Dalam bahasa Arab, at-tarkib berarti “menyusun” (susunan, penyusunan), “mengatur” (aturan, pengaturan), atau “mengurutkan” (urutan, pengurutan). Istilah at-tarkib digunakan dalam ilmu nahu (tata bahasa Arab) dan kajian filsafat ilmu, khususnya ilmu mantik (logika), tetapi masing-masing bidang ilmu mengartikannya secara berbeda.
Dalam ilmu nahu, istilah at-tarkib diartikan sebagai suatu ungkapan yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua kata. Ungkapan itu dapat berbentuk frasa maupun kalimat. Lain halnya dalam ilmu mantik, istilah at-tarkib diartikan sebagai ungkapan yang mengandung pengertian yang lengkap dan utuh, yang merupakan penggabungan pengertian dari bagian yang masing-masing bagian sebenarnya memiliki pengertian sendiri yang menyusun ungkapan itu. Contohnya, ungkapan “emas itu logam”.
Ungkapan ini tersusun dari dua kata: emas dan logam. Masing-masing kata itu disebut bagian dari ungkapan dan masing-masing mengandung arti tersendiri. Dari susunan makna bagian tersebut terbentuklah susunan makna yang utuh.
Perbedaan antara keduanya dalam memakai istilah at-tarkib adalah bahwa dalam ilmu nahu yang ditekankan adalah segi susunan katanya tanpa memperhatikan kesempurnaan maknanya, sedangkan dalam ilmu mantik justru yang ditekankan adalah kesempurnaan makna susunan kata dalam kalimat (dari segi kebahasaan, terdapat subjek dan predikat).
Dalam ilmu nahu, at-tarkib terdiri atas dua bentuk.
(1) At-tarkib an-naqis (susunan yang tidak lengkap) adalah suatu susunan ungkapan yang pengertiannya kurang sempurna, contohnya “bangunan indah”. Ungkapan tersebut terasa masih kurang lengkap. Jika dikatakan, “bangunan indah”, maka masih terdapat pertanyaan: bagaimana bangunan indah itu, di mana letaknya, kapan dibangun, dan siapa pemiliknya? Dan masih banyak pertanyaan lain.
(2) At-tarkib at-tamm (susunan yang lengkap) adalah suatu ungkapan yang mengandung suatu pengertian lengkap, contohnya “Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia”. Makna ungkapan tersebut terserap oleh nalar secara sempurna, sehingga tidak perlu mempertanyakannya lagi.
Sekalipun bentuk at-tarkib at-tamm sudah mengandung pengertian yang sempurna, pengertian tersebut masih mengandung dua kemungkinan: benar atau salah. Ungkapan yang demikian itu disebut at-tarkib al-khabari (susunan ungkapan berita) karena berita itu bisa benar, bisa pula salah.
Jika pengertian yang dikandung suatu ungkapan itu sesuai dengan kenyataan, ungkapan tersebut di pandang benar. Sebaliknya, jika pengertian yang dikandung ungkapan itu tidak sesuai dengan kenyataan, ungkapan tersebut dipandang salah.
Namun demikian, terdapat pula bentuk ungkapan yang tidak mengandung benar atau salah, yang disebut at-tarkib al-insya’i. Ungkapan ini terdiri dari ungkapan berbentuk perintah, larangan, pertanyaan, ajakan, panggilan, dan takjub.
Kajian tentang istilah at-tarkib dalam ilmu mantik berasal dari pemikiran logika Aristoteles (384–322 SM), filsuf klasik Yunani, yang kemudian dikembangkan para ahli mantik muslim.
Menurut Aristoteles, ungkapan itu dapat dibagi dua, yaitu al-mufrad (ungkapan yang hanya mengandung satu makna) dan at-tarkib (ungkapan yang mengandung beberapa makna sesuai dengan kata yang terdapat dalam ungkapan itu, tetapi antara satu kata dan kata yang lain terbentuk makna umum). Namun, di antara para ahli mantik muslim, ungkapan ini dikembangkan menjadi tiga, yang disebut at-ta’lif, yaitu ungkapan yang setiap bagiannya mempunyai makna tersendiri.
Tiga bentuk at-tarkib menurut para ahli mantik muslim tersebut adalah sebagai berikut:
(1) at-tarkib al-idafi, yakni penyandaran suatu lafal kepada lafal lain, yang membentuk satu makna tersendiri, contohnya “Anak si Zaid”;
(2) at-tarkib at-taqyidi, yakni penyandaran suatu sifat kepada suatu lafal; dengan kata lain, ungkapan itu terdiri dari na‘t (sifat) dan man‘ut (yang disifati), contohnya “Manusia adalah binatang yang berbicara” dan
(3) at-tarkib al-isnadi, yakni bentuk ungkapan yang terdiri dari subjek dan predikat, contohnya “Emas adalah logam”.
Istilah at-tarkib dipakai para ahli mantik muslim karena terkait dalam pemahaman logis dan kebahasaan terhadap lafal Al-Qur’an dan hadis. Mereka mengembangkan kajian ini sesuai dengan watak bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an dan hadis.
Daftar Pustaka
Abdul Mu‘in, Muhammad Taib Thahir. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: Wijaya, 1981.
al-Afghani, Sa‘id. Min Tarikh an-Nahw. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Daif, Syauqi. al-Madaris an-Nahwiyyah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1976.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Mi‘yar al-‘Ilm. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
an-Nasysyar, ‘Ali Sami. Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkir al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947.
Yunasril Ali