Ateisme

Menurut pandangan kontemporer, ateisme adalah paham yang menolak eksistensi Tuhan sebagai realitas adikodrati, supranatural, dan suprarasional. Konsep ateisme bisa dipa-hami dari berbagai sudut. Secara etimologis, ateisme berasal dari bahasa Yunani, a berarti “tidak” dan theos berarti “Tuhan”. Jadi, ateisme berarti “paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan”.

Kaum ateis menganggap kepercayaan kepada Tuhan sebagai kesadaran palsu. Tuhan yang dimaksud di sini mengacu pada keberadaan realitas independen, pencipta alam semesta, dan pemilik kekuasaan yang tidak tergugat, bijaksana, dan maha segalanya. Ateisme merupakan paham yang menganggap realitas kehidupan ini hadir dengan sendirinya.

Tidak ada kekuatan yang hadir di balik realitas yang melebihi, menguasai, dan mengendalikan realitas itu sendiri. Ateisme memungkinkan hadirnya realitas yang bersifat spiritual atau roh, namun bagi mereka tidak ada perbedaan antara realitas rohaniah (spiritual) dan realitas jasmaniah. Semuanya sama, tidak ada yang melebihi segalanya,­ yang dalam terminologi agama disebut Tuhan.

Karena eksistensi Tuhan merupakan bagian dari ajaran agama, maka ateisme merupakan penolakan substansial terhadap ajaran agama. Namun demikian, tidak jarang ateisme muncul dari kalangan orang yang mengaku beragama.

Secara historis ateisme muncul bersamaan dengan eksistensi agama di bumi ini. Itulah sebabnya setiap kemunculan agama di bumi ini selalu disertai munculnya kelompok­ yang tidak percaya kepada Tuhan yang merupakan­ substansi ajaran agama.

Dalam dunia filsafat, ateisme muncul bersamaan dengan menguatnya eksistensialisme, sebuah paham yang memandang semua realitas ditentukan eksistensinya sen­diri. Siapa yang paling bereksistensi? Bagi Ludwig Andreas Feuerbach (1804–1872), filsuf Jerman, manusialah yang bereksistensi. Manusia adalah Tuhan bagi manusia lain (homo homini Deus).

Tidak ada realitas yang paling menentukan di balik realitas yang terlihat. Mereka tidak lagi meletakkan Tuhan sebagai penentu bagi gerak peradaban. Alam merupakan inti seluruh gerak yang terjadi di bumi Ateisme mendapat tempat yang sangat subur dan stabil di dunia komunisme, karena menjadi landasan bagi pengembangan materialisme historis.

Salah satu tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan ateisme adalah Benedict Spinoza atau Baruch Spinoza (1632–1677), seorang filsuf rasionalis Belanda. Ia menolak adanya dualisme rohani dan jasmani. Yang hadir di dunia ini hanya satu benda yang menjadi pusat seluruh gerak jagat raya. Ia kekal dan abadi.

Dalam bentuk yang lebih atraktif, ateisme dideklarasikan secara lantang oleh filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844–1900), dengan pernyata­annya: God is dead (Tuhan telah mati). Masjid atau gereja dianggap sebagai kuburan Tuhan.

Penolakan terhadap eksistensi Tuhan bisa memiliki banyak makna. Pertama, mereka tidak mengakui Tuhan karena ingin terbebas dari kungkungan kekuasaan Tuhan, yang berarti pula bahwa pada dasarnya mereka masih mengakui keberadaan Tuhan tapi keberadaan-Nya tidak mempunyai makna apa-apa.

Kedua, bisa juga berarti bahwa Tuhan bagi mereka memang tidak ada, dan segala sesuatu berasal dari alam dan tidak ada peran atau eksistensi Tuhan sama sekali. Pada akhirnya ateisme meletakkan manusia sebagai pusat segalanya dan yang paling bertanggungjawab atas seluruh gerak kehidupan.

Tidak ada kekuatan di balik semua itu. “Be a man and not follow me but yourself” (jadilah seseorang, dan tidak mengikuti saya, tetapi dirimu sendiri), kata Nietzsche. Ini berarti kekuasaan sepenuhnya ada di tangan manusia.

Ateisme sebagai penolakan terhadap eksistensi Tuhan hadir bersamaan dengan menguatnya Renaisans (abad ke-14–17) dan berpuncak pada masa pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 ketika sains dan rasionalitas menjadi puncak segala eksistensi. Ateisme mengingkari eksistensi Tuhan karena secara rasional keberadaan Tuhan tidak bisa dibuktikan.

Ateisme seperti ini sering disebut ateisme rasionalistik. Ateisme ini muncul karena alasan rasional tidak bisa membuktikan Tuhan, namun bisa menjelaskan segala realitas tanpa melibatkan Tuhan. Keberadaan Tuhan tidak bisa diverifikasi secara empiris sehingga sulit dipahami secara rasional.

Dari proses ini kemudian mengkristal paham positivisme dan materialisme yang sama sekali tidak melibatkan peran Tuhan di dalamnya. Yang ada adalah realitas yang terlihat, dan sejarah bergerak sesuai realitas materi yang ada.

Menurut kaum materialis, eksistensi manusia merupakan titik akhir sebuah proses yang sepenuhnya berlangsung secara materiil. Perasaan takut, senang, cinta, benci, dendam, dan perasaan lain yang hadir di dalam diri manusia merupakan konsekuensi logis dari susunan atom yang terbentuk secara kebetulan dalam diri manusia.

Ini semakin memperjelas bahwa tidak ada faktor adikodrati di balik peristiwa yang terjadi pada alam ini. Semua bisa dijelaskan secara rasional melalui hukum alam, dan tidak ada sedikit pun ruang bagi eksistensi Tuhan yang metafisik dan  menentukan segalanya. Mereka meyakini bahwa kekuatan sains akan mampu menjelaskan semua peristiwa yang ada di alam ini, tanpa campur tangan Tuhan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan berbagai fasilitas hidup yang diciptakan oleh manusia sendiri dari berbagai potensi yang dimiliki oleh alam dan dinikmati secara nyata oleh umat manusia sendiri. Sebuah proses yang sangat rasional, realistik, dan tanpa sedikit pun peran Tuhan diperlukan untuk semua kenyamanan hidup.

Pada titik ini ateisme tidak menyisakan sedikit pun aroma ketuhanan dalam kehidupan umat manusia. Iman dan segala praktek peribadatan yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah menjadi monumen yang menunggu kehan­curan oleh kikisan zaman modern yang sangat rasionalistik.

Beberapa deskripsi di atas menjelaskan bahwa sebenarnya ateisme bisa dimasukkan ke dalam tiga golongan. Pertama, ateisme yang betul-betul tidak menyediakan peran bagi Tuhan karena Tuhan memang dianggap tidak ada. Ini biasanya dianut kaum ateis tulen.

Kedua, ateisme yang mengakui adanya Tuhan tapi tidak mempunyai peran apa-apa. Tuhan hanya menjadi masa lalu kehidupan. Ketiga, ateisme yang mengakui adanya Tuhan tetapi tidak sepenuhnya mempunyai peran. Ada peran yang bisa dimainkan oleh apa yang berada di luar kekuasaan Tuhan. Ini terjadi pada sebagian penganut agama yang tidak sepenuhnya mempercayai kekuasaan Tuhan.

Ateisme bisa ditemukan dalam ideologi apa saja, kapan saja, dan di mana saja, bahkan di dalam diri individu yang secara formal mengaku menganut agama tertentu. Itulah sebabnya dalam agama muncul istilah yang mengacu pada istilah ateisme tersebut.

Dalam Islam, ateisme bisa memiliki banyak makna. Ketika hadir dengan misi ketauhidan ilahiah (monoteisme), Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhadapan dengan para penyembah berhala, tetapi juga dengan orang yang baik secara sadar maupun terselubung tidak lagi percaya kepada kekuasaan Tuhan atau mencampakkan keberadaan Tuhan. Mereka adalah sekelompok orang yang mengang­gap hidup hanya di dunia dan kematian hanyalah proses masa biasa. Seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an,

“Dan, mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia. Kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’” (QS.45:24).

Dalam tradisi Islam, di antara sekian terminologi yang mengacu pada ateisme adalah kafir, murtad, dan zindik. Kafir memiliki makna yang lebih luas dari dua istilah lainnya, yaitu “pengingkar” terhadap segala sesuatu. Sementara murtad adalah mereka yang keluar karena menolak terhadap ajaran Islam. Dalam literatur Islam yang lebih mendekati kata “ateisme” adalah zindik (zindiq atau zandaqah).

Adanya sekutu bagi Tuhan juga menunjukkan ketidakkuasaan Tuhan. Tuhan tidak lagi menjadi kekuatan yang maha segalanya. Ini berarti pula bahwa eksistensi Tuhan tidak berarti apa-apa bagi kehidupan. Dengan demikian, keberadaan Tuhan sama dengan ketidakadaan-Nya. Itulah sebabnya dalam Islam, syirik juga merupakan bagian dari potensi ateisme dalam arti penolakan terhadap kemutlakan Tuhan.

Banyaknya ragam terminologi yang mengacu pada ateisme dalam Islam menunjukkan bahwa ateisme bisa dipahami menurut kadar ateismenya itu sendiri. Ateisme bisa dipahami sebagai upaya penyangkalan baik secara terang-terangan (ateisme murni) maupun tersembunyi (ateisme terselubung) terhadap kekuasaan dan keesaan Tuhan.

Ketika Tuhan diletakkan sebagai realitas yang tidak sepenuhnya Esa dan Kuasa, maka sebenarnya benih ateisme sudah bersemi. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ada kepercayaan terhadap Tuhan tetapi tidak percaya sepenuh-nya atas kemahakuasaan-Nya.

Ateisme dalam Islam mendapat tempat yang sangat luas karena makna yang bisa mencakup istilah ateisme sangat beragam. Ketika Tuhan sebagai realitas mutlak tidak lagi diletakkan di atas segalanya, maka benih ateisme sudah tumbuh di dalamnya.

Daftar Pustaka

Krueger, Douglas E. What Is Atheism?: A Short Introduction. New York: Pro-metheus Books, 1998.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Martin, Michael. Atheism: A Philosophical Justification. Philadelphia: Temple University Press, 1992.
N. Drijarkara S.J. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta: 1981.
Rakhmat, Jalaluddin. “Ateisme”, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina, 1996.
Reese, W.L. Dictionary of Philosophy and Religion. New Jersey: Humanities, 1980.
Smith, George H. Atheism: The Case Against God. New York: Prometheus Books, 1991.
Smith, William Lane Craig dan Quentin. Theism, Atheism, and Big Bang Cosmology. Oxford: Oxford University Press, 1995.

A. Bakir Ihsan