Darul Hadis

(Ar.: dar al-Hadist)

Darul hadis berarti rumah, kampung, atau negeri untuk belajar hadis. Istilah ini dipakai untuk lembaga pendidikan­ hadis sejak abad ke-6 H. Ilmu hadis dipandang paling bergengsi di samping ilmu Al-Qur’an. Pemilik ilmu hadis adalah orang terhormat. Untuk belajar hadis, mereka mengadakan perjalanan­ dari satu kota ke kota lain atau negeri ke negeri lain.

Menurut Husein az-Zahabi (sejarawan), Darul Hadis pertama kali dijumpai di Suriah­. Sebelum ada Darul Hadis sebagai lembaga khas (kejuruan), pengajaran hadis, sebagai­ mana ju­ga pengajaran ilmu-ilmu agama lainnya, dilaku­kan di masjid.

Pada abad ketiga Hijriah (ke­sembilan Masehi), Imam Bukhari me­nyeleng­gara­kan­ pengajaran hadis di masjid Basrah. Pada waktu yang sama di Mesir, murid Imam Syafi‘i juga menyelenggarakan pengajaran­ hadis di Masjid Ibnu Tulun. Lembaga-lembaga pengajian di masjid itu kemudian berkembang dengan menyelenggara­kan­ pengajaran­ berbagai disiplin ilmu agama, termasuk hadis, dan diberi nama Dar al-‘Ilm (Madrasah).

Karena posisi ilmu hadis menempati ke­du­dukan­ ter­hormat, perhatian para terpelajar pun lebih tinggi terhadap ilmu itu. Di samping dipelajari di dua lembaga tersebut di atas, juga diadakan penga­jian­ di rumah ulama hadis.

Dari kelompok pengajian seperti inilah berkembang­ lembaga yang khusus mempelajari ilmu hadis. Misalnya, sekolah hadis di Nisabur, Irak, di bawah pimpinan Abu Ali al-Husaini (w. 393 H/1003 M) dengan murid kurang lebih 1.000 orang; sekolah hadis di Isfahan, Iran, yang dipelopori Ibnu Furak (w. 406 H/1015 M), Abu Qasim al-Qusyairi, dan Ruhuddin al-Isfahani (w. 418 H/1027 M).

Ibnu Furak, al-Qusyairi, dan al-Isfahani masing-masing mendirikan sekolah hadis secara terpisah. Di Cairo dibuka pula sekolah hadis yang dipelopori Khalifah al-Hakim pada 400 H/1009–1010 M di bawah bimbingan ulama Mazhab Maliki.

Lembaga Pendidikan Kejuruan Ilmu Hadis yang perta­ma-tama diberi nama Darul Hadis didirikan­ Sultan Atabeg Nuruddin (w. 569 H/1173–1174 M). Meskipun menganut Mazhab Hanafi, Nuruddin tetap menghargai mazhab lain dan memberi tempat di lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan yang didirikannya.

Untuk penyelenggaraan­ Darul Hadis ini ia menempatkan seorang­ ulama hadis bernama Abdullah bin Asakir (w. 571 H/1175–1176 M), yang kemudian dilanjutkan anaknya, Qasim bin Abdullah bin Asakir (w. 600 H/1203–1204 M). Ibnu Rafi (pengajar di Darul Hadis Suriah) pernah memimpin Darul Hadis ini.

Lembaga serupa kemudian bermunculan di berbagai tempat, terutama­ di Damascus dan seki­tarnya­ dengan nama yang sama. Bahkan penama­an­ Darul Hadis untuk lembaga serupa menyebar ke berbagai pelosok negeri muslim.

Abdul Latif al-Baghdadi (w. 629 H/1231–1232 M) dalam perjalanan nya pada 585 H/1189 M menjumpai lembaga sema­cam­ ini di Mosul (perbatasan­ Irak dan Persia [Iran]) yang diseleng­ garakan secara­ halaqah­ di madrasah­ Ibnu Muhajir.

Malik Kamil­ Nasiruddin, seorang pengua­sa dari Mamluk, mendi­rikan Darul Hadis (622 H/1225 M) setelah menyaksikan Darul Hadis an-Nuriya di Suriah. Malik Kamil menempatkan Abu Khattab bin Diya (pengajar­ Darul Hadis di Suriah) sebagai pengelolanya.

Di samping Darul Hadis, dikenal pula Dar Al-Qur’an wa al-Hadist (Darul Qur’an dan Hadis). Lembaga ini untuk pertama kalinya didirikan Saifuddin Malik an-Nasir, penguasa Ba­ni Mamluk (w. 741 H/1340–1341 M) di Suriah.

Menurut al-Maqrizi, seorang pengamat sejarah,­ abad 9 H/15 M merupakan masa kemunduran Darul Hadis setelah tiga abad (sejak abad 6 H/12 M) mewarnai kesemarakan semangat ilmu-ilmu agama­. Sebagai contoh, di Suriah pada masa Ibnu Duqmaq (w. 845 H/1441 M), dari 73 madrasah yang ada, hanya 2 yang masih disebut dengan Darul Hadis.

Dua atau tiga abad terakhir ini lembaga Darul Hadis tidak dikenal lagi sebagai lembaga pendidikan­ keagamaan yang bergengsi. Posisi ilmu hadis sejajar dengan posisi ilmu agama lainnya, seperti­ ilmu fikih dan ilmu tafsir. Pada abad ini, pusat pengajaran ilmu hadis yang terbaik di dunia Islam adalah di perguruan tinggi agama yang ada di India dan Pakistan.

Darul Hadis di Indonesia. Istilah Darul Hadis mempunyai­ konotasi yang kurang baik di kalang­an­ umat Islam pada umumnya. Istilah ini me­rupakan nama bagi suatu lembaga pendidikan (pesantren) yang didirikan KH Nurhasan al-Ubaidah (1908–1985) di Kediri, Jawa Timur, seorang pendiri gerakan sempalan Islam Jamaah,­ sehingga Darul Hadis identik dengan Islam Jamaah.

Paham Darul Hadis sendiri mulai diperkenalkan di Indonesia pada 1940. Ajaran yang dibawa adalah mengem­balikan Islam di Indonesia yang sudah banyak menyimpang dari jalur yang benar. Secara konsep, Darul Hadis datang dengan mengajarkan paham tentang “keamiran”, baiat, imamah, manqul, dan beberapa hal teknis ubudiah, khususnya tentang salat

Awal penyebaran hanya dilakukan di lingkungan keluarga dan kerabat dekat. Perluasan dilakukan dengan mengawini keluarga kaya serta mencarikan jodoh untuk anak-anak, keluarga, dan anggotanya.

Tatkala pengikut sudah dianggap cukup, terutama setelah dua lurah di Kediri (H. Sanusi dan H. Nur Asnawi) menjadi pengikut, Nurhasan diang­kat menjadi amir jemaah yang bertugas untuk meng­urus, sekaligus menjadi penasihat tentang berbagai masalah agama yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Kegiatan Darul Hadis terus dilakukan dengan giat, tidak saja di Kediri dan sekitarnya, akan tetapi juga di daerah lain di Pulau Jawa, bahkan di luar Pulau Jawa. Pada 1951 paham yang disebarkan itu dikukuhkan namanya menjadi paham “Darul Hadis”. Nama ini diambil dari nama sebuah madrasah di Mekah, tempat Nurhasan pernah belajar.

Apa yang diajarkan oleh Nurhasan sebagai Islam yang murni, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis mendapat tantangan dari berbagai kalangan, baik masyarakat biasa maupun tokoh-tokoh agama, bahkan pemerintah.

Oleh karena dianggap meresahkan masyarakat, Pangdam VIII Brawijaya mengeluarkan SK tentang larangan/pembubaran gerakan Darul Hadis Nomor: Kept/28/26/1967. Larangan juga muncul dari Laksus Komkamtibda Jakarta (1968), Pakem Kejati Jawa Barat (1968), Kejati Sulawesi Tenggara (1969), dan Komkamtibda Sumatera Selatan (1969).

Kenyataannya, pelarangan ini tidak menyebabkan gerakan dan paham Darul Hadis berhenti. Dengan menggunakan­ berbagai nama di berbagai wilayah baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, muncul gerakan yang mengajarkan paham yang sama dengan Darul Hadis, antara lain: “Islam Murni”, “Jama‘ah Qur’an Hadis”, “Islam Jamaah”, “Yayasan Pondok Pendidikan Nasional”, “Yayasan Pondok Al-Qur’an dan Hadis”, dan “Jamaah Amirul Mukminin”­.

Oleh karena itu untuk memperoleh simpati pemerintah dan masyarakat, mereka juga giat menyelenggarakan pengajian dalam rangka peringatan hari besar nasional seperti HUT Kemerdekaan dan Sumpah Pemuda. Bahkan sejak 2 Desember 1970 melalui pimpinan pondok pesantren Darul Hadis, para tokoh dan anggotanya menyatakan bergabung dengan Golkar.

Dengan masuk Golkar mereka merasa aman untuk terus menyebarkan ajaran yang menjadi misinya. Namun, karena berbeda dengan arus utama keislaman yang dianut oleh sebagian besar masyarakat, keresahan pun muncul di berbagai tempat di mana paham tersebut diperkenalkan. Karena itu, melalui SK Nomor: 089/DA/10/1971 tanggal 29 Oktober 1971, Kejaksaan Agung RI akhirnya melarang gerakan Darul Hadis.

Untuk membina bekas pengikut Darul Hadis, pada 3 Januari 1972 dibentuk Lemkari (Lembaga Karyawan Islam) yang berkedudukan di Kediri. Pada tahun itu pula Nurhasan mengundurkan diri dari pesantrennya.

Sejak 8 Juni 1974 Lemkari secara resmi menyatakan diri bernaung di bawah Golkar. Melalui Mubes ke-2 pada 10–11 Juni 1981 yang dibuka oleh menteri agama saat itu H. Alam-syah Ratu Perwiranegara, kedudukan Lemkari dipindahkan dari Kediri ke Jakarta.

Lemkari berkembang pesat sejak Mubes ke-3 pada 4 Mei 1986 di Jakarta yang dibuka oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali. Namun seiring dengan itu, sikap eksklusif yang mereka tunjukkan mengundang reaksi keras masyarakat­.

Sikap Lemkari yang menjadi gugatan masyarakat antara lain mengajarkan paham Islam Jamaah, tidak mau berjema­ah dengan muslim lain, tidak mau bergaul dengan umat lain, memilih jodoh hanya dari kalangan internal, dan salat jumat di masjid sendiri.

Melalui serangkaian rapat koordinasi antara tim peneliti Badan Litbang Agama Depag dengan Ditjen Sospol Depdagri, BAKIN, dan DPP Golkar, 25 April 1989 dan 22 Februari 1990 dihasilkan rekomendasi menyangkut dua hal pokok: 1) Lemkari tidak dibubarkan, tetapi organisasi, personil, dan ajarannya (doktrin) harus dibenahi; dan 2) penataan organisasi disiapkan oleh Depdagri, personil oleh Golkar, sedangkan ajaran oleh Departemen Agama.

Untuk merealisasi penataan tersebut Lemkari mengada­ kan Mubes di Jakarta tanggal 19–20 November 1990. Di antara keputusan yang dihasilkan adalah mengubah nama Lemkari menjadi LDII, singkatan dari “Lembaga Dakwah Islam Indonesia”.

Adapun doktrin yang terus dianut organisasi ini hingga kini yaitu:

1) Amir adalah pemimpin organisasi dan pemim­pin spritual yang harus ditaati secara penuh oleh seluruh ikhwan jemaah;

2) Keanggotaan dilakukan melalui baiat (walau adakalanya dibantah, namun masyarakat menyaksikan praktek tersebut);

3) Melanggengkan hubungan spritual murid-guru melalui sistem sanad;

4) Tidak boleh mengajarkan­ apa pun yang tidak atau belum diajarkan guru. Semua ajaran harus diterima langsung dari guru secara manqul;

5) Khotbah jumat hanya dengan bahasa Arab dan dilak­sanakan di masjid LDII;

6) Tidak mau salat di masjid non-LDII (karena kotor/najis), juga makmum pada imam yang bukan anggota LDII (karena Islamnya tidak murni);

7) Kalau ada orang luar (non-LDII) yang salat di masjid LDII, maka apa yang terkena orang tersebut harus disucikan;

8) Kedudukan amir dan ikhwan jauh lebih tinggi dari keluarga,­ termasuk orangtua (ibu dan bapak). Karena itu, meski keluarga atau orangtua mereka adalah muslim namun dianggap tidak Islam murni dan ada kecenderungan untuk memutuskan hubungan kekeluargaan.

9) Perkawinan­ oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dianggap tidak sah dan harus diulang.

Daftar Pustaka

Aziz, Abdul, ed. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Departemen Agama Republik Indonesia. Surat Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Nomor: BD/HM. 01/758 /2002 tanggal 22 Oktober 2002 tentang Hasil Kajian LDII. Jakarta: Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan, 2002.

Glasse, Cyril. “Dar al-Hadisth,” The Concise Encyclopaedia of Islam. London: Stacey International and Cyril Glasse, 1989.

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.

Sezgin, Fuat. “Dar al-Hadis,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1971.

Atjeng Achmad Kusaeri