Batiniah

(Ar.: al-batiniyyah)

Kata “batiniah” berasal dari kata “batin” (esoteris), lawan dari kata “lahir” (eksoteris). Istilah ini sangat dikenal dalam tasawuf. Pada dasarnya tasawuf membahas masalah amal batin, yakni mengajarkan seorang muslim mendidik dan memperbaiki batin atau hatinya.

Tasawuf berbeda dengan fikih yang pada dasarnya membahas masalah amal lahir, yakni melihat dari segi formalnya, apakah suatu ibadah atau perbuatan itu sah atau tidak dan haram atau halal. Karena itu, tasawuf sering disebut ilmu batin dan fikih disebut ilmu lahir.

Namun hal ini bukan berarti bahwa para sufi tidak mementingkan segi formalnya, tata cara, dan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap ibadah. Menurut kaum sufi, pendidikan batin itu amat penting karena semua aktivitas lahir itu selalu dimotivasi sikap dan sifat batin seseorang.

Menurut beberapa orientalis, hidup secara batiniah (kerohanian) yang dijalankan seorang sufi itu berasal dari ajaran di luar Islam. Dalam hal ini ada beberapa pendapat.

(1) Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Zahid (orang yang hanya beribadah semata) dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana, dan mengasingkan diri karena pengaruh cara hidup rahib Kristen.

(2) Filsafat mistik Pythagoras (filsuf Yunani), bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi.

Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi (zuhud) dan untuk selanjutnya berkontemplasi atau merenung serta berpikir dengan penuh perhatian. Ajaran ini yang mempengaruhi timbulnya zuhud dalam Islam.

(3) Filsafat emanasi Plotinus (filsuf Yunani), bahwa wujud memancar dari Zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Namun dengan masuk ke alam materi, roh menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya, roh terlebih dahulu harus dibersihkan.

Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, bahkan jika dapat bersatu dengan Tuhan. Ada kemungkinan ajaran inilah yang mempengaruhi kemunculan zahid dalam Islam.

(4) Ajaran Buddha dengan paham nirwananya mengharuskan orang meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham ini kemudian menimbulkan paham fana dalam tasawuf Islam.

(5) Ajaran Hindu tentang persatuan antara Atman dan Brahman juga dapat mendorong orang untuk meninggalkan dunia dan bersatu dengan Tuhan.

Bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh dari luar, hidup kerohanian (batiniah) dapat timbul dari Islam sendiri. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan, antara lain:

“Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku…” (QS.2:186).

Ini berarti Dia dekat pada manusia dan mengabulkan permintaan orang yang meminta. Oleh kaum sufi kata da‘a di sini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat pada-Nya.

Dilihat dari pengamalannya, meskipun nama sufi atau tasawuf belum dikenal orang pada abad pertama Islam, namun kehidupan kerohanian (batiniah) sudah terdapat, baik pada diri Nabi Muhammad SAW maupun pada diri para sahabat­.

Sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Nabi SAW pernah melakukan khalwat (mengasingkan diri) di Bukit Sur untuk memperoleh kejernihan hati dan percikan cahaya dari Tuhan. Sikap serta sifat hidup Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari dan ibadah serta pengabdian yang dilakukannya mencerminkan kehidupan kerohanian (batiniah) yang sempurna. Cara hidup Nabi SAW ini telah menjadi teladan bagi para sahabatnya.

Oleh karena itulah, orientalis Reynold Alleyne Nicholson mengatakan bahwa tasawuf merupakan salah satu unsur yang sangat vital dalam Islam, sehingga tanpa adanya pemahaman mengenai gagasan dan bentuk-bentuk sufi yang mereka kembangkan, kita bersusah payah menelusuri kehidupan keagamaan Muhammad SAW yang tampak di permukaan saja.

Titus Burckhardt (orientalis dan ahli dalam bidang tasawuf) mengatakan, tasawuf tak dapat disebut sebagai sesuatu yang ditambah-tambahkan ke dalam Islam karena dengan demikian ia akan menjadi sesuatu yang bersifat sampingan atau tambahan dalam hubungannya dengan sarana-sarana rohani Islam.

Khan Sahib Khaja Khan (tokoh tasawuf dari India) mengatakan, apabila Islam dipisahkan dari aspek batiniahnya, ia hanya menjadi kerangka ajaran formal saja, sehingga para rasionalis hanya menerima Islam sebagai keformalan semata dan keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.

Seperti disebutkan di atas, meskipun para sufi lebih berorientasi pada aspek batin, namun mereka tetap mengikuti hukum syariat (fikih). Akan tetapi dalam sejarah Islam terdapat orang yang meninggalkan hukum syariat.

Mereka mempunyai anggapan bahwa dirinya telah sampai pada tingkat di mana hukum syariat tidak lagi mengikat mereka. Karena mereka hanya mementingkan aspek batin semata, mereka biasa disebut ahli batiniah.

Adapun Dr. Abdul Halim Mahmud, ulama al-Azhar dan mantan rektor Universitas al-Azhar, menyebut orang yang meninggalkan hukum syariat sebagai orang yang tidak memahami agama seutuhnya. Mereka adalah pembuat kepalsuan, pembuat bid’ah.

Mahmud selanjutnya mengatakan bahwa bid’ah yang dimaksud antara lain adalah suatu pendapat yang mengatakan bahwa orang yang telah mencapai derajat makrifat tertentu tidak akan dibebani kewajiban syariat. Dengan demikian tidak ada lagi kewajiban salat, zakat, haji, dan lainnya yang diwajibkan bagi kaum muslim.

Menurut Mahmud, mereka mengaku sebagai orang yang menjalani tasawuf dan menganggap dirinya tokoh yang arif dan kaum cendekiawan yang mendapat ilham. Ada pula di antara mereka yang telah sampai pada anggapan bahwa dirinya tergolong wali, bahkan ada yang menganggap dirinya seorang rasul.

Mahmud mengatakan bahwa orang-orang seperti ini telah kemasukan jin dan setan sebagaimana Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya yang berarti:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS.72:6)

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkannya) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka me­nyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” (QS.43:36–37).

Daftar Pustaka

Atjeh, Aboebakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1990.

–––––––. Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf. Solo: Ramadhani, 1987.

Burckhard, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: Muhammad Ashraf, 1973.

Khan, Khan Sahib Khaja. Studies in Tasawwuf. New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delhi, 1978.

Mahmud, Abdul Halim. al-Munqiz min ad-Dalil. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1968.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Tirmingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.

Asmaran As