Ibukota Republik Arab Mesir ini adalah salah satu pusat kegiatan agama, kebudayaan, dan politik terpenting di dunia, khususnya dunia Islam. Cairo terletak di delta Sungai Nil. Luas: 214 km2. Penduduknya berjumlah 20.484.965 jiwa (2022) dan mayoritas beragama Islam.
Cairo merupakan kota terbesar di benua Afrika dan dunia Arab. Cairo, yang dikenal juga dengan nama al-Qahirah, telah didiami manusia sejak masa paling awal dan menjadi salah satu tempat terpenting selama periode invasi orang Arab ke wilayah tersebut, yang bermula ketika panglima Islam *Amr bin As membangun perkemahan permanen di Fustat (Cairo).
Berdirinya Cairo dilatarbelakangi gerakan penumpasan golongan *Syiah yang dilancarkan penguasa *Abbasiyah di Baghdad. Golongan Syiah, yang pada mulanya merupakan mitra Bani Abbas dalam menjatuhkan kekuasaan Bani *Umayah, berbalik menentang Bani Abbas karena dikecewakan sesudah bani itu berhasil berkuasa. Keadaan tersebut menyebabkan penguasa Abbasiyah berusaha menumpas golongan Syiah.
Golongan Syiah melanjutkan perlawanan dengan berpindah-pindah untuk menghindari pengejaran penguasa Abbasiyah. Syiah Ismailiyah, salah satu golongan Syiah, melancarkan perlawanan dan dakwahnya di berbagai kota di wilayah Arab. Tetapi karena tetap merasa tidak aman dari penguasa Abbasiyah di *Baghdad, ketika Abu Ubaidillah al-Mahdi menjadi imam dari sekte ini, seorang dai terkenal bernama Abdullah asy-Syi‘i dikirim ke Afrika.
Dakwah Abdullah, yang berhasil menggalang penduduk Barbar, terutama dari suku Katamat, mengundang rasa kuatir Khalifah al-Muqtadir (khalifah Abbasiyah ke-18, memerintah 908–932) di Baghdad. Khalifah itu lalu memerintahkan Ziyadatullah III, penguasa Dinasti *Aghlabiyah, untuk menghentikan dakwah Ismailiyah tersebut serta menangkap Ubaidillah al-Mahdi yang menggantikan ayahnya, Abu Ubaidillah al-Mahdi, yang sudah meninggal.
Penangkapan itu berhasil. Tetapi Ubaidillah al-Mahdi yang dipenjarakan di Sijilmasat (Afrika Utara) berhasil dibebaskan Abdullah asy-Syi‘i bersama pasukannya yang terdiri dari orang Barbar. Keberhasilan tersebut selanjutnya memberi peluang kepada Ubaidillah untuk dibaiat menjadi khalifah dengan gelar al-Mahdi Amir al-Mu’minin (909).
al-Mu‘izz Lidinillah (953–975), salah seorang dari tiga bersaudara yang menggantikan ayah mereka, Khalifah Ubaidillah al-Mahdi, mengalihkan perhatiannya ke Mesir. Ia menunjuk Panglima Jauhar al-Katib as-Siqilli untuk menaklukkan Mesir.
Panglima tersebut berhasil menguasai Mesir dan membangun sebuah kota baru yang diberi nama al-Qahirah (Cairo) pada 969. Kemudian, di kota tersebut ia membangun Masjid al-Azhar (972) yang menjadi pusat pengajaran dan penyebaran ajaran Syiah Ismailiyah.
Tahun 973, Khalifah al-Mu‘izz Lidinillah hijrah dari *Qairawan ke Mesir dan menjadikan Cairo sebagai pusat pemerintahannya. Sejak itulah Cairo berjaya sebagai pusat pemerintahan Dinasti *Fatimiyah selama kurang lebih 200 tahun di bawah sebelas khalifah.
Di bawah Dinasti Fatimiyah, Cairo menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Pada masa pemerintahan Abu Manshur Nizar al-Aziz (975–996), Cairo sebagai pusat pemerintahan Fatimiyah menjadi saingan bagi Baghdad (pusat pemerintahan Abbasiyah) maupun *Cordoba (pusat pemerintahan Dinasti Umayah Spanyol).
Ia membangun sebuah istana yang megah di Cairo dan kota lainnya. Sebagai tandingan Baghdad dan Cordoba di bidang ilmu pengetahuan, Cairo menjadi kota tempat berkumpulnya banyak ilmuwan atau sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.
Para sarjana yang mengabdikan diri dalam bidang masing-masing pada abad-abad silam di Cairo, baik menjelang pembangunan dan pengembangan kota itu maupun sesudahnya, antara lain adalah: Muhammad at-Tamimi, seorang dokter kelahiran Yerusalem; Ali al-Hasan bin Haitam (w. 1039), dokter dan ahli optik; Abdullah bin Ahmad bin al-Baitar, sarjana botani; sejarawan Abu Hasan Ali al-Mas‘udi dan Muhammad bin Yusuf al-Kindi; ahli hukum Abu Hanifah an-Nu‘man; dan ahli filsafat Aminuddin Ahmad bin Abdullah al-Kirmani.
Kalau untuk keperluan penelitian bintang di Baghdad dan Cordoba dibangun observatorium, maka Ali bin Yunus, seorang ahli astronomi, mendirikan pula observatorium di Bukit Mukattam (Cairo), yang diberi nama ar-Rasyid al-Hakim. Kalau pada masa itu Baghdad bangga dengan Masjid Samarra yang dibangun penguasa Bani Abbasiyah dan Cordoba bangga dengan Masjid Cordoba yang dibangun penguasa Bani Umayah di Spanyol, maka Cairo, selain memiliki Masjid al-Azhar, juga dapat bangga dengan Masjid al-Hakim yang dibangun dengan cita rasa arsitektur yang mengundang pesona.
Pada penghujung masa Dinasti Fatimiyah, Cairo pernah terancam oleh tentara Salib dari Yerusalem (1167). Tetapi seorang panglima tentara Islam yang telah lama bercita-cita mengganti Islam Syiah menjadi Islam Suni di Mesir, *Salahuddin al-Ayyubi, berhasil mengakhiri ancaman tentara Salib tersebut setelah menurunkan al-Adid (1171), khalifah terakhir Fatimiyah.
Salahuddin kemudian memproklamasikan kekuasaannya (1174). Pada Mei 1175, ia dengan gelar sultan mendapat pengakuan dari khalifah di Baghdad. Sejak itu Cairo menjadi pusat pemerintahan Dinasti Ayubiyah selama kurang lebih 75 tahun. Pada masa Salahuddin inilah kota Cairo mengalami perluasan dan ditembok sekelilingnya, menyusul kegagalan serangan tentara Salib (1176).
Dinasti Ayubiyah berakhir ketika pemerintahan berganti ke tangan Dinasti *Mamluk (Ar.: mamluk = budak). Dinasti ini memerintah di Mesir selama hampir 3 abad dan berhasil menahan laju serbuan pasukan *Mughal yang dipimpin Hulagu Khan. Serbuan tersebut tidak berhasil menjadikan Cairo sebagai sasaran penghancuran seperti yang dialami kota Baghdad (1258). Di bawah dinasti itu, Cairo menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan gudang barang-barang dagang untuk Eropa dan dunia Timur.
Sesudah *Turki ditaklukkan (1517), Cairo mengalami masa suram sampai munculnya Muhammad Ali dalam pemerintahan Mesir pada permulaan abad modern (abad-19). Sejak masa Muhammad Ali, Cairo kembali bangkit sebagai pusat pembaruan Islam zaman modern. At-Tahtawi (w. 1873), *Jamaluddin al-Afghani, Muhammad *Abduh, *Rasyid Rida, Qasim Amin (w. 1908), Musthafa Kamil (w. 1908), *Ali Abdul Raziq, dan Thaha *Husein adalah sebagian dari nama pemuka pembaruan Islam yang menjadikan Cairo pusat kegiatan dan kiprah mereka.
Tahun 1921, Cairo menjadi tuan rumah pertemuan antara wakil Inggris dan wakil Irak guna melaksanakan mandat Inggris atas Irak berdasarkan Konferensi San Remo (1920). Pada 1943 Cairo dipilih sebagai tempat pertemuan yang kedua kalinya antara pemimpin Sekutu, Churchill dan Roosevelt. Cairo pernah menjadi ibukota negara Arab ketika dipersatukan dalam Republik Persatuan Arab (RPA).
Tahun 1977, perundingan antara Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Menachem Begin (Perdana Menteri Israel) di kota itu membawa keduanya ke KTT Camp David (1978) bersama Jimmy Carter (Presiden AS). Cairo kembali mengalami kesibukan diplomasi ketika pecah perang antara Sekutu (tentara multinasional) dan Irak tahun 1990-1991.
Cairo semakin penting sebagai pusat kegiatan gerakan dan pengembangan Islam ketika dari kota ini lahir sebuah organisasi gerakan Islam, yang pengaruhnya bukan hanya di Mesir, melainkan di seluruh dunia Islam. Organisasi tersebut adalah *Ikhwanul Muslimin yang didirikan *Hasan al-Banna pada 1928.
Tetapi yang paling mendasar dari usaha pengembangan Islam yang digerakkan dari kota ini ialah peranan Universitas al-*Azhar, Universitas Cairo, ‘Ain Syam dan universitas Islam lainnya dalam mencetak sarjana Islam yang berasal dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Mereka yang telah mengenyam ilmu keislaman di kota ini, kelak apabila kembali ke negeri mereka, mengembangkan Islam di negeri masing-masing.
Pemerintah Mesir menyediakan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa asing yang ingin memperdalam studi keislamannya di universitas-universitas Islam di kota Cairo. Kebijaksanaan memberikan beasiswa dari pemerintah Mesir ini sudah ditempuh sejak dulu oleh Universitas al-Azhar. Dengan demikian, Cairo menampilkan wajahnya sebagai kota pusat studi dan pengembangan agama Islam, di samping menyimpan khazanah sejarah masa lampau yang panjang.
Sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam, Cairo memiliki banyak bangunan yang bernilai historis, antara lain Masjid al-Azhar dan Masjid Ibnu Tulun. Bangunan terkenal lainnya di Cairo berupa mausoleum, madrasah, Bab an-Nasr (Gerbang Kemenangan), dan Bab al-Futuh (Gerbang Penaklukan). Cairo juga dikenal sebagai kota turis yang memiliki peninggalan sejarah, seperti mumi dari zaman Mesir Kuno yang disimpan di Museum Cairo.
Daftar Pustaka
Abd-Khalek, Gouda and Robert Tigor, ed. The Political Economy of Income Distribution in Egypt. New York and London: Routledge,1982.
Ali, Ameer. Islamic History and Culture. New Delhi: Amar Prakshan, 1981. Gibb, Hamilton A.R. Studies on the Civilization of Islam. Boston: Beacon Press, 1968.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh ad-Daulah al-Fatimiyyah. Cairo: Dar al-Fikr, 1958.
Hitti, Philip K. The History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Jonathan, Berkey, ed. The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social Histoy of Islamic Education. Princeton: Princeton University Press, 1992.
Tignor, Robert. State, Private Enterprise, and Economic Change in Egypt, 1918–1952. Princeton: Princeton University Press, 1984.
https://www.macrotrends.net/cities/22812/cairo/population, diakses pada 16 Maret 2022.
https://worldpopulationreview.com/world-cities, diakses pada 16 Maret 2022.
Moch Qasim Mathar
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (Maret 2022)