketika Belanda menyerbu Yogyakarta sebagai ibukota RI.
Dalam PDRI Mr. Teuku Mohammad Hasan juga menjabat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta menteri Urusan Dalam Negeri. Selama itu, KH Masykur tetap menjabat sebagai menteri Agama pada Komisariat PDRI di Jawa.
KH Faqih Usman. Faqih Usman merupakan pengganti KH Masykur. Faqih Usman menjabat menteri pada kabinet RI XI (terkenal dengan Kabinet Halim karena dipimpin oleh dr. A. Halim; 21 Januari–6 September 1950).
Kerusakan dalam masyarakat karena masa kacau yang diakibatkan agresi Belanda menyebabkan Kementerian Agama di bawah pimpinan Faqih Usman mengemban tugas melaksanakan program pemerintah yang ke-5. Program tersebut adalah memajukan pembangunan budi di segala lapisan masyarakat dan menjamin kebebasan suburnya jiwa beragama masing-masing di dalam pembangunan negara sesuai Pasal 29 UUD 1945.
KH Faqih Usman kembali memimpin Kementerian Agama menggantikan KH Abdul Wahid Hasyim pada masa kabinet XV di bawah pimpinan Mr. Wilopo (3 April 1952–3 Juli 1953). Sewaktu KH Faqih Usman diangkat sebagai menteri Agama, NU menyatakan keluar dari Masyumi.
Alasan yang dikemukakan adalah karena usul NU yang menyatakan agar Masyumi menjadi partai federasi tidak diperhatikan. Tetapi ada pula dugaan bahwa NU keluar dari Masyumi karena menteri Agama yang diangkat bukan dari unsur NU dalam Masyumi.
KH Abdul Wahid Hasyim. Wahid Hasyim menjabat menteri Agama dalam pemerintahan Kabinet Republik Indonesia Serikat/RIS yang dipimpin Drs. Mohammad Hatta (20 Desem-ber 1949–6 September 1950).Anggota Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) di Jakarta pada zaman Jepang ini masih dipercayakan memimpin Kementerian Agama pada masa Kabinet Natsir (6 September 1950–27 April 1951) dan Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951–3 April 1952).
Kegiatan kementerian ini pada masa Kabinet Sukiman-Suwiryo antara lain adalah melakukan unifikasi (penyatuan) Kementerian Agama peralihan dari RI di bawah KH Faqih Usman dan Kementerian Agama RIS di bawah KH Abdul Wahid Hasyim.
KH Mohammad Ilyas. Ia menjabat sebagai menteri Agama sebanyak tiga kali (Kabinet XVII yang dipimpin Mr. Burhanuddin Harahap, 12 Agustus 1955–24 Maret 1956; Kabinet XVIII yang dipimpin Ali Sastroamidjojo atau Ali II, 24 Maret 1956–9 April 1957; dan Kabinet XIX atau Kabinet Karya yang dipimpin oleh Ir. H Djuanda, 9 April 1957–10 Juli 1959).
KH Mohammad Ilyas adalah wakil NU. Pada masa Kabinet Burha-nuddin dan Kabinet Ali II, Kementerian Agama digambarkan berada dalam era politik yang menegangkan karena pada masa itu diselenggarakan Pemilu I (1955) dan lahirnya Dekrit Presiden pada 1959.
KH A. Wahib Wahab. Wahab merupakan menteri pengganti KH Mohammad Ilyas yang memimpin Kementerian Agama ketika masuk era Demokrasi Terpimpin. KH A. Wahib Wahab adalah wakil NU. Ia memimpin Kementerian Agama untuk dua kali masa jabatan, yaitu sebagai menteri muda Agama pada masa Kabinet Kerja I (10 Juli 1959–Februari 1960) dan sebagai menteri Agama pada kabinet XXI/Kabinet Kerja II (18 Februari 1960–28 Februari 1962). Pada masa inilah nama Kementerian Agama diganti menjadi Departemen Agama.
Di bawah kepemimpinannya Departemen Agama mulai membangun gedung Departemen Agama yang terletak di Jl. MH Thamrin 6 Jakarta Pusat. Hal lain yang dilakukannya adalah melakukan pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal dan membentuk IAIN (Institut Agama Islam Negeri). KH A. Wahib Wahab berhenti dari kedudukannya sebagai menteri Agama sebelum Kabinet Kerja II berakhir. Ia digantikan oleh KH Saifuddin Zuhri.
KH Saifuddin Zuhri. Sebelum menjadi menteri, tokoh politik Indonesia ini pernah menjadi anggota KNIP di Yogyakarta, ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota DPR/MPR, dan sejak usia muda menjadi aktivis dan tokoh NU. Di samping itu, KH Saifuddin Zuhri pernah menjadi wartawan di berbagai media massa.
Ia mendapat kepercayaan menjadi menteri di Departemen Agama sebanyak lima kali (Kabinet Kerja II, 1–6 Maret 1962; Kabinet Kerja III, 6 Maret 1962–13 November 1963; Kabinet Kerja IV, 13 November 1963–27 Agustus 1964; Kabinet Dwikora, 17 Agustus 1964–28 Maret 1966; dan Kabinet RI XXVI/Kabinet Ampera).
Pada masanya status Departemen Agama ditingkatkan menjadi Kompartemen Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora berdasarkan Keputusan Presiden No. 180/1965. Kompartemen Urusan Agama membawahi (1) Departemen Agama (dipimpin KH Saifuddin Zuhri sendiri yang merangkap sebagai menko Urusan Agama), (2) Departemen Urusan Haji (dipimpin Prof. KH Farid Ma’ruf), dan (3) Departemen Urusan Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama (dipimpin KH Mohammad Ilyas).
Pada masa Demokrasi Terpimpin ini kedudukan Departemen Agama menjadi kukuh dan kuat. Kedudukan itu semakin mantap pada era pembangunan, sesudah peristiwa G-30-S/PKI.
Hal itu tampak pada usaha pemerintah Orde Baru, misalnya ketetapan MPRS yang menyatakan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di semua jenjang pendidikan; penyusunan undang-undang haji; peningkatan anggaran Departemen Agama, terutama untuk IAIN; peningkatan biro Kristen, Katolik, dan Hindu Bali menjadi direktorat; serta perhatian yang semakin besar terhadap pondok pesantren. Pada Oktober 1967 KH Saifuddin Zuhri digantikan oleh KH Mohammad Dahlan.
KH Mohammad Dahlan. Dahlan memimpin Departemen Agama dua kali (Kabinet RI XXVII/Kabinet Ampera dan Kabinet Pembangunan I). Pada masa jabatannya tersebut, struktur organisasi Departemen Agama, baik di pusat maupun di daerah, mengalami perkembangan berdasarkan Keppres No. 183/1968 jo. No. 39/1969 yang dijabarkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969.
Usaha pembinaan kerukunan hidup beragama, gagasan pembentukan Badan Kontak Antar Agama, dan pembuatan suatu piagam yang isinya tidak menjadikan umat yang sudah memeluk suatu agama sebagai sasaran penyebaran agama lain juga muncul dan mendapat perhatian.
Prof. Dr. H A. Mukti Ali. Mukti Ali memimpin Departemen Agama pada Kabinet Pembangunan I (6 September 1971–28 Maret 1973) dan Kabinet Pembangunan II (28 Maret 1973–29 Maret 1978). Masa kepemimpinan Mukti Ali yang bukan dari kalangan partai itu memberikan era baru dalam sejarah Departemen Agama.
Di samping meneruskan pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang agama, pada masa Mukti Ali departemen ini juga membantu pelaksanaan kebijakan di bidang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada masa ini pula diperkenalkan ide baru sekitar agama dan pembangunan di Indonesia, dialog agama dan pertumbuhan kebudayaan, serta hubungan antara agama, ilmu, dan seni. Mukti Ali adalah pencetus istilah “setuju dalam perbedaan” bagi kehidupan umat beragama.
Kebijakannya sebagai menteri Agama terlihat dalam buku yang merupakan kumpulan pidatonya, yaitu Agama dan Pembangunan di Indonesia (9 jilid). Pada masa jabatannya, Mukti Ali antara lain melakukan:
(1) perbaikan dalam tubuh Departemen Agama (penertiban organisasi, administrasi, dan personel);
(2) peningkatan mutu pendidikan agama;
(3) pembentukan LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) tingkat pusat, propinsi, kodya, kabupaten, dan keca-matan;
(4) pembinaan kerukunan hidup beragama dengan jalan mengadakan berbagai dialog antarumat beragama;
(5) peresmian Masjid Istiqlal sebagai masjid negara; dan
(6) pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
H Alamsjah Ratu Perwiranegara. Era baru selanjutnya dialami oleh Departemen Agama pada masa Kabinet Pem-bangunan III ketika Mukti Ali digantikan seorang anggota ABRI, Letnan Jenderal H Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Sebelum menjadi menteri Agama (April 1978), Alamsjah adalah asisten VII menteri Pangad (1964), koordinator staf pribadi ketua Presidium Kabinet (1966–1967), sekretaris negara merangkap sekretaris Operasional Pembangunan (1968), duta besar RI untuk Kerajaan Belanda (1972–1974), anggota Dewan Pertimbangan Agung (1975–1977), dan wakil ketua DPA (1977–1978).
Pada masanya Depag berupaya:
(1) membimbing dan mengarahkan agar aparat Depag mempunyai citra yang utuh dan kompak dari pengaruh kelompok/golongan, agar umat beragama masuk dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945, agar seluruh umat beragama menjadi faktor yang menentu-kan dalam usaha pemantapan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara;
(2) memantapkan stabilitas dan ketahanan nasional serta kesinambungan pembangunan nasional; dan
(3) menghilangkan segala keraguan serta kecurigaan yang ada antara umat beragama dan pemerintah serta antaru-mat beragama.
Pada masa ini juga Depag aktif membina Tiga Kerukunan Hidup Beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antarumat beragama, dan (3) kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Selain itu, juga terbentuk Wadah Musyawarah Antarumat Beragama (30 Juni 1980) sebagai kesepakatan para wakil majelis agama.
Ia menegaskan bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan karenanya aliran kepercayaan ditempatkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal lain yang dilakukannya adalah penegasan bahwa Pancasila tidak diagamakan, adanya kebebasan dakwah (tanpa izin), dan kuliah subuh (Instruksi Menteri Agama No. 9/1978).
Ia menge luarkan Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77 yang kemudian menjadi Surat Keputusan Bersama (SKB) Men teri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1/1979 tentang penyiaran agama dan bantuan luar negeri.
Pada masanya berdiri Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila. Langkah dan kebijakannya dibukukan dalam Pembinaan Kehidupan Be-ragama di Indonesia (1980) serta Kehidupan Beragama dan Pembangunan Nasional (6 jilid; 1982).
H Munawir Sjadzali. Ia menjabat menteri Agama pada Kabinet Pembangunan IV (1983–1988) dan V (1988–1993). Munawir Sjadzali adalah diplomat muslim yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama Islam. Ia memulai kariernya sebagai guru di Ungaran (selatan Semarang).
Pengalaman diplomatiknya dimulai dengan menjadi pegawai di Departemen Luar Negeri pada 1950. Karier diplomatiknya terus melesat hingga ia menjadi duta besar RI untuk Kuwait, Bahrein, Qatar, dan Uni Emirat Arab (1976–1980), serta menjadi direktur jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1980–1983).
Di samping kesibukannya sebagai diplomat, Munawir mengikuti kuliah di University of Exeter, Inggris (1953–1954) dan Georgetown University, Washington D.C. sampai memperoleh gelar M.A. (1959).
Pada masa pengangkatan Munawir Sjadzali sebagai menteri Agama Kabinet Pembangunan IV, Munawir melontarkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang diharapkan akan menggugah ijtihad yang dinamis. Gagasan tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra dari kalangan ulama dan cendekiawan.
Demikian pula kebijakannya dalam mengirim para cendekiawan muslim Indonesia untuk menambah ilmu di negara Barat telah ditanggapi sebagai tindakan yang dikhawatirkan akan mengubah kiblat belajar dari Timur Tengah ke Barat.
Sebagai seorang muslim, Munawir Sjadzali berkeinginan kuat untuk mencetak ulama Islam yang berpengetahuan umum dan agama serta berwawasan luas. Keinginan tersebut disalurkan melalui pembangunan madrasah aliyah program khusus denganpengetahuan agama 70 persen dan pengetahuan umum 30 persen di samping mengadakan pengaderan ulama bersama MUI.
Pada masa jabatan keduanya ia berhasil menyelesaikan UU Peradilan Agama (1990). Di samping jabatan menteri Agama, ia juga menjadi pengajar Ilmu Fikih as-Siyasi pada Fakultas Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menulis buku Islam dan Tata Negara (1990) yang juga diterbitkan dalam bahasa Inggris, Islam and Governmental System (1991).
Dalam masa jabatannya ia mencanangkan kondisi moral dan etik pembangunan di bidang agama. Kondisi itu mencakup antara lain (1) kadar keimanan dan ketakwaan umat beragama yang makin tinggi dan mantap; (2) pengertian dan pemahaman umat beragama semakin matang, luas, dan segar sehingga agama lebih berperan sebagai motivator serta dinamisator bagi kemajuan; dan (3) hubungan umat beragama semakin serasi.
Dr. H Tarmizi Taher. Tarmizi Taher menjadi menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VI (1993–1998). Ia bukan merupakan sosok asing dalam Departemen Agama; sebelum menjadi menteri Agama, ia menjabat sebagai sekretaris jenderal Departemen Agama sejak Juni 1987.
Tarmizi Taher adalah seorang dokter, perwira angkatan laut, da‘i, serta pengamat dan pemikir keagamaan yang cermat. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama. Orangtuanya menginginkannya menjadi ulama.
Pendidikan awal yang ditempuhnya adalah belajar agama pada surau di kampungnya. Ia menyelesaikan SLTP dan SLTA di Jakarta kemudian menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran/Psikologi Univer-sitas Airlangga, Surabaya (1964).
Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Tarmizi Taher menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran (1962–1963) dan Dewan Mahasiswa Universitas Airlangga (1963–1964).
Di luar kampus, ia aktif berdakwah pada berbagai kalan-gan. Ia kemudian diberi kepercayaan sebagai ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) dalam kurun 1972–1976 dan menjadi salah seorang ketua MUI (1985).
Tarmizi Taher membina karier di Angkatan Laut. Ia menjadi perwira bidang kesehatan TNI AL (1964–1977). Antara 1972–1973 ia menjalani pendidikan di On the Job Training US Navy di San Diego, California, dan Medical Study for Senior Officer US Navy, Washington. Sejak 1977 ia menjadi kepala Pusbintal (Pusat Pembinaan Mental) TNI AL dan sejak 1982 menjadi kepala Pusbintal ABRI.
Sejak menjadi sekretaris jenderal hingga menteri Agama, langkah yang dilakukannya antara lain adalah meningkatkan citra Departemen Agama dan membenahi karyawannya. Sebagai menteri, ia berpandangan bahwa pembangunan agama adalah bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai pengamalan Pancasila yang mampu menjadi landasan moral, etik, dan spiritual.
Tarmizi Taher membuat pengkajian peta kehidupan agama dan umat beragama secara nasional (ideologi, politik, ekonomi, dan ketahanan nasional), regional (ASEAN), dan global. Ini dijadikannya sebagai pijakan bertindak sejak ia memangku jabatan tertinggi di Depag.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. Ia menjadi menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (16 Maret 1998–21 Mei 1998). Masa jabatannya berakhir bersamaan dengan turunnya Soeharto sebagai presiden RI. Quraish Shihab dikenal sebagai ahli di bidang tafsir Al-Qur’an. Ia mampu menerjemahkan Al-Qur’an yang disesuaikan dengan konteks masa kini.
Gelar doktor (Ph.D) diperolehnya dari Universitas al-Azhar, Cairo pada tahun 1982. Ia hanya memerlukan waktu 2 tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang tafsir Al-Qur’an.
Disertasinya yang berjudul Naˆm ad-Durar li al-Biqa‘i Tahqiq wa Dirasah (kajian kitab Naˆm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa‘i) berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cumlaude dan memperoleh penghargaan mumtaz ma‘a martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Quraish Shihab merupakan penulis produktif, karyanya antara lain: “Membumikan” Al-Qur’an (Mizan, 1992), Lentera Hati (Mizan, 1994), dan Tafsir al-Misbah (15 jilid, Lentera, 2002).
Prof. Dr. H A. Malik Fadjar, M.Sc. Malik Fadjar menjabat menteri Agama pada Kabinet Reformasi Pembangunan (23 Mei 1998–29 Oktober 1999). Sebelumnya, pada instansi yang sama ia sempat menjadi dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (1996–1998). Pendidikan pascasarjana diperolehnya dari Florida State University, Amerika Serikat, dengan berhasil mendapat gelar M.Sc. pada 1981.
Ia mempunyai banyak pengalaman mengajar, antara lain sebagai guru agama (1959–1972) dan dosen (sejak 1980). Terbukti dalam pemerintahan saat ini (Kabinet Gotong Royong), Malik Fadjar diangkat sebagai menteri Pendidikan Nasional.
Drs. KH Muhammad Tolchah Hasan. Ia menjadi menteri Agama pada Kabinet Persatuan Nasional (29 Oktober 1999–9 Agustus 2001). Tolchah Hasan pernah mengenyam pendidikan pada pondok pesantren di Jombang. Pengabdiannya di bidang pendidikan dibuktikan terutama pada Universitas Islam Malang (sejak menjadi pembantu rektor I hingga ketua umum yayasan).
Selain itu, ia juga tergolong aktif dalam organisasi NU (sebagai rais Syuriah pada 1994). Salah satu karya tulisnya adalah “Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman” (1997).
Prof. Dr. H Said Agil Husin al-Munawar, M.A. Ia menjabat menteri Agama pada Kabinet Gotong Royong (sejak tanggal 9 Agustus 2001–2004). Gelar doktor (Ph.D.) diperoleh Said Agil pada tahun 1987 dari Fakultas Syariah Universitas Ummu al-Qura Makkah, Arab Saudi.
Selain kedudukannya sebagai seorang menteri, ilmuwan yang hafal Al-Qur’an 30 juz ini sampai sekarang juga menjabat sebagai direktur Program Pascasarjana IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan rektor Institut Agama Islam Jami’at Khair, Jakarta.
Di bawah kepemimpinan Said Agil Husin al-Munawar, Departemen Agama mempunyai tiga program sasaran yang dinamakan Tri Program Inti Departemen Agama. Ketiga program tersebut adalah:
(1) terwujudnya masyarakat yang agamis, berperadaban luhur, dan berbasiskan hati nurani yang disinari oleh ajaran agamanya;
(2) terhindarnya perilaku radikal, ekstrem, tidak toleran, dan eksklusif dalam kehidu-pan beragama sehingga terwujud masyarakat yang rukun dan damai dalam kebersamaan serta ketenteraman; dan
(3) terbinanya masyarakat agar menghayati serta mengamalkan ajaran agama dengan sebenarnya, mengutamakan persamaan, dan menghormati perbedaan melalui internalisasi ajaran agama.
Muhammad Maftuh Basyuni, S.H. (menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu; 20 Oktober 2004–20 Oktober 2009). Ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor, kemudian melanjutkan ke Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Sebelum menjadi menteri Agama, Basyuni menjabat duta besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman (2002–2004). Basyuni melakukan langkah perbaikan, seperti pelaksanaan haji.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam, ed. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM, INIS, dan Litbang Depag RI, 1998.
Departemen Agama RI. “Bagan Organisasi Departemen Agama,” 2003.
–––––––. Himpunan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama di Pusat. Jakarta: Biro Organisasi, 1985/1986.
–––––––. “Keputusan Menteri Agama RI Nomor 208 Tahun 2003.”
–––––––. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Depag, 1979.
–––––––. Sejarah Departemen Agama. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 1981/1982.
Jabali, Fuad dan Jamhari, ed. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2002.
Moch. Qasim Mathar dan Idris Thaha