Pada abad ke-16 di Pulau Buton (di tenggara Sulawesi) berdiri sebuah kerajaan Islam, yakni Kesultanan Buton. Buton sudah dikenal pada masa Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, yakni sumpah untuk menyatukan Nusantara, menyebut Pulau Buton, dan Empu Prapanca juga menyebut Pulau Buton dalam kitab Negara Kartagama.
Kesultanan Buton merupakan kelanjutan dari Kerajaan Buton yang berlokasi di sekitar kota Bau-bau sekarang. Penduduk setempat menyebut daerah itu Walio. Kerajaan Buton menjadi kerajaan Islam atau kesultanan setelah rajanya yang ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, memeluk Islam. Nama Halu Oleo sekarang dijadikan nama sebuah perguruan tinggi negeri di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Kedatangan Islam ke Kerajaan Buton mengikuti jalur perdagangan melalui rute pelayaran pada abad ke-14 dan ke-15. Pulau Buton saat itu berada pada salah satu posisi jalur pelayaran, antara Malaka dan Maluku.
Dalam laporan Tomé Pires (seorang pengelana Portugis abad ke–15 yang ikut dalam rombongan kapal Portugis yang menyusuri beberapa pelabuhan penting di Nusantara, seperti pelabuhan Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon antara Maret–Juni 1513) disebutkan bahwa pada abad ke-14 Malaka telah menjadi pusat perdagangan paling ramai dan terbesar di Asia dan menjadi tempat pertemuan para pedagang dari Arab, Persia (Iran), Gujarat, Benggala, Pegu, Siam, Cina, Sumatera, Jawa, Maluku, dan pulau kecil lainnya.
Nusa Tenggara menjadi pusat persinggahan strategis bagi para pedagang yang melewati jalur perdagangan antara pulau timur dan barat. Pulau Buton sangat mungkin disinggahi perahu pedagang, baik yang datang dari Maluku maupun dari Malaka dan Johor. Kerajaan Islam Malaka saat itu telah meluaskan kekuasaannya ke dae rah Patani, Kelantan, dan Johor.
Sehubungan dengan itu, satu teori berpendapat bahwa Islam masuk ke Kerajaan Buton dari Semenanjung Johor, karena para pedagang muslim yang singgah di Pulau Buton sangat mungkin memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat.
Teori lain berpendapat bahwa Islam masuk ke kerajaan itu dari Ternate yang seabad lebih dahulu menjadi Islam. Para pedagang muslim yang berlayar dari kerajaan Islam di Maluku ke kerajaan Islam di Jawa atau sebaliknya singgah di wilayah Kerajaan Buton dan mendakwahkan Islam kepada penduduknya.
Tokoh terkenal pembawa Islam dari Johor ke Kerajaan Buton, menurut riwayat orang-orang tua Buton, adalah Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Patani. Ia bersama istrinya datang berkunjung ke Adonara (Nusa Tenggara Timur) dari Johor. Diceritakan bahwa ketika melakukan perjalanan kembali ke Johor, mereka singgah di Pulau Batu Atas, dekat Pulau Buton.
Di sini mereka bertemu dengan Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju negerinya, Pasai (Aceh). Imam Pasai menyarankan agar mereka singgah di Kerajaan Buton. Syekh Abdul Wahid memenuhi ajakan itu dan singgah di ker-ajaan itu. Dalam dakwahnya ia berhasil mengislamkan rajanya yang ke-6, Halu Oleo.
Setelah masuk Islam, raja ini dilantik menjadi sultan oleh Syekh Abdul Wahid pada 948 H/1538 M. Pelantikan ini merupakan awal pengislaman Kerajaan Buton. Selain bergelar sultan, ia juga dijuluki uli al-amr (penguasa) dan qa’im ad-din (penegak agama). Ketika meninggal ia digelari murhum, gelar yang dipakai di kerajaan Islam Ternate.
Namun menurut sumber Melayu, Syekh Abdul Wahid merantau dari Patani ke Buton pada 1564. Tidak lama sebelum kedatangannya, penduduk Buton telah menerima agama Islam. Kapitan William Dampier, ketika sampai di Pulau Buton dan mendarat di Callasusung (Kalensusu), salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Buton, menyatakan bahwa seluruh penduduknya adalah pengikut Muhammad SAW (Islam).
Mereka sangat patuh kepada sultan dan mereka berbahasa Melayu, bahasa yang dipakai di Malaka, Johor, dan Patani. Adapun teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Buton dari Ternate dikaitkan dengan adanya pengaruh kerajaan Islam Ternate, yaitu gelar murhum yang dipakai sultan pertama Kesultanan Buton, sama seperti gelar yang dipakai sultan pertama Kesultanan Ternate. Di samping itu, wilayah Buton selalu menjadi rebutan antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Makassar.
Ada kemungkinan, Islam telah diterima penduduk sebelum Kerajaan Buton menjadi kesultanan, bisa dari Johor dan bisa pula dari Ternate atau dari kedua daerah itu. Tidak diperoleh informasi sejarah tentang proses islamisasi baik sebelum maupun sesudah raja ke-6 menjadi muslim.
Namun, Kesultanan Buton telah berperan menyebarkan Islam di kepulauan itu, sehingga penduduknya menjadi mayoritas muslim. Bukti historis tentang keberadaan Kesultanan Buton di kepulauan itu masih dapat disaksikan sekarang.
Pertama berupa monumen, seperti benteng keraton yang mengelilingi pusat pemerintahan; istana sultan dengan segala kelengkapannya; dan dua buah masjid tua, satu di Walio, pusat kerajaan yang konon didirikan Syekh Abdul Wahid dan telah tiga kali mengalami pemugaran. Pemugaran terakhir dilakukan pada masa sultan ke-37, Laode Abdul Hamid (1927–1935).
Masjid yang satu lagi terletak di Desa Liatogo, di Pulau Wangi-Wangi, sebelah tenggara Pulau Buton yang didirikan pada masa sultan pertama. Selain itu terdapat sebuah batu yang dikenal dengan nama Batupoaro, yaitu batu tempat Syekh Abdul Wahid berkhalwat di akhir keberadaannya di Buton.
Melalui batu itu, masyarakat Buton sampai kini mengultuskan syekh tersebut. Mereka datang ke batu tersebut untuk berdoa agar mendapat berkah dan paras yang bagus seperti Syekh Abdul Wahid.
Kedua berupa manuskrip yang terdiri dari semboyan kesultanan yang berbunyi: “Biarkan harta hancur asalkan keselamatan diri, biarkan diri hancur asalkan keselamatan negeri, biarkan negeri hancur asalkan keselamatan agama.”; silsilah kesultanan; naskah tulisan para cendekiawan kesultanan baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa daerah Walio dengan aksara Arab, karena aksara Arab dijadikan sebagai aksara dalam bahasa Walio yang disebut buri wolio (tulisan wolio); dan konstitusi kesultanan yang disebut “Martabat Tujuh” yang ditulis dengan huruf Arab dalam bahasa Walio.
“Martabat Tujuh” sebagai konstitusi Kesultanan Buton antara lain menyebutkan tujuh tingkatan tentang proses wujud, yaitu: ahadiyyah (keadaan Zat yang esa), wahdah (keadaan sifat yang esa), wahidiyyah (keadaan asma yang meliputi hakikat realitas keesaan), alam arwah (keadaan ruh/ jiwa), alam misal (keadaan misal/kias), alam ajsam (keadaan jasad/jism), dan alam insan kamil (keadaan manusia secara sempurna/lengkap).
Dalam ajaran mistik, teori wujud ini sudah terkenal di Nusantara dalam beberapa abad proses islamisasi dan teori itu mirip teori “Martabat Tujuh” Muhammad bin Fadlullah al-Burhani (w. 1620) dari India, serta dianut kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. “Martabat Tujuh” sebagai konstitusi adalah pedoman Kesultanan Buton dalam memerintah yang dipengaruhi paham mistik wujudiyah.
Ketiga berupa adat dan tradisi, seperti upacara adat, tarian, dan tata cara berpakaian. Keempat berupa gelar yang dipakai di kesultanan tersebut.
Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif. “Mencari Jejak Kerajaan Islam Tertua di Indonesia,” Masuknya Islam di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1981.
Kartono, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1988.
Perlas, Christian. “Religion, Tradition, and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi,” Archipel, 124, 1968.
Tjandrasasmita, Uka, ed. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Zahary, A.M., et al., ed. Sejarah dan Adat fi Darul Butuni I. Jakarta: Dep. P dan K, 1977.
J Suyuti Pulungan