at-Tufi, Najmuddin

Najmuddin at-Tufi adalah seorang ahli fikih, usul fikih, dan hadis, dari kalangan Mazhab Hanbali pada abad ke-7 H dan awal abad ke-8 H. Nama lengkapnya adalah Abu ar-Rabi‘ Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa‘id at-Tufi, tetapi ia lebih dikenal dengan nama Najmuddin at-Tufi. At-Tufi adalah nama desa kelahirannya di daerah Sarsar, Baghdad, Irak.

Ada perbedaan pendapat tentang tahun kelahiran Najmuddin at-Tufi. Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya ad-Durar al-Kaminah (tentang tokoh sejarah), menyebutkan bahwa at-Tufi lahir pada 657 H/1259 M.

Ibnu Rajab (seorang ulama fikih Mazhab Hanbali, 736 H/1335 M–795 H/1393 M), dalam bukunya thail thabaqat al-hanabilah (Lampiran Tokoh Mazhab Hanbali), dan Ibnu Imad (seorang ahli sejarah abad ke-8 H), dalam bukunya Syadzarat adz-dzahab (tentang tokoh sebelum abad ke-8 H), mengatakan bahwa at-Tufi lahir di atas tahun 670 H/1272 M.

Mustafa Zaid (seorang staf pengajar di Dar al-Ulum Cairo yang menulis tesis tentang at-Tufi dan pemikirannya tentang kemaslahatan) menetapkan 675 H/1277 M sebagai tahun kelahiran at-Tufi, setelah ia meneliti berbagai sumber dan indikasi, khususnya melalui buku at-Tufi sendiri yang berjudul al-Akbar fi Qawa‘id at-Tafsir (Yang Mendasar dalam Kaidah Tafsir).

Tentang tahun wafatnya juga terdapat perbedaan pendapat, yang mengacu kepada tahun-tahun antara 710 H/1310 M dan 716 H/1316 M di Baitulmakdis (Yerusalem). Mustafa Zaid menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa at-Tufi wafat 716 H/1316 M.

Kesimpulan ini diambilnya setelah meneliti buku at-Tufi sendiri yang berjudul Syarh al-Arba‘in an-Nawawiyyah (Penjelasan tentang Empat Puluh Hadis Imam Nawawi; ditulis 13–28 Rabiulakhir 713 di kota Qus, Iran) dan al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahits al-Usuliyyah (Isyarat Ilahi tentang Pembahasan Usul; ditulis 13–23 Rabiulawal 716 di Baitulmakdis).

At-Tufi memulai pendidikannya di kota kelahirannya dengan belajar pada beberapa orang guru. Ia menghafal kitab al-Mukhtasar al-Kharqi (Ringkasan Buku al-Kharqi) di bidang fikih dan al-Luma‘ (karya Ibnu Jani, guru at-Tufi) di bidang bahasa Arab.

Ia juga bolak-balik ke Sarsar untuk belajar fikih kepada Syekh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sarsari, seorang fakih Hanbali yang dikenal dengan sebutan al-Buqi. Pada 691 H/1292 M ia pindah ke Baghdad. Di sana ia menghafal kitab al-Muharrar fi al-Fiqh (sebuah buku pegangan dalam Mazhab Hanbali) dan mendiskusikannya dengan Syekh Taqiyuddin az-Zarzirati.

Di samping itu ia belajar bahasa Arab kepada Abi Abdillah bin Muhammad al-Mausuli, belajar usul fikih pada Nasr al-Faruqi, serta belajar hadis kepada Rasyid bin al-Qasim, Isma‘il bin at-Tabbal, dan Abdur Rahman bin Sulaiman al-Harrani. Kebanyakan gurunya bermazhab Hanbali dan karenanya tidak mengherankan jika ia juga seorang pengikut Mazhab Hanbali.

Di samping ilmu di atas, ia juga belajar ilmu mantik, ilmu faraid, dan ilmu al-jadal (cara berdiskusi), sehingga ia mampu untuk mengemukakan pemikirannya secara mandiri, tanpa harus terikat pada mazhab. Dalam kaitan dengan ini, ketika menyusun al-Akbar fi Qawa‘id at-Tafsir, ia mengatakan bahwa buku tersebut ditujukan kepada mereka yang mau mengembangkan pemikiran untuk mencari kebenaran, bukan kepada yang terikat dengan pendapat orang lain atau yang mencari kebenaran melalui pendapat orang lain.

Ia menyumbangkan banyak karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi kebanyakan bukunya masih berbentuk manuskrip yang bertebaran di beberapa negara di Timur Tengah, seperti di Mesir, Irak, dan Turki. Di bidang ilmu Al-Qur’an dan hadis ia menyusun 10 buku, antara lain al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahits al-Usuliyyah dan idah al-Bayan ‘an Ma‘ani Umm Al-Qur’an.

Di bidang akidah, fikih, dan usul fikih terdapat 22 buku, antara lain Bugyah as-Sa’il fi Ummahat al-Masa’il dan al-Intisarat al-Islamiyyah fi Daf‘ Syubhah an-Nasraniyyah, keduanya di bidang usuluddin; Mukhtasar ar-Raudah al-Qadamiyyah dan Ma‘arij al-Usul ila ‘Ilm al-Usul, keduanya di bidang usul fikih; serta ar-Riyad an-Nawadir fi al-Asybah wa an-Naza’ir dan Syarh Mukhtasar at-Tibrizi, keduanya di bidang fikih.

Di bidang sastra Arab terdapat 10 buku, antara lain Daf‘ al-Malam ‘an Ahl al-Manthiq wa al-Kalam, ar-Risalah al-‘Alawiyyah fi al-Qawa‘id al-‘Arabiyyah, dan Tuhfah Ahl al-Adab fi Ma‘rifah Lisan al-‘Arab.

At-Tufi pernah terpengaruh pemikiran Syiah, sehingga ia menjadi penganut Syiah. Ia kemudian mengundurkan diri dari Syiah dan kembali menjadi seorang ulama Mazhab Hanbali.

At-Tufi menonjol di bidang usul fikih ketika ia membicarakan konsep kemaslahatan dalam bukunya Syarh al-Ar-ba‘in an-Nawawiyyah. Kontroversi di bidang kemaslahatan inilah yang membuat ia tetap diingat sampai sekarang.

Menurutnya, ajaran yang diturunkan Allah SWT melalui wahyu-Nya dan sunah Rasulullah SAW pada intinya adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila suatu pekerjaan mengandung kemaslahatan bagi manusia, pekerjaan itu harus dilaksanakan.

Dalam membahas konsep kemaslahatan ini, at-Tufi berbeda sekali dengan ulama lain. Pada dasarnya ulama mazhab membagi kemaslahatan menjadi tiga bentuk, yaitu:

(1) maslahah mu‘tabarah (kemaslahatan yang ditunjuk langsung oleh Al-Qur’an atau sunah Rasulullah SAW),

(2) maslahah mulgah (kemaslahatan yang bertentangan dengan teks wahyu atau hadis ataupun ijmak), dan

(3) al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak secara tegas ditentang oleh wahyu atau hadis). Tetapi bagi at-Tufi pembagian tersebut tidak ada. Menurutnya, karena tujuan syariat adalah kemaslahatan, segala bentuk kemaslahatan (didukung atau tidak didukung oleh teks suci) harus dicapai tanpa memperincinya seperti di atas.

Selanjutnya, dalam mensyarah hadis Rasulullah SAW yang berarti “dalam Islam itu tidak boleh memudarati dan tidak boleh juga dimudarati orang” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Daruqutni dari Abu Sa‘id al-Khudri [w. 84 H/703 M]) dalam kitab al-Arba‘in an-Nawawiyyah, at-Tufi mengatakan bahwa ada empat hal yang menjadi dasar pendapatnya tentang kemaslahatan.

Pertama, kebebasan akal manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemudaratan di bidang muamalah duniawi. Implikasi dari dasar ini adalah bahwa menentukan sesuatu itu kemaslahatan atau bukan cukup dengan penalaran manusia, tanpa harus didukung wahyu atau hadis. Pendapat at-Tufi ini sangat bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama usul fikih yang menyatakan bahwa kemaslahatan itu harus senantiasa mendapat dukungan dari nas (ayat atau hadis) walaupun hanya secara umum.

Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan dalil tersendiri di luar teks suci (ayat atau hadis). Akibatnya, kemaslahatan tersebut tidak harus didukung teks wahyu atau hadis, baik secara terperinci maupun secara universal; semuanya tergantung pada penalaran akal manusia.

Ketiga, ruang lingkup kajian kemaslahatan tersebut terbatas pada persoalan muamalah duniawi dan adat kebiasaan karena pemilik kemaslahatan dalam bidang ibadah adalah Allah SWT sendiri, sedangkan bidang muamalah duniawi dan adat kebiasaan terkait dengan kemaslahatan manusia sendiri.

Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syarak yang paling kuat. At-Tufi tidak menetapkan bahwa kehujahan kemaslahatan tersebut hanya jika teks ayat atau hadis tidak ada, tetapi sejak semula ia menetapkan bahwa kemaslahatan tersebut adalah dalil yang berdiri sendiri dan merupakan dalil syarak yang paling kuat, sehingga jika terjadi pertentangan teks wahyu atau hadis dengan kemaslahatan yang terkait dengan persoalan muamalah duniawi, harus didahulukan kemaslahatan tersebut melalui jalan takhsis atau bayan (pengkhususan dan penjelasan).

Keempat dasar yang dianut at-Tufi tersebut tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama usul fikih. Bagi at-Tufi, karena dasar syariat Islam itu adalah kemaslahatan sedangkan kemaslahatan itu sendiri dapat dicapai melalui akal, dalam menentukan sesuatu itu maslahat atau mafsadat tidak diperlukan wahyu atau hadis; cukuplah penentuan melalui penalaran akal, karena Al-Qur’an dan sunah itu sendiri berulang kali memberikan dorongan agar manusia mempergunakan akalnya secara maksimal.

Sekalipun terhadap pendapat at-Tufi ini muncul banyak kecaman dari ulama sezaman dan sesudahnya, seperti Muhammad Said Ramadan al-Buti (ahli usul fikih, sekarang guru besar usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damascus) dalam bukunya dawabith al-Maslahah (Kriteria Kemaslahatan) dan Husain Hamid Hasan (guru besar usul fikih di Universitas Umm al-Qura Mekah) dalam bukunya Nazariyyah al-Maslahah fi at-Tasyri‘ al-Islami (Teori Kemaslahatan dalam Syariat Islam), banyak juga yang memuji keberanian at-Tufi, seperti Mustafa Zaid dalam bukunya al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami wa Najm ad-Din ath-thufi (Kemaslahatan dalam Fikih Islam dan Najmuddin at-Tufi).

Prinsip at-Tufi tentang kebebasan akal dalam menentukan hukum terhadap persoalan yang bersifat muamalah duniawi dan adat kebiasaan, yang sebelumnya dicanangkan oleh Imam Abu Yusuf (113 H/731 M–182 H/798 M, seorang sahabat Imam Hanafi) dalam kitabnya al-Kharaj (Pajak) dan Ibnu Taimiyah, banyak mendapat sambutan ulama yang terpanggil untuk menjawab berbagai persoalan sosial masa kini.

Daftar Pustaka

al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. ad-Durar al-Kaminah. Hyderabad: t.p, 1349 H/1930 M.
al-Hanbali, Ibnu Rajab. al-Qawa‘id fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, 1972.
Ibnu al-‘Imad, Abu al-Falah bin Abdul Hayy. Syadzarat adz-dzahab min Akhbar man dzahab. Cairo: Maktabah al-Qudsi, 1930.
Isa, Kamal Muhammad. al-Isyarat al-Ilahiyyah ila al-Mabahits al-Ushuliyyah li Najm ad-Din ath-thufi. Cairo: Jami‘ah al-Qahirah, Kulliyyah Dar al-‘Ulum, 1394 H/1974 M.
Zaid, Mustafa. al-Maslahah fi at-Tasyri‘ al-Islami wa Najm ad-Din ath-thufi. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1384 H/1964 M.

Nasrun Haroen