Dalam terminologi ajaran Islam, bughat adalah sikap menentang atau tidak taat sekelompok muslimin kepada khalifah atau pemerintah karena terdapat perbedaan paham dan pandangan mengenai masalah yang menyangkut kenegaraan. Kelompok ini disebut ahlulbughat. Dalam pengertian modern ahlulbughat dapat disamakan dengan pemberontak dalam suatu negara yang berdaulat.
Secara etimologis, bugat merupakan bentuk jamak dari isim fa‘il, bagin; berasal dari kata baga–yabgi, dengan isim maœdar, bagyan. Bugat mengandung arti at-talab (tuntutan) atau at-ta‘addi (sewenang-wenang). Umpamanya di dalam Al-Qur’an surah al-Kahfi (18) ayat 64 yang berarti “itulah tempat yang kita cari” dan dalam surah al-A‘raf (7) ayat 33 yang berarti “sewenang-wenang atau melampaui batas”.
Adapun kamus Mu‘jam al-Wasith lebih memperinci lagi makna kata baga, yabgi, bagyan dengan enam pengertian:
(1) melampaui batas dan berbuat aniaya; (2) menguasai, memerintah, berlaku sewenang-wenang; (3) bertindak atau berusaha jahat untuk keluar dari aturan; (4) mencari, menuntut sesuatu; (5) membengkak atau membusuk; dan (6) berzina atau berlaku cabul.
Ibnu Farhun al-Maliki (w. 799 H/1397 M), salah seorang ahli fikih dalam Mazhab Maliki mendefinisikan bughat sebagai “sikap tidak mau tunduk terhadap penguasa atau pemimpin secara demonstratif, sementara pemimpin tersebut tidak menyuruh mereka berbuat maksiat”. Ulama
Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan: “sekelompok muslim yang memiliki kekuatan yang bersikap menentang penguasa yang resmi dalam beberapa masalah, karena tidak adanya kesepakatan mereka terhadap masalah yang dituntut. Mereka secara demonstratif melakukan upaya penentangan dengan menggunakan kekuatan senjata, serta memberlakukan peraturan mereka sendiri”.
Contohnya adalah golongan Khawarij yang keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan arbitrase yang dilakukan Ali dengan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan ketika itu. Kelompok yang menentang penguasa yang sah ini tidak mau memenuhi kewajiban mereka sebagai warga negara, seperti membayar pajak dan zakat.
Kalangan Mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai “kelompok yang memisahkan diri dari pemimpin yang sah karena sesuatu alasan, misalnya pemimpin tersebut bukan orang yang adil”.
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa penentangan sebagai bughat harus didasarkan pada sebuah takwil, yaitu penjelasan atau alasan yang dinilai tidak memiliki kesalahan yang pasti. Dengan kata lain, penjelasan itu bisa jadi mengandung kebenaran.
Alasan yang tidak memiliki nilai kebenaran sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai takwil mu‘tabar (diperhitungkan) bagi alasan untuk suatu tindakan bughat. Adapun yang menjadi standar penilaian adalah agama, bukan perasaan, akal, maupun hawa nafsu.
Para ulama sepakat bahwa penentangan atau pembangkangan yang dapat dikategorikan sebagai bughat adalah penentangan yang ditujukan kepada imam/pemimpin atau pemerintah sah. Namun demikian, ulama Syafi‘iyah mempersyaratkan bahwa pemimpin atau pemerintah sah itu bertindak adil. Tetapi bagi ulama Hanabilah, persyaratan adil bagi pemimpin atau pemerintah yang ditentang tidak menjadi persyaratan mutlak.
Perbedaan sudut pandang ini melahirkan penafsiran yang berbeda terhadap bughat. Bagi Syafi‘iyah, orang yang mengadakan perlawanan atau penentangan terhadap pemimpin/ pemerintah yang zalim atau tidak adil, tidak dapat dikategorikan sebagai bughat.
Sebaliknya bagi ulama Hanbaliyah, setiap penentangan yang ditujukan terhadap pemimpin/ pemerintah yang sah, terlepas dari apakah ia bersikap adil atau tidak, termasuk ke dalam tindakan bughat. Bagi mereka, berperang melawan imam yang sah adalah haram, walaupun ia tidak berlaku adil.
Pendirian ulama Syafi‘iyah yang mengkaitkan adanya sifat adil pada diri pemimpin/pemerintah yang ditentang juga didukung oleh ulama dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah. Imam Badariuddin al-Aini al-Hanafi, komentator Shahih Bukhari, mendefinisikan bughat sebagai orang yang menentang imam yang haq (sah) dengan jalan yang tidak haqq (ilegal).
Dengan kata lain, jika kaum muslim sepakat atas kepemimpinan seorang imam dan merasa aman dengannya, maka sekelompok muslim lain keluar (untuk melakukan perlawanan). Namun, jika mereka melakukan kezaliman karena kezaliman imam atas mereka, mereka bukan termasuk ahlulbughat. Pemimpin itu wajib untuk meninggalkan kezalimannya, kemudian menasihati, menyadarkan, dan mengajak mereka untuk berdamai.
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Fakhruddin ar-Razi (ahli tafsir; 1149–1209) dalam tafsirnya mengatakan bahwa jika kezaliman itu dilakukan oleh segolongan tertentu, maka mereka wajib diperangi. Namun, jika yang melakukan kezaliman itu adalah seorang pemimpin, maka kaum muslim wajib untuk memberi peringatan pemimpin itu dalam bentuk nasihat.
Para ulama sepakat dalam mewajibkan para pemimpin/pemerintah suatu wilayah/negara untuk memerangi ahlulbughat. Namun demikian, ada beberapa persyaratan yang harus ada pada ahlulbughat itu sehingga boleh diperangi, antara lain:
(1) memiliki kekuatan, artinya mereka dapat memberikan perlawanan;
(2) benar-benar tidak lagi mengakui kepemimpinan khalifah atau kepala negara/pemerintah dalam berbagai langkah atau kebijakan politiknya; dan
(3) melawan khalifah atau kepala negara/pemerintah karena mereka berbeda paham dalam hal kebijakan politik/pemerintah sehingga menyatakan diri keluar atau memisahkan diri dari pemerintah.
Adapun cara memerangi ahlulbughat dimulai dengan tindakan yang paling ringan, sebagaimana halnya pembelaan diri, yaitu seruan untuk kembali sadar dan taat kepada pemimpin/pemerintah atau kembali ke jalan Allah SWT.
Jika imbauan itu tidak diperhatikan, maka mereka dapat diperangi secara fisik untuk melemahkan kekuatan mereka, untuk kemudian diajak kembali berdamai dan bersedia menghentikan tindakan penentangan mereka.
Hukum ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah al-æujurÎt (49) ayat 9, yang berarti:
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu di antara kedua golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Kemudian dalam sebuah hadis dari Abi Sa‘id al-Khudri yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda,
“Akan ada sekelompok orang di antara kamu yang melakukan pemberontakan disebabkan (kesalahan) pengertian mereka (dalam memahami) Al-Qur’an, sebagaimana juga ada pemberontak ketika Al-Qur’an itu diturunkan.”
Ahlulbughat yang tertawan tidak boleh dibunuh. Mereka hanya boleh diperangi. Kebanyakan ulama, seperti Muhammad Ali as-Sabuni (740–828; ahli tafsir kontemporer dari Mekah) dan Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari (sejarawan dan ahli tafsir dari Iran; 839–923) berpendapat bahwa jika mereka sudah kalah dan bersedia untuk kembali menaati pemimpin/pemerintah, pihak yang terakhir ini harus bersikap adil dalam menyelesaikan persoalan yang tersisa.
Menurut pendapat jumhur ulama, harta kekayaan mereka tidak boleh dijadikan sebagai harta rampasan. Setelah mereka kalah dan mau kembali berdamai, maka harta mereka itu dikembalikan lagi kepada mereka. Hal itu dilakukan karena mereka bukanlah kafir, tetapi kaum muslim yang memberontak atau orang fasik yang tidak mau taat kepada pemerintah.
Jadi, memerangi ahlulbughat bertujuan untuk mengembalikan mereka agar bergabung kembali dengan pemerintahan yang sah. Namun demikian, Abu Yusuf (731–798; ulama Mazhab Hanafi) berpendapat bahwa harta ahlulbughat dapat dijadikan harta rampasan. Pendapat ini kelihatannya menjadi pendapat minoritas di kalangan ulama Islam.
Sebagai contoh, terjadinya bughat di wilayah Islam merupakan pembangkangan kaum yang murtad dan enggan membayar zakat pada masa Abu Bakar as-Siddiq (573–634; khalifah pertama yang memerintah selama 2 tahun (632–634), dan penentangan Mu‘awiyah (khalifah pertama Umayah, 661–680) kepada Ali bin Abi Thalib (603–661; khalifah keempat) karena tidak puas dengan kebijakan dalam penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman bin Affan (576–656; khalifah ketiga, 644–656).
Bughat dalam hukum pidana Islam termasuk salah satu tindak pidana hudud, yang hukumannya baik jenis, jumlah maupun kualitasnya telah ditentukan Al-Qur’an dan/atau sunah Rasulullah SAW. Dengan demikian bentuk tindak pidana ini dalam Islam termasuk tindak pidana yang berat.
Ada perbedaan mendasar dalam cara dan sikap me merangi ahlulbughat ini dengan sikap dan cara memerangi orang-orang musyrik di zaman Rasulullah SAW. Jika harta orang musyrik dapat dirampas, keluarganya dapat dijadikan hamba sahaya, dan ladang serta perkebunan mereka boleh dibakar dan dimusnahkan, maka terhadap ahlulbughat tidak demikian.
Alasannya adalah ahlulbughat masih tergolong dalam kelompok orang Islam, tetapi mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat umum yang berlaku di pemerintahan Islam. Dengan demikian, pemberontakan mereka bukan karena akidah yang berbeda, tetapi karena perbedaan penafsiran mereka terhadap kandungan Al-Qur’an atau disebabkan hadis yang mereka anut berbeda dengan hadis yang dianut pihak penguasa dan umat Islam lainnya.
Bughat pernah juga menjadi wacana dan perdebatan yang sengit di Indonesia pada masa Abdurrahman Wahid (presiden ke-4 RI, 1999–2001), ketika lawan politiknya semakin kritis terhadapnya dan bahkan hendak menggulingkannya. Abdurrahman Wahid bertahan untuk memerintah dan menegaskan bahwa orang yang ingin menggulingkannya adalah ahlulbughat yang boleh dilawan dengan kekerasan karena mereka ingin menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pandangan Abdurrahman Wahid ini didukung oleh kalangan kiai Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, para pendukung Abdurrahman yang fanatik membentuk Pasukan Berani Mati (PBM) untuk melawan para penentang presiden. Tetapi, konsep bughat ditolak para penentangnya sehingga Presiden Abdurrahman Wahid tetap dijatuhkan dalam Sidang Istimewa MPR RI untuk digantikan Megawati Soekarnoputri.
Daftar Pustaka
Amir, Abdul ‘Aziz. at-Ta’jir fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Iskandariyah: Dar al-I‘tisam, 1978.
Anis, Ibrahim, dkk. Mu‘jam al-Wasith. Cairo: Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyah, t.t.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1972.
Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Hudud fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
al-Hanafi, Ibnu al-Himam. Syarh Fath al-Qadir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. at-Turuq al-hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah.Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.
Nawawi, Imam. Raudat at-Talibin. Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
ar-Razi, Fakhruddin. Tafsir Fakhr ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
at-Tabari. Tafsir at-Tabari. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr, 1989.
Amsal Bakhtiar dan Nasrun Haroen