Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama, mubalig, dan pejuang di Sumatera Utara. Ia putra kelima dari pasangan Thalib bin Ibrahim Lubis dan Markoyom Nasution. Ayahnya berasal dari Kotanopan, Tapanuli Selatan, dan menetap di Stabat. Ia mendapat panggilan “lebai”. Abangnya, Baharuddin Thalib Lubis (1905–1965), adalah juga ulama dan pernah belajar di Malaysia (1927–1930) dan Mekah (1930–1935).
Syekh H Muhammad Arsyad Thalib Lubis menjalani seluruh pendidikannya di Sumatera Utara. Ia menamatkan Sekolah Rakyat di Stabat. Ia belajar di Madrasah Islam Stabat (1917–1920), Madrasah Islam Binjai (1921–1922), Madrasah Ulumil Arabiyah Tanjungbalai, Asahan (1923–1924), dan Madrasah al‑Hasaniyah Medan (1925–1930).
Kemudian ia memperdalam ilmu tafsir, hadis, usul fikih, dan fikih kepada Syekh Hasan Maksum (1884–1937) di Medan. Ia adalah seorang murid yang cerdas dan rajin sehingga ketika belajar di Madrasah Islam Binjai, ia mendapat kepercayaan dari gurunya, H Mahmud Ismail Lubis, untuk menyalin karangan yang akan dimuat di surat kabar. Pekerjaan ini sekaligus menjadi latihan baginya dalam karang‑mengarang.
Sebagai hasilnya, pada usia 20 tahun, ia telah menjadi penulis di majalah Fajar Islam di Medan. Pada usia 26 tahun, buku pertamanya, Rahasia Bibel, terbit 1934 dan dicetak ulang 1936. Buku ini menjadi pegangan para mubalig dan dai al‑Washliyah dalam menyiarkan Islam di Porsea, Tapanuli Utara.
Sejak 1926 ia telah aktif mengajar, antara lain di Madrasah al‑Irsyadiyah Medan (1926–1930); Madrasah al‑Washfiyah Meulaboh, Aceh (1931–1932); Madrasah al‑Washliyah Medan (1933–1945); Madrasah al‑Qismul Ali al‑Washliyah Tebing-tinggi (1946–1947); dan Madrasah al‑Qismul Ali al‑Washliyah Medan (1953–1957).
Kemudian, ia menjadi Rektor pada Sekolah Persiapan Perguruan Tinggi Islam Indonesia di Medan (1953–1954), guru besar ilmu fikih dan usul fikih pada Universitas Islam Sumatera Utara (1954–1957), dan dosen tetap pada Universitas al‑Washliyah sejak berdiri pada 1958 sampai akhir hayatnya.
Sejak 1946 hingga 1957 ia memegang berbagai jabatan di Departemen Agama, antara lain kepala Mahkamah Syariah Keresidenan Sumatera Timur, kepala Jawatan Agama Keresidenan Sumatera Timur, kepala Bahagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara, dan pejabat kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara.
Dalam kegiatan organisasi, ia adalah salah seorang pendiri organisasi al‑Jamiatul Washliyah. Sejak berdirinya organisasi ini (30 November 1930), ia turut menjadi anggota Pengurus Besar sampai 1956. Meskipun kemudian ia tidak duduk dalam kepengurusan, ia tetap aktif memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam kegiatan al‑Washliyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.
Sejak Majelis Islam Tinggi (MIT) dilebur ke dalam Masyumi 1945, ia berulang‑ulang menjadi pimpinan wilayah dan anggota Majelis Syuro Wilayah. Kemudian, ia menjadi anggota Majelis Syuro Pusat (1953–1954) dan anggota Konstituante dari fraksi Masyumi sejak 1956 sampai dibubarkan 1959.
Dalam kegiatan dakwah, ia aktif dalam zending (mubalig) Islam Indonesia, masuk kampung keluar kampung dengan berjalan kaki untuk menyiarkan Islam di pedalaman Tanah Karo. Puluhan ribu orang dari daerah ini masuk Islam di tangannya. Bahkan, menjelang akhir hayatnya, ia masih sempat pergi ke Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, untuk melangsungkan pengislaman sekitar dua ratus orang.
Di samping itu, puluhan ribu pula buku karangannya tentang salat, iman, dan ibadah dalam bahasa daerah Karo, Nias, dan Simalungun dibagikan secara gratis kepada orang yang baru memeluk agama Islam.
Sesuai dengan kondisi masanya, ia juga melakukan berbagai perdebatan dengan tokoh Kristen di Medan, seperti Pendeta Rivai Burhanuddin (pendeta Kristen Advent), Van den Hurk (kepala Gereja Katolik Sumatera Utara), dan Sri Hardono (tokoh Kristen Katolik).
Berkat penguasaannya yang mendalam tentang ajaran Kristen, dalam perdebatan ini ia dengan mudah menguasai lawan debatnya. Hasil perdebatannya selalu diterbitkan dalam bentuk buku.
Ia selalu memberikan fatwa yang tegas dan ceramah tentang masalah aktual dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketika paham Ahmadiyah Qadian menimbulkan gejolak di Sumatera Timur, ia memfatwakan kekafiran Ahmadiyah Qadian dan larangan menguburkan penganutnya di pekuburan orang Islam.
Ia juga memfatwakan bahwa komunisme harus diharamkan hidup di Indonesia dalam Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Medan (1955), Muktamar Ulama se‑Sumatera di Bukittinggi, dan Muktamar Ulama di Palembang.
Pada permulaan 1960‑an masalah kemungkinan manusia sampai ke bulan sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Maka Syekh Arsyad Thalib Lubis memberikan kuliah umum pada acara ulang tahun ke‑2 Universitas al‑Washliyah (18 Mei 1960) dengan judul Agama Islam dan Penghuni Angkasa Luar. Dalam kuliah ini ia menyimpulkan bahwa dalil yang disebut dalam Al‑Qur’an memungkinkan adanya penghuni angkasa luar.
Dalam perjuangan kemerdekaan, ia turut memberikan andil sesuai dengan bidangnya. Untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan, ia menulis buku Tuntunan Perang Sabil. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia memfatwakan bahwa pahlawan Islam yang gugur di medan pertempuran melawan kolonial adalah mati syahid dan ia menganjurkan agar kaum muslim memberikan dana jihad yang besar tanpa tawar‑menawar.
Pada waktu agresi militer kedua (1948), Sumatera Timur jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan daerah pendudukan. Belanda kemudian mendirikan Negara Sumatera Timur (NST). Untuk mempertahankan negara RI, Arsyad Thalib Lubis mengungsi ke pedalaman.
Pada waktu itu, ia adalah anggota Dewan Pertahanan Daerah Sumatera Timur‑Selatan dan wakil ketua Markas Besar Kelaskaran al‑Washliyah. Ketika serangan udara Belanda menghujani kota Tebingtinggi dan tentara Belanda mulai memasuki perbatasan kota, ia bersama beberapa guru dan anggota al‑Washliyah berusaha bertahan di Markas Besar Kelaskaran al‑Washliyah di kota itu.
Setelah pertempuran semakin sengit dan keadaan tidak mungkin dipertahankan, ia meninggalkan kota itu untuk menyatukan kekuatan di daerah Tanjungbalai, Asahan. Beberapa hari kemudian ia bergerak menuju Rantauprapat. Di daerah ini ia meneruskan perjuangan bersama dengan para pemimpin lainnya.
Karena perjuangannya, pada 29 Maret 1949 ia ditangkap oleh pihak Negara Sumatera Timur (NST) yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Belanda. Ia ditahan sebagai tawanan politik di penjara Sukamulia, Medan, sampai 23 Desember 1949. Ketika ia berada dalam tahanan, istrinya meninggal.
Dalam Panitia Persiapan Negara Kesatuan untuk Sumatera Timur yang didirikan 1950–1951, ia diangkat menjadi anggota panitia penempatan pegawai. Pada 1956 pemerintah mengutusnya bersama H Nasaruddin Latif ke Uni Soviet untuk meninjau Tashkent, Samarkand, Stalingrad, Moskow, dan Leningrad.
Mereka kembali ke Indonesia melalui Peking (Beijing), Rangoon (Yangon), dan Bangkok. Sebagai hasil dari lawatan ini, ia menulis sebuah buku tentang keadaan umat Islam di sana agar menjadi cermin bagi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, umat Islam di bawah kekuasaan komunis merupakan kelompok kecil yang senantiasa diawasi. Tetapi naskah buku ini hilang sebelum sempat dicetak.
Syekh H Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam pendirian. Ketika terjadi pergolakan daerah di Indonesia, ia menulis sebuah artikel yang berjudul “Menyelesaikan Perang Saudara dalam Islam” yang dimuat dalam majalah Departemen Agama.
Tulisan ini menimbulkan kesibukan di kalangan Kejaksaan Agung dan Badan Intelijen Pusat, karena kandungannya dipandang tidak selaras dengan keinginan penguasa yang hendak menumpas habis setiap pemberontakan. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya di Departemen Agama Wilayah dan dimutasikan ke pusat.
Ketika sementara ulama ramai mendukung pemberian gelar Wali al‑Amri ad‑daruri bi asy‑Syaukah (penguasa yang secara darurat dianggap mempunyai kekuasaan menetapkan hukum) kepada Presiden Soekarno, ia menurunkan tulisan tentang syarat Ulul Amri, yang menurutnya sedikit pun tidak ditemukan dalam diri Soekarno.
Hal ini menambah kejengkelan penguasa Orde Lama kepadanya sehingga kepulangannya ke daerah tertunda. Akhirnya, ia dikembalikan ke daerah dengan jabatan guru besar yang diperbantukan pada Universitas al‑Wasliyah sampai masa pensiun.
Sejak berusia 20 tahun, Arsyad Thalib Lubis sudah aktif menulis di majalah. Pada 1928–1931 ia menjadi penulis majalah Fajar Islam. Kemudian ia menjadi pemimpin redaksi majalah Medan Islam (1934–1942), pemimpin redaksi majalah Dewan Islam (1945), dan anggota redaksi al‑Islam (1955–1957).
Selain itu, ia juga menulis buku di berbagai bidang ilmu agama. Di bidang akidah, ia antara lain menulis buku Imam Mahdi, Pokok‑Pokok Kepercayaan dalam Islam, Pelajaran Iman, Pelajaran Tauhid, dan Akidah Imaniyah.
Di bidang fikih, usul fikih, dan kaidah fikih, ia menulis Ilmu Fikih, Fatwa mengenai 11 Masalah Agama, Ilmu Pembagian Pusaka, Jaminan Kemerdekaan Beragama dalam Hukum Islam, al‑Ushul fi ‘Ilm Ushul (Pokok‑Pokok dalam Ilmu Usul Fikih), dan al‑Qa-wa‘id al‑Fiqhiyyah (Kaidah Fikih, dua jilid). Di bidang ibadah ia menulis Pemimpin Haji Mabrur, Pelajaran Sembahyang, Pelajaran lbadah, dan Himpunan Doa Nabi-Nabi.
Di bidang perbandingan agama, ia menulis Rahasia Bibel, Pemimpin Islam dan Kristen, dan Perbandingan Agama Kristen dan Islam. Di bidang lain ia menulis Ruh Islam, Islam di Polandia, Tuntunan Perang Sabil, Riwayat Nabi Muhammad SAW, Iatilahat al-Muhaddits (Istilah Ahli Hadis), Pembahasan di sekitar Nuzulul Qur’an, Kisah Isra‘ Mi’raj, dan Pedoman Mati.
Buku tersebut pada umumnya telah dicetak ulang dan tersebar di masyarakat. Sebagiannya dijadikan buku wajib di perguruan al‑Washliyah. Beberapa di antaranya pernah dicetak di Malaysia, seperti Pedoman Mati dan Perbandingan Agama Kristen dan Islam. Buku terakhir ini menguraikan perbandingan ajaran Kristen dan Islam berdasarkan kitab suci masing‑masing.
Sebagai tokoh al‑Washliyah, dalam fikih ia menganut Mazhab Syafi‘i. Namun demikian, ia bersikap terbuka dan hormat terhadap paham lain. Menurutnya, kebebasan mengemukakan paham dan pendapat perlu mendapat tempat dalam masyarakat karena sangat penting bagi kemajuan pengetahuan di kalangan umat Islam.
Kedudukan hukum fikih, menurutnya, pada umumnya berkisar di sekitar masalah zanni (tidak jelas dan tegas) yang kekuatannya berdasarkan “kuat sangka belaka”, tidak “meyakini” (dengan yakin) karena didapat dengan jalan ijtihad. Adapun ijtihad tidak dapat digugurkan dengan ijtihad lain karena sama kekuatannya.
Daftar Pustaka
Hasanuddin, Chadidjah. al-Jam’iyatul Wasliyah: Api dalam Sekam. Bandung: Pustaka, 1988.
IAIN Sumatera Utara. Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara. Medan: Majelis Ulama Sumatera Utara, 1983.
Jamil, Bahrum. UISU Kami Dirikan. Medan: Ma‘had Muallimin al-Washliyah, 1991.
Pengurus Besar al-Washliyah. al-Jam‘iyatul Washliyah Seperempat Abad. Medan: t.p., 1955.
Sulaiman, Nukman, et.al. Lustrum VI Universitas al-Washliyah. Medan: Universitas al-Washliyah, 1988.
Ramli Abdul Wahid