Sayid

(Ar.: as-sayyid)

Dalam bahasa Arab, as-sayyid berarti “tuan” atau “junjungan”. Dalam masyarakat Arab dikenal golongan sayid, yang mengaku sebagai keturunan Nabi SAW melalui putrinya, Fatimah az-Zahra. Sayid adalah keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi SAW. Laki-laki disebut sayid dan perempuan sayidah. Keturunan dari cucu Nabi SAW lainnya (Hasan bin Ali bin Abi Thalib) disebut syarif (laki-laki) dan syarifah (perempuan), berarti “yang mulia”.

Kata “sayid” dan “syarif” atau “sayidah” dan “syarifah” digunakan hanya sebagai atribut atau keterangan, dan bukan sebagai gelar. Gelar bagi mereka adalah habib (kekasih) untuk anak laki-laki dan habibah untuk anak perempuan. Mereka terbagi ke dalam delapan puluh keluarga (kabilah), dan setiap keluarga mempunyai nama, antara lain al-Aidrus, al-Haddad, Bafakih, al-Jufri, al-Qadri, al-Habsyi, asy-Syatiri, Bilfaqih, dan al-Attas.

Nama keluarga ini biasanya terdapat di akhir nama mereka yang menunjukkan golongan sayid, umpamanya Muhammad bin Ahmad al-Haddad. Mereka umumnya tinggal di Hadramaut, yaitu daerah bagian selatan Semenanjung Arabia, termasuk wilayah Yaman.

Golongan sayid gemar merantau dan pada umumnya menetap di berbagai negeri Islam, antara lain di Indonesia, dan banyak di antaranya yang telah menjadi warga negara Indonesia.

Di antara keluarga itu banyak yang mempunyai pimpinan secara turun-temurun yang bergelar munsib (derajat, pangkat). Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya.

Semua munsib diakui sebagai pemimpin agama oleh suku yang tinggal di sekitar kediaman mereka. Di samping itu, mereka juga dianggap sebagai penguasa daerah tempat tinggal mereka. Mereka tidak mempunyai angkatan bersenjata sehingga para munsib tersebut tidak mempunyai kekuatan perlawanan jika ada yang menolak mematuhi perintah mereka.

Golongan sayid pada umumnya memanfaatkan pengaruh mereka pada penduduk lain berdasarkan rasa hormat karena mereka mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Demikian pula kekuasaan para munsib atas anggota keluarganya atau atas suku yang menganggap mereka pemimpin agama hanya bersifat moral.

Namun pengaruh golongan sayid merupakan penahan ampuh tekanan para penguasa terhadap golongan menengah, dan berkat pengaruh mereka pulalah Hadramaut pada Abad Pertengahan masih memiliki pemerintahan yang merdeka. Dengan demikian para sayid adalah golongan yang paling berkepentingan untuk mempertahankan kekuatan hukum Islam karena hukum dan agama Islam merupakan kesatuan.

Bagi kaum sayid ini, hukum Islam yang melemah akan mengakibatkan hilangnya penghormatan rakyat yang percaya bahwa mereka adalah keturunan putri Nabi Muhammad SAW.

Nenek moyang golongan sayid di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa (w. 345 H/956 M) yang dijuluki al-Muhajir (yang pindah). Silsilah Sayid Ahmad adalah sebagai berikut: Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Najib bin Ali al-Uraidi bin Ja‘far as-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin bin Husain bin Ali dan Fatimah binti Muhammad SAW.

Sayid dari Hadramaut ini mengklaim bahwa kebangsawanan mereka lebih nyata daripada kebangsawanan keturunan putri Nabi SAW yang lain, bahkan daripada garis keturunan golongan syarif dari Mekah. Mereka di Hadramaut dapat dikatakan merupakan perwakilan agama dan hukum. Mereka mendominasi pendapat umum mengenai hal itu dan mereka sangat dihormati.

Seorang sayid yang mendatangi suatu tempat berhak atas tempat terhormat. Karena itu perkawinan anak perempuan mereka dengan seorang laki-laki bukan sayid terlarang, meskipun hukum Islam sendiri tidak melarangnya. Adat istiadat di Hadramaut menetapkan larangan perkawinan seperti itu. Kepala suku yang berkuasa pun tidak mungkin beristrikan putri sayid.

Ada sejumlah keluarga sayid yang dianggap suci setara dengan wali, sedangkan yang lain dianggap termasuk golongan orang awas (ahl al-kasyf), yaitu orang yang mempunyai kemampuan menebak pikiran orang lain dan meramal.

Para sayid dan keluarganya pada umumnya taat beribadah, terpelajar, dan melahirkan sejumlah cendekiawan yang membedakan mereka dari penduduk lain. Namun mereka sangat konservatif, menentang setiap pembaruan baik materiil maupun intelektual, terutama pembaruan yang berbau Barat.

Waktu kedatangan orang Arab-Hadramaut, baik yang sayid maupun bukan sayid, ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. Diperkirakan perpindahan mereka mulai ramai sejak 1870, ketika pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat dan mempermudah kedatangan mereka.

Sejak abad itu koloni Arab juga telah terdapat di Banten, Batavia, Karawang, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Aceh, Palembang, Tanjungkarang, Sulawesi, Pontianak, Mataram, dan lain-lain. Mereka datang untuk mencari nafkah dan pada umumnya tidak bersama istri mereka, atau masih bujangan lalu menikah dengan gadis Indonesia.

Anak-anak mereka yang lahir di sini kemudian dikirim ke Hadramaut untuk memperoleh pendidikan, kemudian kembali ke Indonesia dan menikah pula dengan wanita Indonesia. Umumnya mereka hidup sebagai pedagang dan keadaan ekonomi mereka rata-rata baik.

Dengan kegiatan mereka sebagai pedagang dan penganut Islam, mereka mudah berhubungan dengan penduduk setempat, dan berasimilasi baik lewat perkawinan, pergaulan, dan perdagangan. Ada beberapa sultan di Indonesia yang berasal dari keturunan Arab, seperti keluarga Kesultanan Pontianak dari keluarga al-Qadri (sayid) dan Kesultanan Siak di Riau yang memakai nama keluarga Ibnu Shahab.

Di Indonesia, masyarakat keturunan Arab juga terbagi atas golongan sayid dan bukan sayid, dan terbagi pula atas yang berasal dari golongan munsib dan bukan munsib. Golongan sayid mendapat kedudukan tinggi dalam masyarakat, dan apabila berhadapan dengan orang Indonesia, mereka menuntut kedudukan yang lebih tinggi walaupun ibu mereka bukan sayid atau bahkan bukan Arab.

Sayid yang taat dianggap sebagai wali, dan kuburannya diziarahi sebagai tempat suci untuk mendapat berkah. Di kalangan sayid sendiri terjadi kompetisi. Orang sayid di Indonesia yang berasal dari golongan munsib Hadramaut menuntut status yang lebih tinggi apabila berhadapan dengan sayid yang bukan munsib.

Dalam masyarakat keturunan Arab dari golongan sayid, cium tangan yang disebut taqbil (ciuman penghormatan) mesti dilakukan oleh seorang yang bukan sayid apabila bertemu dengan sayid karena kedudukan mereka dianggap lebih tinggi.

Padahal Syekh Muhammad Rasyid Rida (1865–1935) telah mengeluarkan fatwa dalam majalah al-Manar (Tempat Cahaya) di Cairo yang menyatakan bahwa seorang Islam bukan sayid dapat/boleh kawin dengan syarifah.

Demikian juga Syekh Ahmad Soorkati (1872–1943), seorang tokoh pembaru (Arab), pendiri al-Irsyad, sahabat KH Ahmad Dahlan, berfatwa bahwa Islam tidak mengenal diskriminasi karena keturunan, harta, dan pangkat.

DAFTAR PUSTAKA
Algadri, Hamid. C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
van den Berg. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989.
Goldziher, Ignas, et al. “Ahl al-Bayt,” The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942). Jakarta: LP3ES, 1980.
J. Suyuti Pulungan