Pengganti, penerima wewenang, atau orang yang diserahi tugas tertentu dan selanjutnya harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberitugas disebut badal. Kata “badal” dikenal dalam istilah tasawuf (bidang tarekat), fikih (bidang ibadah haji), dan dalam ilmu nahu (tata bahasa Arab).
Di dalam tasawuf, badal adalah suatu kategori dari urut-urutan wali. Di Turki abdal (jamak dari badal) berarti dervish (pertapa). Wali (ahl al-gaib) membangun suatu struktur secara hierarkis yang berbentuk seperti piramida dengan qutb (pegawai Tuhan yang berjumlah satu orang) berada di atasnya.
Para pengikut tasawuf yakin bahwa masing-masing wali itu mempunyai kekuatan untuk melepaskan kemudaratan bagi seseorang dan mengikat atau membiarkan kenikmatan bagi seseorang. Pegawai Tuhan yang berjumlah 300 orang disebut akhyar, 40 orang disebut abdal, 7 orang disebut abrar, 4 orang disebut autad, 3 orang disebut nuqaba’, dan 1 orang disebut qutb atau gaus.
Menurut Muhammad *Farid Wajdi (1875–1954), tokoh pembaru dan ahli fikih di Mesir, abdal adalah kaum yang terdiri dari orang terpilih (para wali) yang selalu ada di bumi ini. Seandainya salah seorang dari mereka meninggal, Allah SWT akan menggantinya dengan yang lain.
Dalam kitab Hilyah al-Auliya wa Tabaqat al-Asfiya (Permata para Wali dan Tingkatan Sufi) diriwayatkan dalam sebuah hadis yang berasal dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW menerangkan:
“Pada setiap abad ada umatku yang terpilih sejumlah 500 orang dan badal (penggantinya) 40 orang. Jumlah 500 orang ini dan 40 orang itu tidak pernah kurang. Tiap-tiap mati seorang digantikan Tuhan dengan seorang yang lain menempati kedudukannya dalam jumlah 500 orang itu dan memasukkan pada jumlah 40 orang (jika seseorang di antara mereka meninggal dunia, Allah akan menciptakan orang lain sebagai pengganti).”
Tatkala sahabat meminta penjelasan tentang apa saja pekerjaan mereka itu, Nabi SAW menjawab, “Mereka suka memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya dan mereka suka menolong orang lain dengan harta yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.” Aswad bin Syaiban Sadusi al-Ba sary Abu Syaiban (w. 65 H/685 M) meriwayatkan dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Di antara makhluk Tuhan ada 300 manusia yang hatinya sama dengan hati Adam, 40 hati manusia yang sama dengan hati Musa, 7 hati manusia yang sama dengan hati Ibrahim, 5 hati manusia yang sama dengan hati Jibril, 3 hati manusia yang sama dengan hati Mikail, dan 1 hati manusia yang sama dengan hati Israfil. Apabila ada seorang yang mati, Tuhan segera memberikan badal untuk menduduki tempatnya….”
Dalam ibadah haji, istilah badal berarti pengganti orang lain untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini dilakukan karena beberapa hal sebagai berikut.
(1) Orang yang meninggal dunia dan masih memikul kewajiban haji atau belum menunaikan haji yang telah dinazarkannya. Dengan demikian, wajib bagi walinya untuk menyiapkan orang (badal) yang akan melakukan haji atas namanya dengan biaya dan hartanya, sebagaimana wali itu wajib membayar utangnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan *Bukhari dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, “Ibuku telah bernazar akan haji, tetapi ia meninggal sebelum menunaikannya. Apakah saya akan melakukannya atas namanya?” Nabi SAW menjawab, “Ya, berhajilah menggantikannya! Bagaimana pendapatmu jika berutang, apakah kamu akan membayarkannya? Nah, bayarlah olehmu utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih patut buat dibayar!”
(2) Orang yang lemah karena sakit atau berusia lanjut dan telah mempunyai kesanggupan secara materi untuk pergi haji. Oleh sebab itu, ia wajib mencari pengganti (badal) yang akan mengerjakan haji atas namanya. Hal ini dilakukan karena ia tidak mungkin lagi melakukannya sendiri karena fisiknya lemah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan at-*Tirmizi dari Fadal bin Abbas disebutkan bahwa seorang wanita dari Kanaan bertanya, “Ya Rasulullah, kewajiban haji yang difardukan Allah atas hamba-Nya datang secara kebetulan dengan keadaan bapakku yang telah tua bangka hingga ia tak sanggup lagi berkendaraan. Apakah boleh saya melakukan haji atas namanya?” Rasulullah SAW menjawab, “Boleh!” Peristiwa ini terjadi pada waktu haji wadak.
Dalam pelaksanaan badal haji ada ketentuannya, yaitu orang yang menggantikan orang lain untuk menunaikan ibadah haji (badal) terlebih dahulu harus menunaikan haji untuk dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan *Abu Dawud dan *Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.
Rasulullah SAW mendengar seorang laki-laki mengucapkan, “Labbaik (kami di sini) dari Syubrumah”. Nabi SAW bertanya, “Apakah anda telah melakukannya buat diri anda sendiri?” Orang tersebut menjawab, “Belum.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah haji buat diri anda, kemudian baru buat Syubrumah!”
Di dalam ilmu nahu, badal adalah lafal yang mengikuti lafal yang lain (mubaddal minhu) yang tidak bermaksud menjelaskan dirinya. Mubaddal minhu disebutkan hanya sebagai pengantar untuk lafal yang mengikutinya (badal).
Badal mengikuti mubbadal minhu dalam semua jenis syakal Ahli nahu membagi badal menjadi tiga bagian.
(1) Badal mutabiq, pengganti yang sesuai atau badal kull min al-kull. Misalnya, “Khalid telah datang, saudaranya.” Di sini lafal “saudaranya” adalah badal mutabiq dari Khalid.
(2) Badal juz’i, pengganti sebagian atau badal ba‘dun min al-kull. Misalnya, kalimat “Saudaramu itu sangat baik, hatinya.” Di sini lafal “hatinya” adalah badal juz’i dari saudaramu.
(3) Badal syamil, pengganti yang mencakup atau badal isytimal. Misalnya, “Saudaramu sangat mengagumkan saya, ilmunya.” Di sini kata “ilmunya” adalah badal syamil dari saudaramu.
Daftar Pustaka
Abdulmassih, George M. Mu‘jam Qawa‘id al-Lugah al-‘Arabiyyah. Beirut: Maktabah Lubnan, 1987.
al-Asfahani, Abi Naim Ahmad bin Abdillah. Hilyah al-Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’. Cairo: Matbaah as-Saadah, 1932.
Atjeh, Aboebakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani, 1990.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘ri-fah, 1971.
Asmaran AS