Hasan at-Turabi adalah seorang cendekiawan muslim, politikus kharismatik yang sangat berpengaruh, dan pemimpin Ikhwanul Muslimin Sudan. Ia dikenal secara internasional sebagai aktivis kebangkitan Islam dan pemimpin politik Sudan.
Hasan at-Turabi lahir dari keluarga muslim yang taat. Pendidikan pertamanya diperoleh dari lembaga pendidikan tradisional Islam, tetapi pada tingkat dasar dan menengah, ia belajar pada lembaga pendidikan modern. Dengan demikian, at-Turabi tidak saja memiliki pengetahuan agama, tetapi juga memperoleh ilmu pengetahuan umum. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah atas, ia melanjutkan studi ke Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan.
Sejak belajar di tingkat menengah pada awal 1950-an, at-Turabi sudah melibatkan diri dan bergabung dalam organisasi Ikhwanul Muslimin Sudan; bahkan dengan cepat masuk ke dalam jajaran elite organisasi Ikhwanul Muslimin Sudan. Namun, pada 1959 terjadi kemunduran politik di kalangan Ikhwanul Muslimin Sudan, yang mengakibatkan penahanan ar-Rasyid at-Tahir, pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin di Sudan ketika itu, sehingga organisasi berpengaruh ini kehilangan seorang pemimpin yang paling menonjol.
Bersamaan dengan itu, pada tahun yang sama, Hasan at-Turabi meninggalkan Sudan untuk melanjutkan studi di London, Inggris, dan kemudian di Sorbonne, Perancis. At-Turabi kembali ke Sudan setelah menyelesaikan studi tingkat doktoralnya pada 1964 untuk mengajar di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan.
Dengan kembalinya Hasan at-Turabi dari Eropa, Ikhwanul Muslimin seakan memasuki fase baru, dengan pemimpin yang baru pula, yakni Hasan at-Turabi. Ia segera melibatkan diri dalam konstelasi politik di Sudan. Di bawah kepemimpinan at-Turabi, Ikhwanul Muslimin Sudan memainkan peran penting dalam peristiwa politik yang mengakibatkan tergulingnya rezim Abboud pada Oktober 1964.
Setelah itu, Ikhwanul Muslimin Sudan yang mendapat dukungan besar dari kalangan mahasiswa semakin dalam memasuki lapangan politik. Mereka mendirikan partai Islam, yakni Front Piagam Islam, yang menjadi organ penting organisasi Ikhwanul Muslimin. Melalui partai ini, Hasan at-Turabi dapat mendesakkan konstitusi dan syariat Islam ke dalam konstitusi negara.
Hingga akhir 2002, dapat dikatakan bahwa Hasan at-Turabi tidak pernah lagi absen dari dunia politik di Sudan, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, dari dalam penjara maupun di tempat pengasingan, apalagi dalam suasana bebas merdeka.
Kudeta militer 1969 pada mulanya membuat gerakan Ikhwanul Muslimin Sudan terlihat mundur, dan pemimpinnya, at-Turabi sendiri, pergi ke pengasingan. Selama pemerintahan Presiden Ja‘far Nimeiri (1969–1985) posisi dan masa depan politik Hasan at-Turabi tidak berubah. Ia bahkan sempat masuk penjara tiga kali pada 1970-an.
Tetapi, pada 1977 Nimeiri berusaha melakukan rekonsiliasi dengan at-Turabi dan mengangkatnya menjadi jaksa agung. Pada waktu menduduki jabatan itu, at-Turabi mendorong anggota Ikhwanul Muslimin Sudan untuk bergerak ke dalam banyak bidang publik, termasuk bank Islam dan angkatan bersenjata. Karena itu, banyak pula orang yang menduga bahwa at-Turabi berada di balik tindakan Nimeiri yang memperkenalkan hukum Islam pada September 1983.
Namun, Numeiri akhirnya juga berselisih dengan at-Turabi dan memenjarakannya sesaat sebelum terjadi pemberontakan massa tahun 1985, yang menumbangkan Presiden Nimeiri.
Pada pemilihan umum 1986, partai at-Turabi, Front Islam Nasional (NIF), menjadi pemenang ketiga. Selama 3 tahun berikutnya, NIF keluar masuk pemerintahan koalisi Sadiq al-Mahdi yang lemah. Partai yang bertekad membangun Sudan sebagai sebuah negara Islam ini beserta beberapa partai lainnya akhirnya dibubarkan pemerintah, dan para pemimpinnya dimasukkan ke dalam penjara, termasuk at-Turabi.
Pemerintahan Sadiq al-Mahdi jatuh melalui kudeta militer pada 30 Juni 1989 di bawah pimpinan Omar al-Basir. Banyak kalangan menduga, meskipun berada di dalam penjara, Hasan at-Turabi ikut “bermain” dalam kudeta yang didukung NIF itu. Meskipun tidak menduduki jabatan resmi dalam pemerintahan Omar al-Basir, Hasan at-Turabi dipandang sebagai dalang di balik upaya Sudan mendirikan negara Islam.
Namun, hubungan akrab dengan Omar al-Basir di masa awal pemerintahannya memburuk ketika at-Turabi memilih berseberangan dengannya. Sebagai ketua parlemen ketika itu, Hasan at-Turabi mendukung undang-undang yang membatasi kekuasaan presiden. Akibatnya, Presiden Omar al-Basir membubarkan parlemen dan menyatakan negara dalam keadaan darurat pada Desember 1999.
Pada Mei 2000, at-Turabi dicopot dari posisi sekretaris jenderal National Congress (NC), sebuah partai koalisi beberapa kekuatan politik. Setelah itu at-Turabi sebagai aktivis demokrasi mendirikan partai People National Congress (PNC), dan merupakan pimpinan tertingginya.
Pada 19 Februari 2001 di Swiss, at-Turabi, sebagai pimpinan partai itu menandatangani memorandum of understanding (MOU) dengan kelompok pemberontak, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA). Langkah politik at-Turabi ini mengundang kontroversi, karena SPLA adalah kekuatan politik yang berasal dari wilayah selatan Sudan yang didukung konstituen beragama Kristen dan animis.
Penandatanganan ini mengejutkan banyak pihak, karena at-Turabi sejak semula sudah dikenal sebagai sosok yang kental menyuarakan Islam, baik di Sudan maupun di luar negeri. Atas alasan penandatanganan itu, pada 21 Februari 2001 at-Turabi ditangkap atas permintaan pemerintah Sudan, dan dibawa ke tahanan polisi untuk diinterogasi.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis politik berpengaruh, Hasan at-Turabi memperjuangkan gagasan politik tertentu, sebagaimana halnya tokoh politik Ikhwanul Muslimin di bagian dunia Islam yang lain. Pada masa kepemimpinannya, Ikhwanul Muslimin Sudan pernah mendominasi tidak hanya struktur pemerintahan tetapi juga aksi sosial, profesi, dan ekonomi.
Menonjolnya peran Ikhwanul Muslimin di Sudan membuat negara-negara Arab tetangganya merasa khawatir, apalagi setelah penguasa Sudan berupaya mendekatkan diri dengan Ikhwanul Muslimin dan kemudian bekerjasama dengan Libya, Irak, dan Iran pada awal tahun 1990-an.
Sayangnya, Hasan at-Turabi tidak menulis pemikiran politiknya secara komprehensif dan menerbitkannya dalam bentuk buku yang utuh. Pemikirannya hanya berserakan pada berbagai makalah, artikel, serta pernyataan politik. Melalui naskah seperti itu dapat diketahui bahwa ia memiliki penafsiran yang relatif liberal terhadap Islam, juga terhadap demokrasi dan pluralisme.
Sikap liberal itu juga yang membuatnya mengkritik keras rezim militer Sudan, yang menurutnya sangat restriktif. Di antara kritiknya, hanya gagasan islamisasinya yang berpengaruh pada rezim berkuasa, sehingga beberapa rezim militer Sudan selalu menunggu kebijakannya. Akan tetapi, memang hanya sebagian dari gagasan politiknya yang dilaksanakan, dan karena itulah ia tidak berhenti melontarkan kritik.
Dalam upaya memajukan revolusi Islam Sudan itu, rezim militer Sudan bersikap keras tidak saja terhadap partai politik, tetapi juga terhadap banyak kelompok independen dalam masyarakat sipil, termasuk at-Turabi sendiri. Rezim militer Sudan tidak hanya berhenti di situ, tetapi tercatat sudah tiga kali membubarkan demokrasi parlementer.
Penafsiran liberal at-Turabi terhadap Islam, demokrasi, dan pluralisme tercermin dalam dua karyanya yang membahas pembaruan dalam Islam, yakni al-Harakah al-Islamiyyah wa at-Tahdits (Gerakan Islam dan Modernisasi) dan Tajdid Ushul al-Fiqh al-Islami (Pembaruan Usul Fikih Islam).
Menurutnya, sebagaimana dapat disimpulkan dari karyanya al-harakah al-Islamiyyah wa at-Tahdits, kalau pemikiran dipisahkan dari realitas, yang sebenarnya merupakan lapangan keberagamaan yang dinamis, maka pemikiran itu tidak akan menyentuh prinsip kehidupan, dan agama akan terasing dari realitas alam dan manusia. Jika demikian, karakter agama akan sirna, karena agama adalah upaya penerapan prinsip ajaran atas kehidupan dengan segala aspeknya.
Adapun dalam Tajdid Ushul al-Fiqh al-Islami, at-Turabi mengajukan sebuah “proyek” pemikiran yang berani, jika dibandingkan dengan pemikiran Islam yang berkembang pada saat itu. Menurutnya, fikih tradisional mencakup wilayah bahasan yang sangat luas berkenaan dengan kehidupan individu manusia. Akan tetapi, fikih tradisional miskin dengan pembahasan tentang kehidupan masyarakat umum dan masalah negara. Menurut at-Turabi, para fukaha penulis fikih tradisional “sejak lama” menjauhi tema pembicaraan seperti itu.
At-Turabi berpendapat bahwa kebanyakan kitab fikih tradisional saja tidak cukup untuk menghadapi kebutuhan baru yang berkembang akibat kemajuan materi, intelek, dan kehidupan. Karena itu at-Turabi mengusulkan:
(1) Adanya kitab fikih modern. Ia menggarisbawahi bahwa hukum berlaku sebelum ada dalil yang mengubahnya (al-istishab): pada dasarnya sesuatu yang bermanfaat dibolehkan, pelaksanaannya adalah ibadah, dan seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum ada dalil yang menetapkannya (al-asl fi al-asyya’ al-hill, wa fi al-a‘mal al-‘ibadah, wa fi ad-damam al-bara’ah min at-taklif). Dengan demikian, menurut at-Turabi, akan tersedia prinsip ajaran yang sangat lapang bagi fikih tentang kehidupan orang banyak dalam Islam.
(2) Adanya teori baru tentang hukum perkawinan dan perceraian.
(3) Adanya fikih ijtihad jama‘i melalui musyawarah.
(4) Adanya kedaulatan rakyat (jumhur al-muslimun). Apabila terjadi, menurut at-Turabi, ini merupakan revolusi fikih (ats-tsaurah al-fiqhiyyah), baik berkenaan dengan ushul maupun furu‘nya.
Menurut at-Turabi, kelemahan Islam dewasa ini disebabkan oleh kolonialisme Barat sejak abad ke-19 yang terus berlanjut hingga sekarang. Negara Israel, dalam pandangan at-Turabi, merupakan perpanjangan tangan kolonialisme tersebut dan merupakan bagian dari konspirasi untuk menundukkan kepentingan dunia Arab-Islam menjadi kepentingan Barat. Karena itu, Perang Salib, menurut at-Turabi, sampai sekarang belum berakhir.
Berkenaan dengan perjuangan Palestina, ia berkata, ”Musuh kita adalah Amerika. Jika ditantang secara Amerika, maka kita akan membangun negara kita sendiri dan kita akan sangat kaya. Jika kita ditantang secara budaya, maka kita akan membangun budaya kita sendiri. Jika ditantang secara militer, maka kita harus membalas.”
Gaya komunikasi dan retorika politik at-Turabi yang keras acap kali menempatkannya pada posisi berseberangan dengan negara konservatif yang menganut paham sekuler, khususnya Mesir dan Aljazair. Tidak hanya itu, ideologi dan aktivitas Hasan at-Turabi yang cukup dominan itu mengantarkan Sudan masuk ke dalam “daftar hitam” oleh sejumlah negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Daftar Pustaka
Esposito, John L. dan John O. Voll. Islam and Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1996.
Rostiyani, Yeyen. “Hasan at-Turabi: Perang itu Belum Berakhir” dalam Republika, 24 Februari 2001.
Syafiq, Munir. al-Fikr al-Islami al-Mu‘asir wa at-Tahaddiyat: tsaurah, harakah, Kitabah. Beirut: an-Nasyir li at-Tiba‘ah wa an-Nasyir wa at-Tauzi‘ wa al-I‘lan, 1991.
Badri Yatim