Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal

Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal merupakan tempat menyimpan naskah Al-Qur’an, manuskrip Al-Qur’an, dan benda seni bernapaskan agama lainnya yang bernilai sejarah dari seluruh penjuru Nusantara.

Gagasan awal pembangunan kedua museum ini muncul ketika Presiden Soeharto menerima Mushaf Bondowoso pada awal 1996. Ketika itu muncul pertanyaan, di mana mushaf berukuran raksasa tersebut akan diletakkan. Secara spontan, menteri Agama RI pada saat itu, Tarmizi Taher, menjawab bahwa mushaf tersebut akan diletakkan di Bayt Al-Qur’an.

Gagasan pembangunan Bayt Al-Qur’an disosialisasikan dan mendapat dukungan dari berbagai pihak, antara lain dari Ibu Tien Soeharto yang mewakafkan tanah seluas 2 ha di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ibu Negara juga mengharapkan agar Bayt Al-Qur’an dibangun pada pintu masuk TMII.

Kedua museum ini dibangun bersebelahan dan keduanya dihubungkan pada lantai dua. Bayt Al-Qur’an diresmikan Presiden Soeharto pada 20 April 1997, bertepatan dengan hari ulang tahun TMII ke-22. Di atas kedua gedung tersebut tertulis doa, Rabana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah wa qina ‘asdzb an-nar (Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan jagalah kami dari azab neraka).

Penulisan doa di atas adalah gagasan Ibu Tien Soeharto, dengan harapan agar setiap jemaah haji ketika take off dari Bandar Udara Halim Perdana Kusuma dapat membacanya dari dalam pesawat.

Meskipun merupakan bangunan kedua setelah Bayt Al-Qur’an di Bahrein, Bayt Al-Qur’an di Indonesia merupakan yang terbesar dan termegah di dunia. Luas gedung berlantai empat ini mencapai 2.402 m2. Berbeda dengan isi Bayt Al-Qur’an di Bahrein yang berisi naskah Al-Qur’an dari seluruh dunia, Bayt Al-Qur’an di TMII ini mengumpulkan naskah Al-Qur’an dan naskah Islam dari Nusantara khususnya dan dari Asia Tenggara umumnya.

Bayt Al-Qur’an yang berarti “Rumah Al-Qur’an” berisi naskah Al-Qur’an dan naskah (manuskrip) Islam lainnya yang bernilai sejarah dari Nusantara. Di antara Al-Qur’an yang tersimpan di Bayt Al-Qur’an adalah Mushaf Istiqlal. Mushaf berukuran raksasa dan terdiri dari 970 halaman ini merupakan kado Ulang Tahun Emas Kemerdekaan RI yang ke-50.

Yang unik dari Mushaf Istiqlal ini adalah ilustrasi yang menghiasi setiap halaman pinggir yang mencerminkan keunikan 45 daerah budaya Nusantara dari Aceh sampai Papua (Irian Jaya). Hiasan ini dikerjakan oleh sebuah tim dari Bandung yang diketuai Prof. Abdul Djalil Pirous, perancang Festival Istiqlal.

Selain Mushaf Istiqlal, tersimpan pula mushaf lain, seperti Mushaf Departemen Agama (standar), Mushaf Pesantren Wonosobo (Jawa Tengah) yang berukuran 2 x 3 m, dan Mushaf Sundawi (Jawa Barat). Tersimpan pula beberapa naskah karya ulama terkemuka di Nusantara, seperti duplikat kitab Sabilul Muhtadin, karya Muhammad Arsyad al-Banjari.

Kitab yang ditulis tangan dengan seni ukiran ini berasal dari abad ke-17. Selain kitab Sabilul Muhtadin, terdapat pula karyanya yang lain, yaitu kitab Luktatul Ajlan, kitab falaq, kitab nikah, qaul al-mukhtasar, dan fatwa Sulaiman Kurdi. Karya lain yang sempat tersimpan di Bayt Al-Qur’an adalah lima naskah peninggalan purbakala Kesultanan Bima: Al-Qur’an, naskah ilmu fikih, kaligrafi, foto naskah surat emas kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia, dan foto naskah asas pemerintahan kesultanan dari abad ke-18.

Benda tersebut dihibahkan ahli waris Kesultanan Bima, Hj Siti Maryam Salahuddin, S.H., putri ke-7 Muhammad Salahuddin, sultan terakhir Kesultanan Bima (1915–1951). Naskah Al-Qur’an yang terakhir ini berasal dari abad ke-18, yang ditulis seorang imam istana Syekh Suhur pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah (1721–1748).

Sementara itu, berbeda dengan isi Bayt Al-Qur’an, Museum Istiqlal berisi benda seni yang mempunyai nilai sejarah keislaman, seperti tempat wudu kuno dari Cirebon, duplikat bedug dari Purworejo seberat 5 ton, dan maket Masjid Demak. Beberapa penggagasnya berharap bahwa Bayt Al-Qur’an ini tidak hanya berfungsi menjadi gudang penyimpanan Al-Qur’an dan naskah lainnya, tetapi juga menjadi pusat penelitian dan pengkajian Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

“Berita Foto Mushaf al-Asy‘ariyah,” Kompas, 21 April 1997.

“Kesatuan Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal,” Republika, 20 April 1997.

Yustiono, ed., et al. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1993.

Din Wahid