Darul Suluh

(Ar.: dar as-sulh)

Dalam ilmu fikih darul suluh berarti perjanjian damai antara negara muslim dan negara nonmuslim berdasarkan­ syarat yang ditentukan kedua belah­ pihak. Dalam perjanjian ini masing-masing negara­ tetap berdaulat. Istilah dar as-sulh (wilayah perdamaian) disebut juga dar al-‘ahd (wilayah perjanjian).

Dalam ajaran Islam tidak dilarang untuk melakukan­ darul suluh, selama perjanjian tersebut bertujuan­ untuk mewujudkan perdamaian. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 90 yang berarti:

“…Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi­ kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan­ bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka­.”

Menurut Islam, semua perjanjian yang telah diikrarkan wajib ditepati. Karenanya, perjanjian tidak­ boleh dibatalkan kecuali apabila pihak lain membatalkannya­ atau bersiap-siap untuk membatalkan­­nya berdasarkan gejala-gejala yang menjurus ke arah itu, misalnya­ mengadakan persetujuan dengan musuh kaum muslim atau mengadakan­ persekutuan­ dengan pihak yang memusuhi orang yang membela Islam.

Dalam hal ini, kaum muslimin wajib membatalkan perjanjian tersebut, karena pi­hak yang mengikat perjanjian dengan mereka telah mengkhianati janjinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman,

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) penghianatan­ dari suatu golongan, maka kembali­kanlah perjanji­an itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhn-ya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat” (QS.8:58).

Menurut ahli fikih, dalam melakukan darul suluh­ kepen­tingan rakyat harus didahulukan dari­pada­ kepenting­an penguasa. Karenanya,­setiap perjanjian harus dibuat berdasarkan keadilan terha­dap rakyat yang akan dilindungi. Selama wilayah tersebut berada dalam status darul suluh, penguasa muslim wajib memberikan perlindungan kepada penduduk­ wilayah tersebut dan harta bendanya.

Darul suluh telah dilakukan sejak masa Nabi SAW dan sahabat. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah (pakar hukum Islam Universitas Fuad I, Cairo), di antara perjanjian yang pernah dilaku­kan, ada yang mensyaratkan pem­bayaran (ju‘l) ke­pada kaum muslim sebagai imbalan perlindung­an dan pembelaan yang diberikan kepada negara atau wilayah yang bersangkutan.

Hal ini terlihat pada perjanjian perdamaian antara Nabi SAW dan kaum Nasrani di Najran. Atas dasar itu, Nabi SAW memberikan perlindungan terhadap pen­duduk Najran dan harta benda mereka dari segala serangan. Darul suluh juga dilakukan antara Nabi SAW dan Bani Damrah, salah satu suku bangsa Arab. Dalam teks perjanjian antara Nabi SAW dan Bani Damrah tertulis sebagai berikut:

“Inilah kitab (perjanjian tertulis) Muhammad Rasulullah SAW kepada Bani Damrah; bahwa ke­amanan harta dan diri mereka dijamin keamanannya; bahwa merupakan­ hak mereka untuk mendapatkan bantuan menghadapi­ orang yang menyerang­ mereka, kecuali­ jika peperangan itu untuk agama Allah SWT; bahwa jika Nabi SAW meminta bantuan, mereka harus memperkenankannya,­ dan bantuan diberikan­ kepada mereka yang berbuat baik dan bertakwa”­.

Berbeda dengan masa Nabi SAW, pada periode al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) peperangan telah berkobar antara kaum muslim dan dua negara adikuasa pada masa itu, Kerajaan Romawi dan Persia. Akibatnya, wujud perjanjian pada periode al-Khulafa’ ar-Rasyidun tidak lagi berupa perdamaian saling membantu.

Dalam berha­dapan­ dengan negara non-Islam, pemerintah negara boleh pula disakiti seorang pun di antara mereka. Dan bahwa Elia tidak boleh didiami oleh seorang pun dari kaum Yahudi”.

Islam meng­ajukan tiga alternatif,­ yaitu perjanjian­ damai, menerima­ Islam, atau berperang sebagai musuh. Selain melaku­kan darul suluh, pihak-pihak yang mengadakan­ perjanjian dengan kaum muslim adakalanya berkedudukan sebagai ahl adz-Dzimmah (orang yang tunduk kepada peme­rintahan kaum muslim tanpa mempunyai pemerintah sendiri). Karena mereka berada dalam ne­gara Islam, keamanan­ jiwa raga, harta benda,­ dan agama mereka dijamin kaum muslim.

Pada masa itu dilakukan perjanjian antara Umar bin Khattab dan penduduk Elia (Baitul­makdis). Dalam perjanjian itu, antara lain disebutkan:

“Inilah janji damai yang diberikan oleh hamba Allah SWT, Umar, Amir al-Mukminin, kepada penduduk­ Elia. Ia memberikan perlindungan keaman­an­ atas jiwa dan harta benda mereka, gereja-gereja dan palang-palangnya, yang sakit dan yang sehat, dan seluruh pemeluk agamanya. Bahwa ge­reja-gereja mereka tidak boleh diduduki ataupun diruntuhkan, bahkan tidak boleh kurang sesuatu pun pada gereja-gereja itu dan isi-isinya. Harta benda mereka tidak boleh dirusak, mereka tidak boleh dipaksa dalam urusan keagamaan, dan tidak boleh pula disakiti seorang pun di antara mereka. Dan bahwa Elia tidak boleh didiami oleh seorang pun dari kaum Yahudi”.

Perjanjian damai lainnya yang dilakukan pang­lima Islam adalah perjanjian antara Abu Ubaidah bin Jarrah dan penduduk Nasrani Homs, Suriah. Dengan memungut ba-yaran tertentu, ia berjanji menjamin­ keamanan mereka dari serangan tentara Romawi.

Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Abdullah bin Sa‘ad pernah pula mengikat­ perjanjian­ damai dengan penduduk Nubia di Mesir Hulu atas dasar perlindungan dan pemeliharaan kemerde­kaan­ mereka, tanpa memungut sesuatu pun dari mereka. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan pernah pula mengadakan perjanjian dengan penduduk Armenia atas dasar jaminan kemerdekaan dalam negeri mereka.

Setelah periode al-Khulafa’ ar-Rasyidin, muncul­ periode Bani Umayah dan disusul Bani Abbas (Abbasiyah). Pada kedua periode tersebut dunia Islam telah meluas ke timur dan barat, sementara­ peperangan­ tidak habis-habisnya. Pada masa­ itu wujud negara yang disebut darul suluh semakin­ pudar dan akhirnya hilang. Yang tinggal hanya darul Islam (negara Islam) dan darul harbi (negara musuh atau wilayah perang)­.

Akibatnya, pembahasan­ darul suluh dalam kajian fikih hanya ada dalam perkiraan ilmiah dan tidak bertolak dari realitas. Dewasa ini, negara di seluruh dunia­ telah berkumpul­ dalam suatu organisasi (misalnya,­ PBB) yang anggotanya berjanji mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi tersebut. Menurut Muhammad Abu Zahrah, negara yang menjadi­ anggota organisasi semacam itu termasuk dalam kategori darul suluh atau dar al-‘ahd.

Daftar Pustaka

Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar al-Ansar, 1977.
al-Qasimi, Zafir. Niˆam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh al-Islami. Beirut:Dar an-Nafa’is, 1980.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑‘Alaqat ad‑Dauliyyah fi al‑Islam: Muqaranah bi al‑Qanun ad‑Dauli al‑hadits. Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1981.
––––––– Asar al‑harb fi al‑Fiqh al‑Islami: Dirasah al-Muqaranah. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Yunasril Ali