Asy-Sya’rawi, Mutawalli

(Mesir, 1912–Mesir, 1998)

Mutawalli asy-Sya‘rawi adalah seorang ulama besar Mesir kontemporer yang terkenal karena ceramah dan tulisannya, serta mantan menteri­ Agama Mesir. Sejak berusia muda asy-Sya’rawi dikenal sebagai orang yang berjiwa revolusioner. Ia adalah pelopor berdirinya Bank Islam Faisal di Mesir pada awal 1987.

Mutawalli asy-Sya‘rawi menyelesaikan pendidikan menengah pada Perguruan az-Zaqaziq, kemudian mene­ruskan ke Universitas al-Azhar (Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab) di Cairo dan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Meskipun lulus dari jurusan­ sastra Arab, ia amat menggandrungi tasawuf.

Ketika masih di Universitas al-Azhar, ia pernah mem-impin gerakan protes terhadap rektornya, Syekh Muhammad Ahmad az-Zawahir, karena para alumni yang mengajar di universitas tersebut digaji sangat rendah. Akibat protes itu az-Zawahir dicopot dari jabatannya­ dan digantikan Syekh Mu-hammad Mustafa al-Maraghi. Gaji pengajar pun dinaikkan.

Pada awal 1970 ia bermukim di Arab Saudi selama­ beberapa tahun. Ia kembali ke Mesir pada masa pemerintahan­ Anwar Sadat. Selanjutnya­ pada 1976 ia diangkat menjadi menteri agama. Ja­batan ini dipegangnya sampai 1978. Sejak di Arab Saudi, nama asy-Sya‘rawi sudah dikenal melalui cera­ mah dan tulisannya.

Mutawalli asy-Sya‘rawi memiliki kemampuan istimewa dalam hal berbicara dan me­nulis. Dalam ceramahnya ia dapat menguraikan dan memecahkan persoalan rumit dan penuh­ rahasia tentang keimanan, ibadah, hadis, hu­kum, akhlak, dan muamalah.

Karena itu, ceramah yang di­sampaikannya, baik secara langsung di hadapan­ publik maupun melalui radio dan televisi, senantiasa­ menarik hati pendengarnya yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat,­ kalang­an tradisionalis mau­ pun modernis. Ceramah­nya­ sebagian besar diterbitkan­ dalam bentuk buklet berseri.

Mutawalli asy-Sya‘rawi sering di­ undang ke berbagai perguruan­ tinggi di Eropa dan Amerika untuk ber­ ceramah tentang Islam dalam kaitan­ nya dengan kehidupan modern. Ia mempunyai wawasan yang luas ten­ tang kedokteran,­ astronomi, dan bi­ dang eksakta lainnya.

Karena ceramahnya yang menarik mengenai masalah perbankan Islam, ia kemudian diangkat sebagai ketua se­ buah panitia konsultatif yang dibentuk­ gubernur Bank Sentral Mesir. Tujuan utama panitia ini adalah menyelesai­­ kan masalah yang terdapat dalam al-Masraf al-Islami ad-Dauli (Badan Keuangan­ Negara), menengahi perselisihan­ di antara dewan direkturnya, dan mengawasi ciri-ciri Islam dalam tindakan badan keuangan tersebut.

Pengalamannya sebagai konsultan masalah perbankan memberi inspirasi­ kepadanya untuk mendirikan­ sebuah bank Islam di Austria pada 1986. Kemudian pada awal 1987 ia memelopori berdirinya­ Bank Islam Faisal di Mesir (Bank Faisal al-Islami fi Misr).

Ia termasuk ulama penulis yang produktif. Kemam­puannya mengung­kapkan pikiran dalam bentuk­ tulisan ternyata mengimbangi kemampuan­ retorikanya yang mengagumkan. Ia banyak menulis pada berba­gai majalah dan surat kabar, antara lain Liwa’ al-Islam (Bendera Islam), Minbar al-Islam (Mimbar Islam), al-Mukhtar (Pilihan), al-I‘tisam (Pedoman), dan al-Ahram (Piramida).

Karyanya dalam bentuk buku juga sangat banyak, yang paling­ digemari­ adalah tafsir Al-Qur’an. Di Indonesia telah banyak bukunya diterbitkan dalam bentuk terjemahan, antara lain Anda Bertanya Islam Menjawab (5 jilid), Bukti-Bukti Ada­nya Allah, Menghadapi Hari Kiamat, Islam di Antara Kapitalisme dan Komunisme, Ilmu Gaib, Jiwa dan Se­ma­ngat Islam, Menjawab Keraguan Musuh-Musuh Islam, Qada dan Qadar, Sihir dan Hasut, Wanita dalam Qur’an, dan Wanita Harapan Tuhan.

Pemikiran asy-Sya‘rawi diuraikan dengan jelas dalam bukunya al-Mukhtar min Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim (Pilihan dari Tafsir Al-Qur’an). Tentang ibadah, umpamanya, ia menjelaskan bahwa tujuan ibadah dalam Islam adalah takwa. Seseorang yang bertakwa akan selalu mengikuti sifat Tuhan sehingga akan terhindar dari berbagai godaan duniawi­.

Allah SWT mewajibkan manusia beribadah­ setelah manu-sia diberi sarana berupa bumi untuk ditempati, akal untuk berpikir, dan sejumlah sarana lainnya. Karena itu, Allah SWT berhak menyuruh manusia­ beribadah, dengan tujuan agar manusia itu sendiri terhin­dar dari segala hal yang me­rugi­kannya di dunia dan di akhirat.

Ketika pemerintah Mesir menarik­ pajak dari rakyat untuk ke­pentin­gan pembangunan nasional, sebagian ulama menetapkan bahwa rakyat boleh membayar pajak dari uang zakat. Akan tetapi ia dengan gam­blang menjelaskan­ bahwa sama sekali­ tidak ada hubungan antara pajak dan zakat. Menurutnya,­ pajak adalah kewajiban­ tiap warga negara, sedangkan­ zakat adalah pajak kemanusiaan.

Sasaran utama dari pemberian zakat adalah para fakir miskin dan anak yatim. Uang zakat digunakan untuk menanggulangi kemelaratan, kelaparan,­ dan kemiskinan. Kalau sasaran utama ini sudah tercapai dan uang zakat masih berlebih, kelebihan itu boleh dialihkan untuk kepentingan­ lainnya.

Meskipun pembangunan dilak-sanakan untuk semua golong­an, kaya atau miskin, dalam prakteknya­ pembangunan itu, misalnya pembangunan jalan raya, jembatan, irigasi, dan perguruan tinggi, lebih banyak dinikmati­ golongan kaya. Karena itu, pajak tidak dapat diambil dari uang zakat dengan dalih untuk kepentingan pemba­ ngunan. Pemerintah­ hendaknya mencari sumber lain selain pajak untuk membiayai pembangunan.

Pandangannya dalam bidang teologi sangat dipengaruhi­ paham Asy‘ariyah. Ini dapat dite­lusuri dalam bukunya al-Qadha’ wa al-Qadar (Kada dan Kadar). Di sana ia menge­mukakan bahwa manusia­ bukanlah pencipta hakiki dari perbuatannya­ (fi‘l), sebab kata fi‘l mengandung pengertian­ pengerahan­ kekuatan untuk melahirkan sesuatu (kejadian)­ yang sebelumnya tidak ada.

Dalam upaya mewu­judkan suatu perbuatan, diperlukan minimal tujuh unsur sebagai syarat, yaitu kekuatan, akal yang merencanakan, pengerahan tenaga, substansi perbuatan itu sendiri, dimensi waktu, dimensi ruang, dan alat.

Ternyata­ tak satu pun dari ketujuh unsur tersebut yang merupakan hasil cip­taan manusia. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa­ manusia tidak bebas dalam berbuat; ia hanya dapat memilih antara dua alternatif,­ yaitu berbuat atau tidak berbuat.

Tentang perlunya rasul diutus kepada manusia, ia menjelaskan bahwa tujuan pengutusan rasul ada­lah untuk menyampaikan dan menerangkan kepada­ manusia­ jalan ketaatan kepada Allah SWT.

Para rasul hanya bertugas menyampaikan ajaran Allah SWT dan mereka tidak berpretensi­ untuk me­ maksa manusia melaksanakan ajaran tersebut. Ka­lau Allah SWT menghendaki, bisa saja Ia memaksa­ manusia untuk beriman kepada-Nya. Akan tetapi, Allah SWT menghendaki agar manusia datang kepada-Nya dengan pilihan hatinya sen­ diri. Itulah perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya.

Daftar Pustaka

Jansen, Johannes J.G. Khotbah Syekh Sya‘rawi: Signifikansi­ Politiknya, terj. Jakarta: INIS, 1990.
Sya‘rawi, Mutawalli. Anda Bertanya Islam Menjawab, terj. Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
–––––––. Menghadapi Hari Kiamat, terj. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.

Musdah Mulia