Sufyan as-Sauri adalah seorang tabiin, perawi hadis, dan sufi yang warak serta zuhud. Dalam tasawuf ia termasuk ulama panutan para sufi dan ahli fikih yang mencapai derajat mujtahid mutlak, setingkat dengan imam mujtahidin lain. Hasil ijtihadnya pernah berkembang di Kufah, Basrah, dan daerah sekitarnya selama 2 abad. Penganut mazhabnya antara lain adalah al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/910 M), sufi besar Irak.
Sufyan as-Sauri banyak meriwayatkan hadis sehingga mendapat gelar kehormatan Amir al-Mu’minin fi al-hadits (gelar kehormatan tertinggi ahli hadis). Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa‘id bin Masruk as-Sauri al-Kufi. Ayahnya, Sa‘id, adalah seorang ulama yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang fikih, hadis, dan tasawuf.
Oleh sebab itu, Sufyan diharapkan menjadi penggantinya. Untuk itu semenjak kecil Sufyan telah dididik dengan baik. Setelah mengetahui dasar ilmu agama dari ayahnya, Sufyan mulai menuntut ilmu dari ulama yang terkenal di Kufah dan sekitarnya. Kemudian ia keluar dari Kufah menuju Basrah. Di sana ia belajar kepada al-Hasan al-Basri (w. 110 H/729 M), seorang sufi besar Basrah (Irak) yang zuhud dan warak.
Sufyan as-Sauri banyak dipengaruhi al-Hasan al-Basri. Hal ini tampak dalam beberapa peristiwa penting yang ditempuhnya dengan penuh risiko. Ada satu peristiwa yang dicatat para penulis biografinya, yakni ketika al-Mahdi diangkat sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah (159 H/775 M), Sufyan as-Sauri diminta memegang jabatan hakim agung.
Menurut pertimbangan al-Mahdi, ia adalah seorang ahli hukum Islam yang ulung pada waktu itu dan sejak masa sebelumnya dekat dengan al-Mahdi. Tetapi ternyata ia menolak jabatan itu, sehingga al-Mahdi tersinggung dan tidak dapat menahan amarah. Al-Mahdi memerintahkan amir Mekah, Muhammad bin Ibrahim, untuk menyalibkan Sufyan as-Sauri.
Tetapi amir Mekah tidak melaksanakan perintah itu. Ia hanya memberi peringatan kepadanya agar waspada dan berusaha menyembunyikan diri. Karena ancaman yang membahayakan dirinya, ia meninggalkan Mekah menuju Basrah. Di sana ia tinggal bersama Yahya bin Sa‘id (w. 198 H/814 M), ahli dan periwayat hadis.
Ketika berada di kota itu, ia didatangi sejumlah ulama yang ingin mempelajari dan menerima hadis darinya. Ketika itu Hamad bin Zaid (w. 179 H/796 M), seorang ahli hadis, mengirim surat kepada Sufyan as-Sauri. Ia meminta Sufyan kembali ke Baghdad. Namun, sebelum sempat pergi ke Baghdad, ia jatuh sakit dan wafat dalam usia 64 tahun.
Selain ahli fikih dan tasawuf, Sufyan as-Sauri termasuk penganut paham Sifatiyyah. Menurut paham tersebut, sifat Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat diyakini melalui makna lahir dalam teks. Karena mendasarkan pendapatnya pada sunah Nabi SAW, ia dimasukkan pula dalam golongan Ahlusunah waljamaah.
Sufyan as-Sauri melontarkan pandangan penting sehubungan dengan masalah akidah, fikih, dan jihad, antara lain sebagai berikut:
(1) Al-Qur’an bukan makhluk, tetapi kadim.
(2) Setiap orang wajib meyakini adanya kadar.
(3) Ucapan, perbuatan, dan niat merupakan hal yang dimiliki imam, yang mungkin dapat berkurang dan dapat pula bertambah.
(4) Membaca basmalah pada surah al-Fatihah dengan suara rendah lebih baik daripada suara keras.
(5) Dalam salat Jumat dan salat id dibolehkan mengikuti imam mana saja. Tetapi, dalam salat lain ditegaskan bahwa yang boleh diikuti hanya imam yang diyakini kewarakannya dan berasal dari golongan Ahlusunah waljamaah.
(6) Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman.
(7) Setiap orang wajib menaati pemimpin, baik yang berlaku adil maupun tidak. Semasa hidupnya, Sufyan as-Sauri menulis beberapa buku, antara lain al-Jami‘ al-Kabir, al-Jami‘ ash-shagir, dan Tafsir Al-Qur’an. Namun, tak satu pun yang sampai pada kita.