Tindakan bedah plastik secara khusus berkaitan dengan koreksi (perbaikan) cacat tubuh, restorasi fungsi tubuh yang rusak, dan perbaikan penampilan kecantikan fisik. Biasanya bedah plastik berkaitan dengan permukaan kulit, seperti kulit wajah. Teknik modern bedah plastik berawal dari masa pasca Perang Dunia I untuk menangani tentara yang terluka.
Masalah bedah plastik belum dikenal dalam fikih klasik. Karena itu, pembahasan hukumnya tidak dijumpai dalam kitab fikih mazhab (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali). Pembahasan bedah plastik dalam kajian fikih modern merupakan ijtihad ulama fikih. Dalam fikih modern, bedah plastik disebut al-jarahah at-tajmiliyyah.
Bagi ulama fikih modern, pelaksanaan bedah plastik harus dilihat berdasarkan tujuan bedah tersebut. Dalam buku al-A‘da’ al-Adamiyyah min Manzur al-Islam (Anggota Tubuh Manusia dalam Pandangan Islam), Abdus Salam Abdur Rahim as-Sakari (ahli fikih dari Mesir) membagi bedah plastik menjadi dua, yaitu bedah plastik yang bertujuan pengobatan dan mempercantik diri.
Berdasarkan sifatnya, bedah plastik yang bertujuan pengobatan dapat dibagi dua:
(1) bersifat dharuri (vital atau penting), misalnya operasi penyumbatan atau kelainan pada alat kelamin; dan
(2) bersifat Hajji (dibutuhkan), seperti perbaikan bibir sumbing dan gigi yang menonjol keluar; kedua sifat bedah plastik ini diperbolehkan secara hukum.
Jika seseorang mengalami penyumbatan air seni, secara hukum orang tersebut diperkenankan melakukan bedah plastik karena termasuk dalam sifat dharuri. Penyumbatan tersebut dapat digolongkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan.
Di samping itu, seseorang yang mengidap penyakit ini akan sulit melaksanakan ibadah dengan tenang karena pakaian dan badannya sering bernajis. Penyumbatan air seni juga dapat menyebabkan munculnya penyakit lain bagi orang tersebut.
Bedah plastik yang bertujuan memperbaiki cacat atau kerusakan yang sifatnya Hajji (tidak sampai pada tingkat darurat), seperti memperbaiki bibir sumbing atau kulit yang rusak karena terbakar, secara hukum juga diperkenankan. Karena, cacat tubuh yang disandang seseorang dapat menjadi penghalang dalam kehidupan sosialnya, apalagi jika penyandang cacat tersebut adalah pejabat atau pemuka masyarakat.
Menurut Abdus Salam, cacat yang disandang seorang pejabat atau pemuka masyarakat dapat membuatnya tidak percaya diri sehingga tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemuka masyarakat dapat terabaikan.
Dalam hal ini kaidah fikih mengatakan: “kepentingan orang banyak lebih didahulukan dari kepentingan pribadi”. Untuk mengatasi masalah tersebut, ia diperbolehkan menghilangkan cacatnya dengan melakukan operasi plastik. Menurut Abdus Salam, cacat seperti ini termasuk penyakit yang harus diobati. Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi SAW:
“Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan suatu penyakit kecuali Ia adakan juga obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit tua” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Karena itu, menurut Abdus Salam bedah plastik yang bertujuan sebagai pengobatan atau memperbaiki cacat (kerusakan) pada anggota tubuh diperkenankan dalam syariat Islam.
Menurut ahli fikih modern dari Universitas Damascus, Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Fauzi Faydullah, dasar hukum bedah plastik dengan tujuan seperti di atas juga terdapat dalam hadis Nabi SAW yang lain:
“Seorang Badui bertanya kepada Rasulullah, ‘Mestikah kami berobat?’ Rasulullah menjawab, ‘Benar, wahai hamba Allah berobatlah kamu, karena Allah tidak mengadakan suatu penyakit kecuali ada penyembuhannya’” (HR. at-Tirmizi dari Usamah bin Syuraik).
Menurut Abdus Salam, melakukan operasi plastik dengan tujuan tersebut di atas harus memenuhi dua syarat.
(1) Kulit, tulang, daging, maupun anggota tubuh lainnya yang diambil sebagai bahan untuk menambal atau menutupi cacat orang yang dioperasi harus berasal dari tubuhnya sendiri atau diambil dari orang yang baru wafat.
Menurutnya, diperkenankannya mengambil kulit, tulang atau daging orang yang baru wafat merupakan hasil analogi pendapat ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali yang membolehkan memakan daging mayat dalam keadaan darurat sekadar menghindarkan diri dari kematian.
Apabila dalam bedah plastik tersebut digunakan kulit, tulang, dan daging orang lain yang masih hidup, tindakan tersebut tidak dibenarkan syariat Islam. Dalam hal ini kaidah fikih mengatakan “menghindari dharar dari seseorang tidak boleh menimbulkan dharar pada orang lain”.
Artinya, jika kulit, tulang, atau daging orang lain yang masih hidup diambil untuk bedah plastik, berarti memberi mudarat kepada orang lain. Menurut Fathi ad-Duraini (guru besar fikih Universitas Damascus), hal seperti ini tidak dibolehkan dalam syariat Islam.
(2) Dokter yang melakukan pembedahan harus merasa yakin bahwa tujuan dilakukannya bedah plastik terhadap seseorang dapat tercapai sehingga memberikan manfaat bagi orang tersebut.
Menurut Wahbah az-Zuhaili dan Hasanain Muhammad Makhluf (ahli fikih Mesir) syarat ini sangat penting untuk dipenuhi. Khususnya jika kulit, tulang, atau daging yang dipergunakan untuk bedah plastik itu adalah milik orang lain (mayat).
Hal ini untuk menghindari adanya kemungkinan bahwa bagian tubuh yang diambil tersebut mengidap suatu penyakit yang sulit dilacak, seperti virus HIV penyebab penyakit AIDS. Jika terjadi pemindahan penyakit, berarti bedah plastik yang dilakukan tidak memberikan manfaat bagi orang yang menjalaninya, bahkan ia dapat menderita sepanjang hidup.
Contoh kasus terjadi pada dua penduduk kota Georgia, California, Amerika Serikat, seperti diberitakan surat kabar al-Ahram 30 Mei 1987. Kedua orang tersebut terkena penyakit AIDS setelah menjalani bedah plastik.
Pusat Pengawasan Penyakit AIDS di Amerika Serikat menyatakan bahwa penyakit AIDS yang dideritanya berasal dari bedah plastik yang dijalani dengan menggunakan anggota tubuh seseorang yang wafat karena kecelakaan dan tidak diketahui sebagai pengidap penyakit AIDS.
Oleh sebab itu, menurut Wahbah az-Zuhaili, cara terbaik melakukan bedah plastik untuk pengobatan adalah dengan mengambil kulit, tulang, atau daging pasien sendiri, agar dokter yang melakukannya merasa yakin bahwa bedah itu akan memberi manfaat dan tidak menimbulkan penyakit lain pada diri pasien.
Apabila bedah plastik dilakukan dengan tujuan mempercantik diri, bedah plastik tersebut tidak dibenarkan syariat Islam. Alasan keharaman bedah plastik dengan tujuan tersebut menurut Abdus Salam di antaranya terdapat pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 119 yang berarti:
“Dan saya (setan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan saya akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka memotong (telinga-telinga ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya, dan saya akan suruh mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
Menurut Abdus Salam, surah tersebut menunjukkan bahwa “mengubah ciptaan Allah SWT” merupakan perbuatan setan. Umat Islam dilarang mengikuti perbuatan setan karena tidak sesuai dengan syariat Islam.
Menurut al-Qurtubi (225 H/839 M–310 H/923 M), ahli tafsir, yang termasuk melakukan perubahan terhadap fitrah Allah SWT dan bersifat mengubah bentuk di antaranya membuat tato, memotong (pangur) gigi, mengebiri manusia, homoseksual, serta berpakaian dan bertingkah laku seperti bukan jenisnya (wanita berpakaian dan berlagak seperti pria atau sebaliknya).
Pendapat senada juga dikemukakan Hasanain dalam tafsirnya dzafwah al-Bayan. Menurutnya, yang termasuk dalam kategori “mengubah ciptaan Allah SWT” adalah bedah plastik dengan tujuan mempercantik diri, seperti menghilangkan tanda ketuaan di wajah dan badan dengan mengencangkan kulit dan payudara, melangsingkan pinggang, dan memperbesar pinggul, termasuk bedah tulang yang menunjukkan tanda-tanda ketuaan.
Menurutnya, hal seperti ini tidak dibenarkan syariat Islam seperti yang dinyatakan Allah SWT dalam surah ar-Rum (30) ayat 30 yang berarti: “…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”
Alasan lain yang dikemukakan ahli fikih dalam mengharamkan bedah plastik untuk mempercantik diri adalah hadis Nabi SAW:
“Allah mengutuk para wanita tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan bulu muka (alis), yang dihilangkan bulu mukanya, dan para wanita yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu dimaksudkan untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Menurut Abdus Salam, hadis ini secara jelas mengharamkan upaya mempercantik diri dengan mengubah ciptaan Allah SWT.
Larangan semacam ini juga terdapat dalam hadis Rasulullah SAW yang lain. Misalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seorang wanita yang mengalami kerontokan rambut setelah menikah, sehingga suaminya menyuruh agar istrinya memakai rambut palsu.
Ketika itu Rasulullah SAW menjawab, “Allah mengutuk orang yang memakai rambut palsu dan yang menyediakan rambut palsu” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain Nabi SAW menyatakan, “…penyakit yang tidak bisa diobati adalah penyakit tua” (HR. Abu Dawud). Karena nya, menurut Abdus Salam, upaya menghindari ketuaan merupakan upaya yang mengandung unsur penipuan.
Hal ini dilarang oleh syariat Islam. Dalam hadis di atas, secara tegas Rasulullah SAW memakai kata “la‘ana” yang berarti mengutuk. Suatu pekerjaan yang terkutuk merupakan pekerjaan yang tidak dapat dibenarkan syarak.
Daftar Pustaka
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
ad-Duraini, Fath. at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-Haqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978.
Faydullah, Fauzi. al-Fiqh al-Islami. Damascus: Dar al-Kitab, 1978.
Makhluf, Hasanain Muhammad. Safwah al-Bayan. Kuwait: Dar al-Jail, 1987.
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Kitab al-Kafi fi Fiqh Ahl al-Madinah al-Maliki. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
–––––––. Tafsir al-Qurtubi al-Jami‘ li A…kam Al-Qur’an. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
as-Sakari, Abdussalam Abdurrahim. al-A‘dha’ al-Adamiyyah min Manshur al-Islam. Cairo: Dar al-Misriyah li at-Tiba‘ah wa at-Tauzi‘, 1409 H/1989 M.
asy-Syazili, Hasan Ali. æukm Naql A‘dha’ al-Insan fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar at-Tahrir li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1989.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.5
Nasrun Haroen