Tarekat sufi yang didirikan Syekh Saidi Ibrahim bin Abdul Majd ad-Dasuqi al-Qurasyi disebut Dasuqiyah. Tarekat ini biasa pula disebut Tarekat Ibrahimiyah, sebutan dari nama pendirinya, Ibrahim; juga bisa disebut Tarekat Burhaniyah, sebutan dari nama panggilan Ibrahim ad-Dasuqi, yaitu Burhanuddin.
Pada mulanya Ibrahim ad-Dasuqi (Dasuq, Mesir, 644 H/1246 M–Damascus, Suriah, 687 H/1288 M) adalah murid setia Abul Hasan Ali asy-Syazili (w. 1258), pendiri Tarekat Syaziliyah. Ia belajar kepada asy-Syazili bersama Abul Abbas al-Mursi (pengganti asy-Syazili, w. 1287) sampai memperoleh ijazah untuk mengajarkan Tarekat Syaziliyah.
Kehausan jiwanya untuk mereguk piala kerohanian membuat ia tidak puas mempelajari satu tarekat saja. Oleh sebab itu, ia pun mempelajari Tarekat Ahmadiyah kepada pendirinya, Sayid Ahmad al-Badawi (Maroko, w. 1276), yang bertempat tinggal di Tanta (Mesir), sehingga ia pun memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat ini.
Bahkan ia juga mempelajari Tarekat Rifaiyah yang sedang populer di Mesir ketika itu, terutama sekali karena keunikannya dalam mengajarkan permainan dabus dan kekebalan terhadap benda tajam. Tarekat Rifaiyah dipelajari ad-Dasuqi dari Abul Hasan Ali asy-Syazili, yang mempelajari tarekat ini dari kakek ad-Dasuqi sendiri, yaitu Abu al-Fath al-Wasiti (w. 1234).
Di samping itu, ad-Dasuqi juga mempelajari tarekat itu dari Sayid Ahmad al-Badawi, yang menerima baiat tarekat ini secara langsung dari pendirinya, Syekh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa‘i. Menurut sebuah sumber, ad-Dasuqi juga mempelajari Tarekat Suhrawardiyah dari Najmuddin Mahmud al-Isfahani, seorang sufi dari Isfahan.
Dari kajian panjang tentang tarekat yang telah dipela jarinya itu, ad-Dasuqi merumuskan tarekat tersendiri, yang mengajarkan zikir, doa, dan hizb (sejenis wirid) yang dirangkainya sendiri. Ajaran inilah yang disebut Tarekat Dasuqiyah. Tarekat ini berkembang di Mesir dan pada abad ke-19 telah meluas ke Suriah, Hijaz, Yaman, dan Hadramaut (sekarang sebagian masuk Yaman dan sebagian lagi masuk Oman).
Dari tarekat Dasuqiyah ini kemudian muncul sempalan, yaitu Syarnubiyah dan Sa’idiyah Syarnubiyah. Dewasa ini Tarekat Dasuqiyah masih didapati di wilayah tersebut di atas dan masih mendapat banyak pengikut di Mesir.
Ajaran yang melandasi Tarekat Dasuqiyah dapat diikhtisarkan atas sepuluh pokok. Pertama, memelihara adab dan aturan syariat, yang didasarkan atas Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW. Mengenai hal itu, ad-Dasuqi berkata,
“Syariat adalah pohon dan hakikat buahnya. Barang siapa yang ingin menjadi anakku (maksudnya: pengikut tarekatnya) hendaklah ia mengekang nafsunya di dalam botol syariat, yang ditutupnya dengan tutup hakikat, dan dilemahkannya dengan mujahadat.”
Selain itu ia berkata pula,
“Wahai buah hatiku, kuatkan cita-citamu untuk mengenal makna tarekat melalui ilmu, bukan hanya dengan sebutan bibir; setiap maqam yang engkau tempati akan mendindingimu dari Tuhan, jika tidak didasarkan atas petunjuk Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para tabiin, dan Kitab Suci-Nya.” Di tempat lain ia berkata, “Wahai anakku, lakukanlah cara ibadah menurut Kitab Allah dan sunah Rasulullah SAW yang diridai, karena hal demikian akan mendatangkan cahaya terang dan menghilangkan kegelapan.”
Kedua, menjauhi segala yang haram dan syubhat. Mengenai hal ini ad-Dasuqi berkata,
“Makanan yang haram menghambat amal dan merendahkan agama; perkataan yang haram merusak amal orang mubtadi’ (pemula dalam mengamalkan tasawuf)… Selama alat perasamu merasakan yang ha ram, jangan engkau berharap akan dapat merasakan kelezatan hikmat dan makrifat.”
Dia juga berkata,
“Pengikut ajaran Al-Qur’an tidak boleh mengisi rong ganya dengan yang haram dan tidak boleh memakai pakaian yang haram, karena, jika ia berbuat demikian, niscaya ia akan dikutuk oleh Al-Qur’an.”
Ketiga, senantiasa waspada dalam menghadapi godaan hawa nafsu. Ad-Dasuqi berkata,
“Minuman ‘kaum ini’ (pengikut tarekatnya) tidak akan diminum orang yang di dalam hatinya terdapat keke ruhan karena kotoran rohani, sisa-sisa kegelapan, gelora nafsu, godaan setan, kesombongan, dan dahaga jiwa kepada kebejatan.”
Keempat, senantiasa ingat akan Allah SWT dalam keadaan bagaimanapun. Untuk itu, ad-Dasuqi berkata,
“Sang murid harus membersihkan dirinya dari kelalaian dan kelemahan dalam berzikir kepada Allah sebagaima-na ia harus membersihkan dirinya dari maksiat…. Wahai anakku, kalau kamu ingin dipanggil pada hari kiamat dengan panggilan ‘Wahai jiwa yang tenteram,’ hendaklah kamu jadikan zikir sebagai makananmu, berpikir sebagai wacanamu, uns (keintiman dengan Tuhan) sebagai khalwatmu, dan kamu harus menumpahkan perhatianmu kepada Allah.”
Kelima, membiasakan lapar karena lapar mempermudah pelaksanaan ibadah dan menghilangkan rasa malas. Ad-Dasuqi berkata,
“Bekal pemula tarekat ialah kesanggupannya menahan lapar sementara matanya basah oleh air mata, niatnya senantiasa kembali kepada Tuhan; ia memperbanyak puasa karena puasa dapat memperlembut tabiatnya sehingga hatinya menjadi sumber kasih sayang; puasa membuka pendengaran batinnya dan menghilangkan ketulian, maka dengan itu ia dapat mendengar kandungan terdalam dari Al-Qur’an secara lahir-batin.”
Keenam, tidak terpesona bunga-bunga dunia yang menyebabkan diri seseorang jatuh menjadi budaknya. Ad-Dasuqi memperingatkan,
“Wahai anakku, janganlah kamu terpesona hiasan duniawi, alat transportasinya, busananya, perabotannya, aksesorinya, dan keuntungannya, tetapi ikutilah cara hidup Nabimu; kalau kamu tidak sanggup, ikutilah cara hidup gurumu. Jika tidak kamu ikuti, niscaya kamu jadi binasa.”
Ketujuh, bergaul dengan orang yang berakhlak luhur. Mengenai hal ini ad-Dasuqi berkata,
“Wahai anak-anakku, janganlah kamu bergaul dengan penipu, pembohong, dan orang panjang lidah, tetapi bergaullah dengan orang yang memperkenankan imbauan Tuhannya, sehingga kamu pun bisa mendapat petunjuk dari padanya, dapat meneladani kedisiplinan diri, dan suatu saat kamu akan berpisah dengannya secara benar….”
Kedelapan, ikhlas dalam melakukan segala amal. Ad-Dasuqi berkata,
“Jika engkau anakku dan pengikutku yang sebenarnya, ikhlaskanlah ibadahmu karena Allah SWT, minta nasi-hatlah kepada kalbumu, dan jangan engkau campurkan amalmu dengan dirham. Sesungguhnya inilah tare katku. Barangsiapa yang mencintaiku, dia akan berjalan di jalan ini bersamaku.”
Kesembilan, patuh terhadap perintah dan larangan syekh mursyid (pimpinan tarekat). Ad-Dasuqi berkata,
“Sesungguhnya seorang syekh adalah bapak rohani, maka anak tidak boleh membantah terhadap orangtuanya. Adalah suatu hal yang tidak dapat kami mengerti jika ada yang masih membandel, padahal perintah demikian bersifat umum dalam segala hal. Dalam hal ini, hendaklah murid menjadikan dirinya laksana mayat di hadapan orang yang memandikannya. Oleh sebab itu, wahai anakku, taatlah kepada bapak rohanimu.”
Kesepuluh, tujuan akhir yang hendak dicapai dalam tarekat ini ialah fana dalam penyaksian wujud. Ini terkesan dari ucapan ad-Dasuqi yang mengatakan bahwa tobat golongan istimewa (al-khawwas) merupakan penghapusan segala sesuatu selain Allah SWT.
Adapun amalan yang dilakukan penganut Tarekat Dasuqiyah ini mencakup: (1) salat, baik yang fardu maupun yang sunah; (2) puasa, baik yang fardu maupun yang sunah; dan zikir, doa, dan hizb.
Zikir dan doa yang dilaksanakan Tarekat Dasuqiyah meliputi zikir dan doa yang ma’tsur (berasal dari ucapan Nabi Muhammad SAW) dan yang bebas. Zikir yang ma’tsur meliputi tahlil, tahmid, takbir, tasbih, dan takdis. Adapun zikir yang bebas ialah zikir yang dirumuskan oleh para syekh tarekat, dan dalam hal ini yang paling banyak diucapkan ialah zikir Ya Da’im (Wahai, Tuhanku Yang Maha Kekal). Abdul Wahhab asy-Sya‘rani, seorang sufi asal Mesir, menceritakan pengalamanberikut tentang Syekh Khalil al-Majzub:
“Suatu kali aku melihat Syekh Khalil al-Majzub (seorang sufi asal Mesir) naik ke sebuah bukit kecil, lantas aku berseru, ‘Siapakah orang itu, apakah dia seorang Ahmadi (penganut Tarekat Ahmadiyah) atau Burhani (penganut Tarekat Dasuqiyah)?’ Kudengar ia mengucapkan Ya Da’im, Ya Da’im sebagai isyarat bahwa ia adalah penganut Tarekat Dasuqiyah.”
Adapun hizb yang diamalkan dalam tarekat ini ialah hizb yang dikarang Ibrahim ad-Dasuqi sendiri, yang dinamai “hizb Ibrahim”.
Kepada murid penganut Tarekat Dasuqiyah yang telah dipandang matang oleh syekh mursyid untuk dapat mengembangkan ajaran tarekatnya, diberikan sehelai sobekan kain atau jubah, yang disebut khirqah. Biasanya khirqah dalam Tarekat Dasuqiyah ini berwarna hijau. Dengan mendapat khirqah, seorang murid telah berhak menjadi “khalifah” (wakil, pengganti) syekh mursyid, dan ia telah berhak mengajar di tempat lain secara mandiri tentang ajaran tarekatnya.
Daftar Pustaka
asy-Sya‘rani, Abdul Wahhab. at-Tabaqat al-Kubr. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo:Dar as-Saqafah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1979.
at-Tawil, Taufiq. at-Tasawwuf al-Islami fi Misr Iban al-‘Asr al-‘Utsmani. Cairo:an-Nahdah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitabah, 1988.
Tirmingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Yunasril Ali