Bid’ah

(Ar.: bid‘ah)

Secara kebahasaan, bid’ah berarti “segala yang diada-adakan, yang belum pernah ada contohnya”. Para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda, tetapi pada intinya semua mengacu pada pengertian sama, yaitu hal baru yang tidak ada dalam ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW, baik akidah maupun syariat, yang aturannya dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunah.

Dilihat dari usul fikih, bid’ah dapat dibedakan atas dua jenis. Pertama, bid’ah meliputi segala sesuatu yang diada-adakan dalam soal ibadah saja. Bid’ah dalam pengertian ini adalah urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syariat sendiri, dan mengerjakannya secara berlebihan dalam soal ibadah kepada Allah SWT.

Kedua, bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun dengan urusan adat. Perbuatan bid’ah seakan-akan berkaitan dengan urusan agama, yang dipandang menyamai syariat sendiri, sehingga mengerjakannya sama dengan mengerjakan agama itu sendiri.

Dari segi fikih, bid’ah juga dapat dibedakan atas dua jenis. Pertama, bid’ah adalah perbuatan tercela yang diada-adakan serta bertentangan dengan Al-Qur’an, sunah Rasulullah SAW, atau ijmak. Inilah bid’ah yang sama sekali tidak diizinkan agama, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik secara tegas maupun isyarat saja.

Urusan keduniaan tidak termasuk ke dalam pengertian ini. Kedua, bid’ah meliputi segala yang diada-adakan sesudah Nabi SAW, baik berupa kebaikan maupun kejahatan, baik mengenai ibadah maupun adat, yaitu yang berkaitan dengan urusan keduniaan.

Dilihat secara umum, sebenarnya bid’ah ini ada dua macam, yaitu bid‘ah hasanah (yang baik), dan bid‘ah qabihah atau sayyi’ah (yang jelek). Bid‘ah hasanah dibagi lagi menjadi bid‘ah wajibah (yang wajib), bid‘ah mandubah (yang sunah atau yang disukai Allah SWT), dan bid‘ah mubahah (yang dibolehkan).

Adapun bid‘ah qabihah dibagi menjadi bid‘ah makruhah (yang makruh atau yang tidak disenangi Allah SWT) dan bid‘ah muharramah (yang diharamkan).

Bid‘ah wajibah adalah pekerjaan yang masuk ke dalam kaidah wajib, dan masuk ke dalam kehendak dalil agama, misalnya mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf (lembaran naskah Al-Qur’an yang bertulis tangan), membukukan ilmu, mempelajarinya dengan jalan memahami Al-Qur’an, dan menetapkan kaidah yang digunakan sebagai alat untuk menggali hukum dari dalilnya. Hal ini dianggap bid’ah karena tidak ada dalam praktek pada masa Rasulullah SAW.

Bid‘ah mandubah adalah pekerjaan yang diwujudkan oleh kaidah nadb (sunat) dan dalilnya, misalnya mengerjakan tarawih berjemaah tiap malam bulan puasa dengan dipimpin oleh seorang imam tertentu.

Perbuatan ini tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, dan permulaan masa Umar RA. Setelah melihat jemaah masjid salat sendiri-sendiri, atau berkelompok, Umar RA menyuruh seseorang untuk mengimami salat tarawih tersebut.

Bid‘ah mubahah adalah pekerjaan yang diterima dalil, misalnya menggunakan pengeras suara untuk azan. Bid‘ah makruhah adalah pekerjaan yang masuk ke dalam kaidah dan dalil makruh, misalnya menentukan hari utama dengan suatu macam ibadah, menambah-nambah amalan sunat yang telah ada batasnya.

Bid‘ah muharramah adalah pekerjaan yang masuk ke dalam kaidah dan dalil haram, misalnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum agama, seperti mengangkat orang yang tidak ahli untuk mengendalikan urusan penting atas dasar keturunan dengan mengabaikan keahlian.

Berkaitan dengan bid’ah ini, Rasulullah SAW pernah memperingatkan: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (urusan agama) tanpa ada dasar dariku (Nabi), maka amalannya itu sia-sia (ditolak)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Muslim ditegaskan bahwa setiap bid’ah itu dianggap sesat, dan nerakalah yang pantas bagi setiap pelaku kesesatan itu. Menurut Imam Nawawi, yang dimaksud dengan kata-kata “setiap bid’ah itu sesat” adalah pekerjaan yang tergolong ke dalam bid‘ah sayyi’ah, yaitu bid‘ah muharramah dan bid‘ah makruhah.

Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan tuntutan agama Islam disebut al-‘amal as-sunni. Adapun perbuatan yang pelaksanaannya tidak menurut tuntutan agama disebut al-‘amal al-bid‘i.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.

ad-Duraini, Fath. al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib. Damascus: Jami‘ah ad-Damsyiq, 1980.

–––––––. al-Manahij al-Ushuliyyah fi al-Ijtihad bi ar-Ra’y fi at-Tasyri‘ al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975.

Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

–––––––. Mahadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nashsha Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1973.

asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-I‘tisham. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Majmu‘ah at-Tauhid. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.

az‑Zuhaili, Wahbah. Ushul al‑Fiqh al‑Islami. Damascus: al‑Jadidah, 1976.

–––––––.al‑Wasith fi Ushul al‑Fiqh al‑Islami. Beirut: Maktabah Dar al‑Fikr, 1978.

Zulfikri