Bukhara adalah salah satu di antara beberapa daerah yang dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Ma Wara‘ an-Nahr. Yang dimaksud dengan sebutan tersebut adalah daerah di sekitar Sungai Jihun, Uzbekistan, Asia Tengah. Bukhara pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan pada masa Dinasti Samaniyah selama lebih dari 150 tahun.
Pada permulaan masa pemerintahan Dinasti Ghaznawiyah (977–1186) –yakni pemerintahan Mahmud (memerintah 998–1030) dan kemudian putranya, Mas‘udi (1031–1041)– Bukhara menjadi bagian dari daerah Khurasan. Keadaan ini tetap berlangsung pada masa pemerintahan sesudahnya, seperti Dinasti Seljuk (1038–1302), Jengiz Khan (w. 1227), dan Timur Lenk (w. 1405).
Selanjutnya pada masa pemerintahan Dinasti Syaibani, yakni pemerintahan Istirkhan yang berlangsung selama lebih kurang 3 abad, daerah Bukhara diperluas dengan menggabungkan daerah lain yang membentang antara Bad Hisyam dan Jihar Jawy.
Dengan demikian, wilayah Bukhara meliputi daerah Khatlan, Wajan, Takhristan, Zam, dan Amil. Bukhara di sebelah timur berbatasan dengan Fergana, di sebelah utara dengan Baksy, di sebelah selatan dengan Jaj, dan di sebelah barat dengan Sagd.
Buku geografi lama menganggap Bukhara sebagai kota yang paling besar di antara kota yang ada dalam kekuasaan umat Islam. Bukhara bukan saja terkenal dengan keindahannya, tetapi juga merupakan pusat perdagangan yang mempertemukan pedagang dari Cina dengan pedagang dari Asia Barat.
Di sana juga mulai berkembang usaha pembuatan kain sutra, tenunan kain dari kapas, perhiasan dari emas dan perak dengan berbagai bentuk. Di samping itu, karena terletak di sekitar Sungai Jihun, daerah ini juga terkenal dengan kesuburan tanahnya. Hasil utamatya adalah buah-buahan.
Pada akhir 53 H/672 M, Ziyad bin Abihi memerintahkan Miqdam Rabi‘ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukkan daerah itu sampai ke IranTimur. Tentara yang dipimpinnya berhasil membawa banyak harta rampasan perang.
Setelah Ziyad meninggal, Mu‘awiyah yang menjadi khalifah Bani Umayah ketika itu mengutus Ubaidullah bin Ziyad untuk memimpin pasukan menaklukkan Bukhara. Ubaidullah baru berhasil menguasai daerah itu setelah merebut daerah Bikind, lalu menjadikannya pusat pemerintahan dan perdagangan.
Pada 86 H/704 M, atas perintah panglima Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, Qutaibah bin Muslim berhasil menaklukkan daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun.
Bukhara Turkistan merupakan bagian dari wilayah Khurasan. Bukhara diperintah oleh seseorang yang berpangkat amir, demikian pula Samarkand. Akan tetapi, kedua penguasa daerah ini mempunyai kekuasaan terbatas dan tunduk kepada penguasa Khurasan.
Sejak itu, negeri yang berada di sekitar Sungai Jihun diperintah oleh para penguasa Arab yang dikirim oleh khalifah, baik pada masa pemerintahan Khilafah Bani Umayah, maupun Khilafah Bani Abbas. Pada masa itulah Islam masuk ke Bukhara setelah ditaklukkan Qutaibah bin Muslim atas perintah Khalifah Abdul Malik dari Khilafah Bani Umayah.
Setelah Dinasti Samaniyah berkuasa pada 261 H/872 M–389 H/998 M, daerah itu mulai menikmati kebebasannya. Hubungannya dengan pusat (pemerintahan di Baghdad) hanya dalam pemberian legitimasi (pengakuan) dan pembayaran upeti tahunan. Urusan pemerintahan dan pembangunan sepenuhnya dipegang Dinasti Samaniyah.
Pada masa pemerintahan Dinasti Samaniyah inilah muncul beberapa orang ilmuwan muslim yang berasal dari Bukhara, antara lain Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, Abdul Rahim bin Ahmad al-Bukhari, Abu Hafs al-Bukhari, dan Abu Abdullah Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah yang dikenal dengan al-Bukhari (Imam Bukhari, ahli hadis). Sejak itu Bukhara menjadi pusat peradaban dan perkembangan ilmu keislaman yang penting dan mengalami kemajuan yang pesat.
Dinasti selanjutnya adalah Dinasti Seljuk. Dinasti ini kemudian digantikan Dinasti Khawarizm, yang tetap mempertahankan status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan ilmu keislaman. Dinasti Khawarizm dipimpin oleh Sultan Alauddin Muhammad Khawarizm Syah. Akhir masa pemerintahannya merupakan akhir dari masa kejayaan Bukhara.
Pada 617 H/1220 M terjadi peperangan hebat antara Sultan Alauddin beserta pasukannya dan pasukan Mongol yang dipimpin Jengiz Khan. Jengiz Khan beserta pasukannya yang berjumlah 70.000 orang memasuki Bukhara.
Pasukan yang dipimpin Alauddin tidak mampu membendung gerak laju pasukan Mongol itu, dan mereka melarikan diri ke Samarkand. Bukhara jatuh ke tangan Jengiz Khan. Mereka membunuh penduduk kota serta melemparkan mimbar dan mushaf Al-Qur’an ke dalam parit. Mereka juga membakar sekolah, masjid, dan bangunan lainnya.
Bukhara menjadi rata dengan tanah, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Asir dengan kata-kata “ka an lam tagna bi al-amsi” (seolah-olah tidak pernah ada apa-apanya kemarin/sebelumnya). Samarkand dan kota lain juga mengalami nasib yang sama, yaitu perlakuan yang kejam dari pasukan Jengiz Khan.
Bahkan di bawah pimpinan Hulagu Khan, Baghdad, pusat pemerintahan, peradaban, dan lambang persatuan umat Islam, juga mengalami kehancuran total pada 1258. Sejak itu, Bukhara tidak pernah bangkit lagi sebagai pusat peradaban umat Islam, sekalipun mayoritas rakyatnya masih tetap menganut agama Islam.
Peninggalan bangunan yang terletak di Bukhara antara lain mausoleum pada masa Dinasti Samaniyah dan menara Masjid Kalyan pada masa Dinasti Timuriyah yang menguasai Asia Tengah pada abad ke-15.
Daftar Pustaka
al-Baghdadi, Syihab ad-Din Abu Abdullah Yaqut. Mu‘jam al-Buldan. Beirut: Dar Ihya at-Turas al-Arabi, t.t.
an-Narsyakhi, Abu Bakar Muhammad bin Ja‘far. Tarikh Bukhara. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Vamberi, Arminius. Tarikh al-Bukhara, terj. Ahmad Mahmud as-Sadati. Cairo: al-Mu’assasah al-Misriyah al-Ammah, t.t.
Zulkifli