As-Sakhawi adalah seorang ahli hadis, ulama produktif, dan sejarawan besar Mesir pada abad ke-15. Nama lengkapnya adalah Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakr bin Usman asy-Syakhawi al-Qahiri asy-Syafi‘i. Ia termasuk pengarang yang produktif dan menghasilkan puluhan judul buku.
As-Sakhawi dilahirkan di as-Sakha, sebuah perkampungan di Cairo, Mesir. Kakeknya orang miskin, hidup dari berdagang barang tenunan secara kecil-kecilan. Meskipun demikian, kakeknya rajin menghadiri majelis taklim. Ayahnya, Abdurrahman, juga demikian; di samping berdagang kecil-kecilan juga sering menghadiri majelis taklim.
Ia banyak berhubungan baik dengan ulama, antara lain Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadis yang juga sejarawan. Dari mereka inilah as-Sakhawi pertama-tama menuntut ilmu, terutama sekali kepada Ibnu Hajar yang sangat mencintainya.
Ahli hadis dan sejarawan itu berhubungan baik dengan ayah as-Sakhawi, di samping itu rumah mereka berdekatan. Semua gurunya itu disanjung dalam kitabnya ad-dau’ al-Lami‘ li Ahl al-Qarn at-Tasi‘ (Cahaya Gemerlap bagi Masyarakat Abad ke-9 H).
Sewaktu belajar kepada Ibnu Hajar, as-Sakhawi mengkaji tulisan dalam berbagai bidang ilmu seperti hadis, sejarah, dan biografi. Sebagaimana gurunya, ia banyak menulis biografi para tokoh, terutama untuk kepentingan seleksi hadis.
Selain itu ia juga menulis kritik tentang hadis yang diriwayatkan para tokoh itu. Dalam hal ini ia banyak menimba ilmu dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang memang tidak pernah lupa mengirimkan pembantunya untuk membacakan karyanya kepada as-Sakhawi, apabila ia sendiri berhalangan.
Tentang muridnya yang satu ini, Ibnu Hajar berkata, “Dia, yang masih muda ini, karena kesungguhan, ketekunan, kehati-hatian, dan daya kritiknya, mengungguli murid-murid yang lebih senior”. Oleh karena itu, tidak heran apabila Ibnu Hajar di masa tuanya mengangkat muridnya yang cerdas ini menjadi asisten dalam memberi pelajaran hadis.
Ketika Ibnu Hajar meninggal dunia pada 1449, as-Sakhawi begitu terpukul. Ia bermaksud meninggalkan Mesir dan hijrah ke Suriah dengan maksud untuk belajar kepada guru terkenal di sana. Akan tetapi, kedua orangtuanya mencegah maksudnya itu.
Karena itulah ia tetap tinggal di Mesir dan terus melanjutkan studi dalam bidang hadis. Untuk studinya itu, ia melakukan banyak pengembaraan dari satu kota ke kota besar lain di Mesir, seperti Dimyath, Manuf, dan Iskandariyah. Sementara itu, ia juga berusaha untuk mendapatkan tugas dalam pengajaran hadis di Cairo, dengan meminta bantuan dari kawan Ibnu Hajar.
Pada 1452 as-Sakhawi menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama beberapa tahun serta berziarah ke Madinah. Sejak 1453 ia berpindah-pindah antara Mesir, Suriah, dan Hijaz. Ia menunaikan ibadah haji sebanyak lima kali, yang terakhir pada 1492.
Setiap kali naik haji, ia selalu bermukim beberapa saat di Mekah, setelah itu menetap di Mesir untuk mengajarkan hadis di beberapa madrasah di Cairo. Pada masa itulah ia menulis banyak karangan. Ketika ia ditugaskan untuk memberi pelajaran sejarah kepada sultan Dinasti Mamluk, Qait Bey (1468–1496), 2 malam dalam seminggu, ia menolak.
Bahkan as-Sakhawi juga menyatakan keberatannya ketika Sultan berharap agar as-Sakhawi bersedia menerima Sultan sebagai murid khusus yang akan hadir ke kediamannya. Namun, beberapa anak Sultan terus menghadiri pengajiannya.
As-Sakhawi banyak meninggalkan karangan, antara lain sebagai berikut. (1) Ad-dau’ al-Lami‘ fi A‘yan al-Qarn at-Tasi‘ (Cahaya Gemerlap tentang Tokoh Abad ke-9 H), 12 jilid. Buku ini adalah kamus yang memuat tokoh terkenal abad ke-9 H, disusun secara alfabetis (Arab).
Satu jilid khusus berisi tokoh wanita. Karena demikian panjangnya karangan itu, ada dua orang sejarawan di kemudian hari yang membuat ringkasan dari bukunya itu, yakni Ibnu Abdus Salam (w. 931 H/1525 M) dengan karyanya al-Badr ath-talib min ad-dau’ al-Lami‘ (Purnama Penuntut dari Cahaya Gemerlap) dan Zainuddin asy-Syima’i al-Halabi (w. 936 H/1530 M) dengan karyanya al-Qabs al-hawi li Gurar dau’ as-Sakhawi (Api Unggun Peliput bagi Penuntut Pemula Kitab Cahaya Karya as-Sakhawi).
(2) At-Tibr al-Masbuk fi thail as-Suluk (Logam Cetakan untuk Catatan Tambahan pada Kitab Perilaku Karya al-Maqrizi) dapat dikatakan sebagai sebuah catatan (sejarah) harian yang disusun berdasarkan tahun.
Di ujung setiap tahun dan sebelum memasuki tahun berikutnya, ia menyebutkan tokoh yang meninggal pada tahun itu. Buku ini kemudian dijadikan dzail (lampiran) dari karya al-Maqrizi (sejawaran Mesir terkenal) yang berjudul as-Suluk li Ma‘rifah Duwal al-Muluk (Jalan untuk Mengetahui Kedaulatan para Raja).
(3) Al-Kaukab al-Mudi’ (Planet Bercahaya), sebuah uraian tentang ulama yang hidup pada masanya.
(4) Wajiz al-Kalam (Obrolan Singkat), uraian tentang sejarah antara tahun 745 H/1344 M dan 894 H/1489 M. Karya ini kemudian menjadi dzail dari buku Tarikh Duwal al-Islam (Sejarah Negara Islam) karya az-Zahabi (sejarawan, w. 1348).
(5) Al-I‘lan bi at-Taubikh li Man dzamma Ahl at-Tawarikh (Pemberitahuan Teguran bagi Orang yang Mencela Sejarah), menerangkan pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat, perkembangan ilmu sejarah, di samping juga memuat nama sejarawan yang disusun secara alfabetis.
(6) Al-Jawahir al-Majmu‘ah wa an-Nawadir al-Masmu‘ah (Himpunan Permata dan Berita Langka), tentang kesusastraan.
(7) Al-Maqasid al-hasanah fi Tamyiz al-Ahadits al-Masyhurah ‘ala Alsinah (Tujuan Baik dalam Membedakan Hadis Masyhur), menguraikan tingkatan hadis.
(8) Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Ibn hajar (Permata dan Mutiara bagi Biografi Ibnu Hajar).
(9) Irsyad al-Gawi Bal Is‘ad ath-thalib wa ar-Rawi (Nasihat bagi Penuntut dan Perawi Hadis).
(10) thabaqat asy-Syafi‘iyyah (Peringkat Imam Mazhab Syafi‘i).
(11) Raf’ al-Isri ‘an Qudat Misr (Mengenang para Hakim Mesir), sebuah dzail yang ditulisnya untuk karya Ibnu Hajar.
(12) Ad-dau’ al-Lami‘ li Ahl al-Qarn at-Tasi‘ (Cahaya Gemerlap bagi Masyarakat Abad ke-9 H).
Karyanya al-I‘lan bi at-Taubikh li Man dzamma Ahl at-Tawarikh, yang menerangkan pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat, adalah buku yang sangat terkenal dalam bidang historiografi. Melalui karyanya ini, dapat dikatakan bahwa ia telah membangun sebuah monumen penting bagi historiografi Islam.
Uraian yang disajikan dalam kitab ini pada garis besarnya meliputi: (a) pengertian tarikh menurut bahasa, (b) definisi tarikh menurut istilah, (c) objek sejarah, (d) kegunaan sejarah, (e) arah penempatan sejarah, (f) klasifikasi sejarah, (g) bukti yang berkenaan dengan sejarah, (h) kritik dalam sejarah, (i) syarat tertentu yang diperlukan ahli sejarah, (j) karya tentang sejarah, dan (k) ahli kritik terkemuka. Kitab ini merupakan makalah panjang tentang kaidah kritik sejarah.
Sesuai dengan judulnya, karya ini tergolong sebagai apologetika, yaitu untuk mempertahankan studi sejarah sebagai suatu objek kajian pembantu dalam kurikulum pelajaran agama.
Dengan segala kekurangannya, buku ini ditulis setelah ia melakukan penelitian mendalam berkenaan dengan penulisan sejarah. Karya ini banyak memberikan informasi tentang karya sejarah dan teologi serta sedikit tentang karya sejarah yang dapat disebut sebagai “sejarah umum”.
Ad-dau’ al-Lami‘ fi A‘yan al-Qarn at-Tasi‘ adalah kitab as-Sakhawi yang terbesar. Akan tetapi, menurut Muhammad Mustafa Ziyadah (guru besar sejarah Abad Pertengahan Islam di Universitas Cairo), kitab ini juga mengandung kelemahan tertentu, terutama karena pengarangnya sering mengecilkan arti kehadiran seorang tokoh besar dan meremehkan tokoh kecil.
Pendapat guru besar sejarah ini bukan tanpa sandaran. Ia mengutip pendapat dua sejarawan besar yang hampir semasa dengan as-Sakhawi sendiri di Mesir, yaitu Ibnu Iyas dan as-Suyuti. Ibnu Iyas berkata, “Ia (as-Sakhawi) menulis sejarah yang banyak mengandung keburukan berkenaan dengan hak-hak manusia”.
Sementara itu as-Suyuti berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mengarang buku sejarah yang menghimpun banyak petinggi dan tokoh, di mana penulisnya melakukan gibah (umpatan), penuh dengan sebutan-sebutan buruk. Dia tidak membedakan antara yang baik dan yang buruk.”