Bareilawiyah adalah sebuah aliran tasawuf yang muncul di India pada akhir abad ke-19, ketika India dijajah Inggris. Pengikut aliran ini sangat mencintai Nabi Muhammad SAW, para nabi lain, dan orang yang dipandang sebagai wali Allah SWT. Sebagai tanda kecintaan itu, mereka melekatkan sifat ketuhanan kepada para nabi dan wali tersebut.
Aliran Bareilawiyah didirikan oleh Maulana Ahmad Rida Khan bin Naqi Ali Khan (1856–1921) yang lebih dikenal dengan nama Abdul Mustafa. Ia berasal dari desa Bareilly, Uttar Pradesh, India. Nama aliran ini dinisbahkan kepada nama desa tersebut. Mulanya aliran ini merupakan sempalan dari Jamaah Suniyah yang bermazhab Hanafi di India.
Tetapi dalam perkembangannya keyakinan para pengikutnya dipengaruhi berbagai ajaran seperti ajaran Kaum Gulat (kelompok dalam Syiah yang menganggap Ali bin Abi Thalib dan imam lainnya sebagai jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri), ajaran wahdatul wujud, ajaran Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal yang banyak tumbuh di India.
Pengaruh dari berbagai ajaran dan kepercayaan itu tampak dalam keyakinan dan dalam upacara ritual yang dijalankan para pengikut aliran ini. Misalnya, memberikan sifat ketuhanan kepada para nabi dan wali seperti yang dilakukan kaum Syiah terhadap imam mereka dan melaksanakan upacara peringatan maulid Nabi SAW sama seperti pelaksanaan upacara Natal di kalangan Kristen.
Abdul Mustafa mula-mula belajar tasawuf dari Mirza Ghulam Qadir Bey, saudara kandung Mirza Ghulam Ahmad, pendiri aliran Ahmadiyah. Selanjutnya pada 1888 Abdul Mustafa berangkat ke Mekah untuk mendalami ilmu tasawuf dari para syekh kenamaan di tanah suci itu. Tidak diketahui berapa lama ia belajar di Mekah.
Sepulangnya dari sana ia menjadi terkenal di daerahnya sebagai ahli tasawuf. Karyanya di bidang tasawuf cukup banyak, antara lain yang menonjol Anba’ al-Mustafa (Berita dari Nabi), Khalis al-I‘tiqad (Kemurnian Akidah), Dawam al-‘Isy (Kekekalan Hidup), al-Amn wa al-‘Ula li Na‘at al-Mustafa (Keselamatan dan Keutamaan bagi Pengikut Nabi), Marja‘ al-Gaib (Sumber Kegaiban), Hadza’iq Bakhsyisy (Taman Bakhsyisy), dan al-Mahfudat (Yang Terpelihara).
Sebelum wafat, Abdul Mustafa meninggalkan wasiat kepada keluarganya, yang antara lain berisi perintah kepada murid dan keluarganya agar senantiasa mengirim sajian makanan yang disertai bacaan Fatihah (surah al-Fatihah) kepadanya. Sampai sekarang wasiat ini tetap dijalankan para pengikutnya.
Selain Abdul Mustafa, tokoh penting lain dari aliran ini meliputi antara lain: (1) Deedar Ali (1870–1935) yang terkenal karena karyanya Tafsir Mizan dan ‘Allamah Wahhabiyyah (Ulama Wahabi); (2) Maulana Na‘imuddin Muradabadi (1883– 1948) yang bergelar “Sadr al-Fadil” (Sumber Keutamaan), pendiri Institut Na‘imiyah di India, dan terkenal karena karyanya Kalimah ‘Ulya (Kalimat Tertinggi) dan Fi ‘Aqidah ‘Ilm al-Gaib (Tentang Kepercayaan pada Ilmu Gaib); (3) Amjad bin Jamaluddin bin Khadabakhsyi (1903–1948), penulis buku Bahr Syari‘ah (Laut Syariat); (4) Hasymat Ali Khan (1920–1961) yang bergelar Gaiz al-Munafiqin (Penentang Golongan Munafik); dan (5) Ahmad Yar Khan (1906–1971) dengan bukunya yang terkenal Ja’a al-Haqq wa Zahaqa al-Batil (Kebenaran Tiba dan Kebatilan Binasa).
Para pengikut Bareilawiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, sebagaimana Allah SWT, mempunyai kekuasaan mengatur alam semesta. Dalam hal ini Amjad bin Jamaluddin menjelaskan bahwa Nabi SAW adalah wakil mutlak Tuhan di bumi dan karenanya mampu mengatur alam semesta menurut kehendaknya. Di samping itu, ia juga dapat memberi dan mengambil apa saja yang dikehendakinya. Dia adalah penghulu keturunan Nabi Adam AS.
Tentang hakikat Nabi Muhammad SAW, Abdul Mustafa menulis di dalam Khalis al-I‘tiqad sebagai berikut: “Wahai Muhammad, aku tidak menyatakan engkau sebagai Tuhan, tetapi aku tidak dapat membedakan hakikat engkau berdua. Karena itu, persoalanmu kukembalikan kepada Allah. Dialah yang Maha Tahu tentang hakikatmu.” Di bagian lain dari buku itu ia menulis: “Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi telah memberi kepada pembawa Al-Qur’an, Muhammad SAW, segala yang ada di Lauh Mahfuz (catatan tentang ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT).”
Ada juga tulisannya yang menyatakan bahwa Nabi Mu-hammad SAW mengetahui segala rahasia di alam semesta. Pengetahuan itu juga diberikan kepada para wali, seperti Abdul Qadir al-Jailani. Menurutnya, alam ini diciptakan untuk para nabi dan para wali.
Ajaran penting dari Bareilawiyah adalah sebagai berikut.
(1) Menekankan kecintaan dan pemujaan yang berlebihan kepada Nabi SAW, para nabi, dan wali serta meyakini bahwa mereka memiliki sifat ketuhanan.
(2) Tidak mempercayai adanya kewajiban ibadah haji.
(3) Meyakini bahwa Nabi SAW selalu hadir dan menyaksikan segala perbuatan makhluk kapan dan di mana saja. Nabi SAW mampu melihat alam semesta yang baginya hanya seluas telapak tangannya, mendengar suara yang dekat dan jauh, serta mengabulkan permohonan orang yang meminta. Keyakinan ini mereka sebut“Akidah Kesaksian”.
(4) Menganggap semua orang Islam yang tidak mau mengikuti aliran Bareilawiyah sebagai kafir.
(5) Berpendapat bahwa dosa orang yang meninggalkan salat dan puasa masih dapat diampuni, tetapi dosa orang Islam yang tidak mengikuti upacara peringatan maulid Nabi SAW tidak mungkin diampuni.
(6) Melaksanakan al-a‘ras, yaitu upacara mengunjungi makam para wali untuk berdoa dan meminta syafaat mereka.
(7) Meyakini adanya penebusan dosa melalui para nabi dan para wali dengan jalan mengeluarkan sedekah untuk fakir miskin.
Karena hanya mengakui kebenaran pendapat ulama dan tokoh Bareilawiyah, pengikut aliran ini mengecam pendapat ulama yang tidak sejalan dengan mereka, terutama pendapat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab yang sangat gigih menyeru kepada tauhid murni. Mereka juga membenci tokoh yang menyatakan aliran Bareilawiyah adalah sesat, seperti Muhammad Iqbal (pembaru pemikiran Islam dari Pakistan) dan Muhammad Ziaul Haq (mantan presiden Pakistan).
Perbedaan yang sangat menonjol dari pengikut aliran ini dari umat Islam lainnya tampak dari sikap mereka yang sangat memuliakan makam para nabi dan para wali. Mereka menembok makam wali yang mereka keramatkan. Di makam itu dinyalakan lampu dan lilin. Pada waktu tertentu mereka mengunjungi makam tersebut untuk berdoa, bernazar, dan meminta berkah. Mereka juga melakukan upacara penghormatan kuburan, menaburinya dengan bunga, dan menutupinya dengan tirai. Bahkan, mereka melakukan tawaf di sekitar makam agar mendapatkan berkahnya. Begitu besarnya pengagungan mereka terhadap para nabi dan wali sehingga mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak mau meminta tolong kepada para nabi dan wali termasuk dalam golongan ateis.
Selain tersebar di India, pengikut aliran ini juga terdapat di Inggris dan Afrika Selatan. Di Inggris mereka mendirikan suatu perkumpulan yang disebut “Perkumpulan Tablig Islami” yang kegiatannya mengarah pada upaya memecah belah persatuan umat Islam. Mereka dikenal sering menimbulkan kekacauan di tengah umat Islam sehingga tidak jarang mengakibatkan timbulnya bentrokan berdarah antarumat Islam, seperti yang terjadi di Inggris 1980.
Daftar Pustaka:
Said, Ahmad. Taskin al-Khawatir fi Mas’alah al-Hadzir wa an-Nazir. Islamabad: Matba‘ah Sukar, t.t.
Zahir, Ihsan. al-Bareilawiyah: ‘Aqa’id wa Tarikh. Lahore, Islamabad: Idarah Tarjuman as-Sunnah, 1983.
Musdah Mulia