Syihabuddin as-Suhrawardi adalah seorang sufi dan filsuf Syiah yang bergelar Syaikh al-Isyraq (Guru Pencerahan) karena filsafat isyraqiyyah (iluminasi)-nya. Segalanya berasal dari Nur al-Anwar (Cahaya Mutlak). Kosmos diciptakan Tuhan (sebagai cahaya tertinggi) melalui penyinaran. Manusia juga dicipta melalui proses penyinaran –mirip filsafat emanasi al-Farabi– sehingga manusia dimungkinkan bersatu dengan Tuhan.
Sejak berusia muda, as-Suhrawardi dikenal sebagai seorang jenius yang haus ilmu pengetahuan. Berbagai negeri di sekitar Persia dijelajahinya untuk menimba ilmu. Ia sangat tertarik dengan persoalan filsafat dan tasawuf. Ia hidup secara asketik.
Pengembaraannya berakhir di Aleppo (Haleb), Suriah, ketika Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (532 H/1138 M–589 H/1193 M), seorang penguasa yang amat cinta kepada para sufi dan cendekiawan, memintanya untuk menyumbangkan ilmunya di Aleppo.
Akan tetapi, as-Suhrawardi mendapat serangan gencar dari para fukaha setempat karena ajarannya dianggap sesat. Ia juga difitnah merongrong kekuasaan Sultan. Akhirnya, atas desakan para fukaha, Sultan Salahuddin memenjarakannya di Aleppo.
Pada 1191 as-Suhrawardi dijatuhi hukuman mati. Salah satu ajarannya yang dianggap sesat oleh fukaha adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa masih ada kemungkinan Tuhan mengutus nabi baru sesudah Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan ini dianggap bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 40, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi. Atas pendapat ini, ulama menuduhnya sebagai seorang zindik yang menyesatkan umat.
As-Suhrawardi sendiri mendasarkan pendapatnya itu pada konsep kemahakuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Konsep itu memberi peluang akan datangnya nabi baru. Akan tetapi nabi baru itu, menurutnya, tidak harus membawa syariat baru pula.
Ia adalah manusia pilihan Tuhan yang dapat berkomunikasi dengan-Nya yang oleh as-Suhrawardi disebut sebagai failsuf isyraqi (pencerah). Lebih dari itu, ia berpendapat bahwa derajat failsuf isyraqi lebih tinggi dari para nabi karena merupakan qutb al-waqt (poros waktu) sepanjang zaman, sebagai dasar kesinambungan wahyu, sehingga risalah tidak terhenti setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Selain itu fukaha pun menuduhnya terlibat dalam gerakan Qaramitah (salah satu sekte dalam Syiah), baik secara teologis maupun secara politis. Dalam kaitan ini, fukaha melihatnya telah mengemukakan ajaran yang juga mereka anggap sesat. Ajaran itu menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya tertinggi yang tiada bandingannya. Para nabi dan imam mendapatkan pancaran cahaya itu dari Tuhan.
Dengan cahaya pancaran dari Tuhan ini, para nabi dan imam memiliki daya adikodrati yang tidak dipunyai manusia biasa, yakni dapat mengetahui hal gaib, mampu menimbulkan kekuatan dahsyat yang tidak mampu ditundukkan apa pun, dan dapat mengetahui sesuatu yang belum atau akan terjadi.
Di samping itu, as-Suhrawardi bersama dengan Qaramitah dan Hasyasyin (sekte Syiah lainnya) secara politis dituduh telah merongrong kekuasaan Sultan Salahuddin, padahal Sultan sendiri menganut dan membela paham Suni serta berusaha menegakkan hegemoni Suni di seluruh wilayah kerajaannya.
Inti ajaran filsafat isyraqiyyah yang dibawa as-Suhrawardi adalah bahwa sumber segala sesuatu yang ada (al-maujudat) adalah Nur al-Anwar (Cahaya Mutlak atau Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran, karenanya kosmos terdiri atas tingkatan pancaran cahaya.
Cahaya yang tertinggi, sebagai sumber segala cahaya itu, dinamakan Nur al-Anwar, dan itulah Tuhan Yang Abadi. Manusia berasal dari Nur al-Anwar melalui proses penyinaran yang hampir sama dengan proses emanasi (al-faidh) dalam filsafat al-Farabi (257 H/870 M–339 H/950 M). Dengan demikian, manusia dan Tuhan mempunyai hubungan timbal balik, dan dari paradigma ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara manusia dan Tuhan (ittihad).
Penggunaan kata al-isyraq (timur) dalam filsafat as-Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama muncul dari matahari yang terbit dari timur; sedangkan dalam dunia akal (nonempiris) kata al-isyraq dimaksudkan sebagai saat munculnya pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya akal yang menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruh indriawi.
Dengan demikian, kata al-isyraq dipergunakan sebagai simbol al-kasyf (pancaran batin) dan al-musyahadah (penglihatan secara mistik). Dalam hal ini as-Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan dan kontemplasi.
Dengan kata lain, as-Suhrawardi memadukan daya rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf). Sebagai seorang sufi dan filsuf, as-Suhrawardi banyak menghasilkan karya ilmiah. Dalam hidupnya yang relatif singkat, hanya sampai 38 tahun, ia menghasilkan 50 karya ilmiah dalam bentuk buku, baik yang besar maupun yang kecil.
Di antara karya besarnya yang berkaitan dengan filsafat isyraqiyyah adalah buku at-Talwihat (Kedekatan), al-Muqawamat (Tambahan), al-Masyari‘ wa al-Mutarahat (Jalan dan Tempat Berlabuh), dan karya monumentalnya Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi/Pencerahan).
Di samping itu, as-Suhrawardi juga menulis risalah pendek yang juga berisi doktrin filsafat, antara lain Hayakil an-Nur (Bangunan Cahaya), I‘tiqad al-Hukama‘ (Keyakinan para Filsuf), dan Bustan al-Qulub (Taman Hati).
Ia juga menulis buku kecil dalam bentuk hikayat yang bersifat simbolis, mistis, dan filosofis, seperti Risalah fi Hayat ath-Tufuliyyah (Risalah mengenai Kehidupan Masa Kanak-Kanak); kemudian dalam bentuk wirid dan doa, seperti al-Waridat wa at-Taqdisat (Wirid dan Penyucian).
Selain itu, ada juga karyanya yang bersifat komentar terhadap karya Ibnu Sina (370 H/980 M–428 H/1037 M), seperti Risalah at-Tair (Risalah/Kabar Burung), al-Isyarah wa at-Tanbihat (Isyarat dan Peringatan), dan Risalah al-’Isyq (Risalah Rindu).
Daftar Pustaka
Abu Rayyan, Muhammad Ali. al-Falsafah al-Islamiyyah. Iskandariyah: Dar al-Qaumiyah, 1968.
Ansari, Muhammad Abd al-Haqq. Sufism and Shariah, London: The Islamic Foundation, 1986.
Cahallab, Muhammad. at-Tasamuh al-Islami. Cairo: Lajnah Ta‘rif bi al-Islam, 1968.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1974.
Mahmud, Abdul Qadir. al-Falsafah as-Sufiyyah fi al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1966.
Thackston, W.M. The Mystical and Visionary Treatises of Suhrawardi. London: The Degaton Press, 1982.
Nasrun Haroen