Asy-Syatibi

(w. Granada, Spanyol, 8 Syakban 790/1380 M)

Asy-Syatibi (nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Garnati) adalah seorang ahli usul fikih dan ahli bahasa Arab abad ke-8 H/14 M dan ulama terkemuka Mazhab Maliki. Tanggal serta tahun kelahirannya­ dan latar belakang keluarganya­ tidak diketahui. Se­jauh dapat dilacak, ia berasal dari keluarga Arab, suku Lukhmi. Nama “asy-Syatibi” diambil dari negeri asalnya, yaitu Syatibah (Xativa atau Jativa di Spanyol­ timur)­.

Nama asy-Syatibi dinisbahkan­ ke Jativa, namun ia diduga­ tidak lahir di sana, karena me­nurut catatan sejarah, kota itu berada di bawah kekuasaan Kristen. Penganut Islam telah diusir dari kota itu sejak 645 H/1247 M, sekitar satu abad sebelum kelahiran asy-Syatibi. Kemungkinan­ besar keluarganya pergi meninggalkan negeri itu dan menetap di Granada. Dengan demikian dapat diduga bahwa ia lahir ke­tika Sultan Yusuf I (Yusuf Abu al-Hajjaj, 1334–1354) memerintah Granada.

Seperti tanggal kelahirannya, masa pendidikannya­ juga tidak diketahui dengan jelas. Namun perlu dicatat bahwa pada masa hidupnya, Granada dikenal sebagai pusat pendidi­kan Islam di Spanyol. Di kota itu terdapat Universitas­ Granada, yang didirikan­ pada masa pemerintahan Sultan Yusuf I. Ka­ rena itu diduga ia mendapatkan pendidikan­ di universitas tersebut.

Ada beberapa nama yang tercatat sebagai guru­nya, antara lain Ibnu al-Fakhkhar al-Ilbiri (w. 754 H/1353 M), Abu Abdullah al-Balinsi, dan Abu al-Qasim as-Sabti (w. 760 H/1358 M) dalam bidang bahasa Arab; Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Maliki at-Tilimsani­ (w. 771 H/ 1369 M), Imam al-Maqarri (datang ke Granada pada 757 H/1356 M), dan al-Khatib bin Marzuq dalam bidang usul fikih.

Guru lainnya Abu Ali al-Mansur al-Masyzali (w. 770 H/1369 M, berkunjung ke Granada pada 753 H/1352 M) dalam bidang filsafat dan ilmu kalam; dan Abu al-Abbas al-Qabab dan Abu Abdullah al-Hifar dalam bidang ilmu kal-am dan teolo­gi­. Salah seorang rekan seangkatannya adalah Ibnu Khaldun (1332–1406), yang hijrah ke Granada dari Fèz, Maroko, pada 1352.

Ia menulis beberapa buku dalam bidang sastra Arab dan usul fikih. Buku karya Imam asy-Syatibi yang dapat dilacak sampai saat ini ada enam, yaitu: Syarh al-Jalil ‘ala al-Khulafah fi ‘Ilm an-Nahw (tentang bahasa Arab), al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah (tentang usul fikih), al-I‘tisam (membahas al-masla­hah al-mursalah dan istihsan serta perbedaan­ nya dengan bid’ah), al-Ifadhat wa al-Insyadhat (tentang syair-syair bahasa Arab), ‘Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq (mengenai bahasa Arab), dan Usul an-Nahw (mengenai bahasa Arab).

Buku al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah dan al-I‘tisam merupakan karya monumental Imam asy-Syatibi dan beredar luas serta dijadikan rujukan­ di berbagai perguruan tinggi Islam sampai sekarang­. Al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah diterbitkan pertama kali di Tunisia 1302 H/1884 M dan diedit oleh Salih al-Qa’iji, Ali asy-Syanufi, dan Ahmad al-Wartatani. Kemudian buku ini dicetak ulang pada tahun 1327 H/1909 M.

Buku ini juga diedit oleh Hasanain Muhammad Makhluf dan juga oleh Abdullah Darraz (w. 1351 H/1932 M), yang sering dijadikan rujukan. Adapun al-I‘tisam diterbitkan per-tama kali oleh penerbit Mustafa Muhammad di Mesir. Pada 1915 buku ini diterbitkan kem­bali se­telah diedit Muhammad Rasyid Rida.

Dalam dunia keilmuan, Imam asy-Syatibi lebih dikenal sebagai seorang pakar usul fikih yang memiliki­ analisis­ dan ketajaman pandangan. Jika usul fikih sebelumnya­ lebih banyak menguraikan aspek bahasa dengan kaidahnya dan sedikit sekali mem­bahas persoa­lan maqasid asy-syari‘ah (tujuan yang hendak dicapai dalam mensyariatkan hukum), Imam asy-Syatibi muncul dengan pembahasan­ yang lebih luas, komprehensif, dan tajam mengenai­ aspek maqasid asy-syari‘ah.

Sekalipun ia berbicara tentang aspek bahasa, pembahasan dan analisisnya senantiasa terkait dengan persoalan maqasid asy-syari‘ah. Menurutnya, setiap agama yang diturunkan­ Allah SWT senantiasa bertujuan untuk kemaslahatan­ umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan dunia itu sendiri bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat­. Oleh sebab­ itu, setiap mukalaf (orang yang dibebani hu­kum) harus senantiasa mempertim­bangkan setiap perbuatannya dari sisi maslahat dan mudaratnya serta harus senantiasa mengam­bil yang bersifat mas­lahat/manfaat.

Dalam kaitannya dengan tema sentral kedua buku besarnya itu, yaitu persoalan maslahat,­ ia membagi ijtihad menjadi dua bentuk: ijtihad istinbati dan ijtihad tatbiqi.

Ijtihad istinbati adalah usaha seorang mujtahid menge­rahkan kemampuan nalarnya untuk memahami­ kandungan ayat atau hadis Rasulullah SAW sehingga ia dengan tepat dapat menangkap ide yang dikandung teks tersebut.

Dalam ijtihad bentuk pertama ini, seorang mujtahid belum berha­ dapan dengan objek hukum. Setelah seorang mujtahid berhasil menangkap ide yang dikandung teks wahyu atau hadis, ia akan berhadapan dengan persoalan bagaimana menerap-kan ide/hukum­ ini kepada objek hukum yang dihadapi.

Jika hukum yang dihasilkan seorang mujtahid tersebut dengan mulus dapat diterapkan pada objek hukum, tidak muncul persoalan. Artinya, hukum tersebut dapat diterapkan dengan baik. Persoalan akan muncul jika ide hukum yang dihasilkan melalui­ ijtihad tersebut, ketika diterapkan kepada objek hu­ kum ternyata menimbulkan­ persoalan hukum lainnya, yang kadang-kadang dapat lebih berat dari sekadar menerapkan ide hukum hasil ijtihad tersebut.

Misalnya dalam surah at-Talaq (65) ayat 2, Allah SWT ber­firman, “…Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu (dalam kasus perceraian)­ dan hendaklah­ kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” Dari ayat ini seorang mujtahid me­ngetahui bahwa saksi tersebut harus orang yang adil.

Sifat adil inilah yang akan diterapkan pada seseorang. Dalam kenyataannya sifat keadilan ini tidak dapat dilekatkan kepada setiap orang, karena kualitas keadi­lan seseorang amat relatif. Oleh sebab itu ide adil yang dikandung ayat tersebut bisa tidak sejalan tatkala diterapkan dalam kenyataan­.

Contoh lain, sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam hal gugatan perkara, pihak peng­gugat harus dapat mendatangkan alat bukti dan pihak tergugat harus disum­ pah jika ia mengingkari gugatan. Pernyataan ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW dari Abdullah­ bin Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah.

Dalam kaitannya dengan kan­dungan hadis atau kaidah di atas, jika antara seorang­ pembeli dan seorang penjual barang terjadi perbedaan pendapat tentang harga barang yang akan dijual/dibeli; pembeli mengatakan akan membayar harga barang tersebut menurut ke­hendaknya apabila barang sudah diserahkan, dan penjual demikian juga menuntut harga yang diingininya­ dari pembeli sehingga­ ia mau menyerahkan barang tersebut.

Dalam kasus ini seorang mujtahid sulit untuk menentukan siapa yang penggugat,­ yang harus mengemukakan­ alat bukti, dan siapa yang tergugat yang dikenakan­ sumpah apabila ia mengingkari­. Oleh sebab itu kandungan hadis atau kai­dah umum tersebut­ tidak dapat diterapkan dan harus dicarikan jalan keluarnya sehingga sesuai dengan­ tujuan syariat.

Dalam kaitan dengan inilah ulama Mazhab Hanafi melihat bahwa dalam kasus tersebut keduanya (penjual dan pembeli) sama-sama penggugat dan tergugat dalam waktu yang bersamaan. Karenanya kedua belah pihak harus mengemukakan alat bukti dan sekaligus dikenakan sumpah.

Kedua kasus yang dikemukakan di atas menunjukkan­ bahwa tidak selamanya hasil ijtihad yang diperoleh seorang mujtahid dalam penerapannya harus diberlakukan sebagai­ mana adanya, karena dalam realitasnya akan ditemui kendala lain yang mesti dipertimbangkan­ dalam menerap­kan hukum. Dalam kaitan inilah Imam asy-Syatibi secara panjang­ lebar membahas ijtihad tatbiqi.

Ijtihad tatbiqi mengandung pengertian bahwa dalam penerapan ide hukum, seorang mujtahid harus melakukan ijtihad lain yang juga tidak kalah pentingnya dengan ijtihad istinbati yang disebutkan di atas. Dalam ijtihad tatbiqi persoalan maqasid asy-syari‘ah menjadi acuan utama dalam menerapkan­ suatu hukum.

Dalam ijtihad tatbiqi ini ia kelihatan­ sangat memperhatikan kondisi sosio-kultural dan politik dalam menerapkan suatu hukum. Di sinilah letak kelebihan Imam asy-Syatibi dibandingkan­ dengan para ahli usul fikih lainnya, sehingga­ ada ungkapan bahwa jika Imam Syafi‘i telah­ meletakkan dasar yang kokoh bagi usul fikih, Imam asy-Syatibi adalah pengembangnya.

Daftar Pustaka

Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1974.
al-Maraghi, Abdullah Mustafa. al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Usuliyyin. Cairo: Muhammad Amin Damj wa Syuraka’uh, 1394 H/1974 M.
Maud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy. Islamabad:­ Islamic Research Institute, 1977.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-I‘tisam. Cairo: at-Tijariyyah al-Kubra, t.t.
–––––––. al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1975.
–––––––. Tuhfah adz-Zakirin. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Nasrun Haroen