Secara bahasa, adharurah berarti “peristiwa yang tak dapat ditolak”. Dalam istilah fikih, darurat berarti keadaan bahaya atau sulit yang bisa menimbulkan kerusakan jiwa, anggota badan, kehormatan, akal, atau harta. Untuk mengatasi keadaan ini dibolehkan melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib.
Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk memakan yang dilarang dalam rangka mempertahankan nyawa, khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan Dharuri (pokok) seseorang terancam apabila dia tidak mempertahankannya kecuali dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.
Kebutuhan Dharuri ini maksudnya adalah kebutuhan dalam rangka mempertahankan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Untuk mempertahankan kelima masalah tersebut, Islam membolehkan umatnya untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Misalnya, seseorang menghadapi lapar yang bersangatan, sementara makanan satu-satunya yang ada hanya daging babi.
Jika dia tidak memakan daging babi ini, dikhawatirkan nyawanya akan melayang. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan jiwanya ini, dia dibolehkan memakan daging babi tersebut, sekadar untuk mempertahan kan hidupnya saat itu.
Kebolehan untuk melakukan yang dilarang agama dalam rangka mempertahankan lima kebutuhan tersebut didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 173, surah al-An‘am (6) ayat 145, dan surah an-Nahl (16) ayat 115.
Ayat ini berbicara tentang keharaman memakan daging babi. Pada intinya, ketiga ayat ini menyatakan bahwa seseorang yang dalam keadaan darurat terpaksa memakannya, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, ia tidak berdosa.
Dalam surah al-An‘am (6) ayat 119, Allah SWT berbicara tentang memakan yang haram dalam keadaan darurat. Sekalipun ayat Al-Qur’an berbicara tentang makanan saja, tetapi tidak tertutup kemungkinan tentang kebolehan meminum yang haram, tatkala seseorang benar-benar dalam keadaan kehausan yang bisa menghilangkan nyawanya.
Namun dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh meminum khamar (minuman keras) sekalipun ia dalam keadaan darurat kehausan. Pendapatnya ini didasarkan pada kenyataan bahwa ayat Al-Qur’an hanya berbicara darurat dalam hal makanan saja, tidak termasuk minuman.
Akan tetapi kalau dikaitkan dengan surah al-An‘am (6) ayat 119 di atas, maka tidak terdapat pemilahan antara makanan dan minuman, karena Allah SWT dalam ayat tersebut berfirman,
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya….”
Kaidah adharurah tubih al-mahˆurah (darurat itu membawa pada kebolehan yang dilarang) merupakan hasil induksi dari ayat yang disebutkan di atas dan hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan itu. Dengan demikian memakan dan meminum sesuatu yang dilarang dalam keadaan darurat dibolehkan.
Ulama memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam keadaan darurat.
- Keadaan darurat itu benar-benar telah terjadi. Artinya, bahwa keadaan seseorang benar-benar dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.
- Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama. Artinya, bahwa di sekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan jiwanya, kecuali yang haram tersebut. Selama masih ada yang dapat menyelamatkan jiwanya atau salah satu dari kebutuhan dharuri yang disebutkan di atas, sekalipun milik orang lain, keadaannya itu tidak dapat dikatakan darurat.
- Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk mencari yang halal, keadaannya tersebut belum dapat dikatakan darurat.
- Yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak sampai melanggar prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hak orang lain, tidak memu daratkan orang lain, dan tidak menyangkut masalah akidah. Misalnya, walaupun karena darurat, zina dan murtad tetap tidak bisa dihalalkan karena perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang dan merupakan prinsip dasar dalam Islam.
- Kebolehan darurat ini hanya terbatas sekadar melepaskan diri dari keadaan tersebut. Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang dapat dimakan itu hanya daging babi, yang hanya dibolehkan untuknya adalah memakan daging babi itu sekadar untuk mempertahankan hidup untuk mencari yang halal. Ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi “Darurat itu terbatas untuk (menghilangkan) darurat saja”.
- Jika keadaan darurat itu menyangkut penyakit, harus dijelaskan oleh dokter yang dapat dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa satu-satunya obat adalah yang diharamkan itu.
- Jika menyangkut kepentingan suatu negara, pihak penguasa benar-benar yakin bahwa keadaan yang dihadapi itu adalah negara dalam keadaan terancam bahaya, ada kesulitan yang sangat mengkhawatirkan keutuhan negara atau kepentingan rakyat banyak terancam bahaya. Misalnya, dalam masalah utang luar negeri yang harus dibayar dengan bunga yang cukup tinggi. Jika pemerintah menganggap bahwa satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan negara itu adalah dengan pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi itu, fukaha (ahli fikih) membolehkannya. Unsur darurat yang mereka kemukakan di sini adalah keterpaksaan pemerintah untuk menerima utang tersebut dengan pembayaran bunga yang tinggi. Bunga yang tinggi menurut mereka merupakan riba. Jadi dalam keadaan negara terancam keuangan, riba dibolehkan, jika memang itu satu-satunya jalan.
- Ibnu Hazm menambahkan satu syarat lagi, yaitu ke adaan orang yang darurat itu telah melalui waktu satu hari satu malam.
Daftar Pustaka
ad-Dabusi, Ubaidillah bin Umar. Ta’sis an-Naˆar. Cairo: al-Imam, t.t. al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. al-Madkhal al-Fiqhi: al-Qawa‘id al-Kulliyyah. Damascus: Dar al-Ma‘arif li at-Tiba‘ah, 1399 H/1979 M.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar. al-Asybah wa an-Naˆa’ir. Kuala Lumpur: Sulaiman Mar’i, t.t.
at-Tirmanini, Abdu s Salam. Naˆariyyah al-‘uruf ath-aari’ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
az‑Zuhaili, Wahbah. Naˆariyyah adh‑dharurah asy‑Syar‘iyyah. Beirut: Mu’asasah ar‑Risalah, 1979.
Nasrun Haroen