Arsitektur Islam

Arsitektur Islam adalah ilmu dan seni rancang bangunan, kumpulan bangunan, dan struktur fungsional lain, yang dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam yang bertolak dari pengakuan akan keesaan Allah SWT. Kata “arsitektur” berasal dari dua suku kata Yunani (architekton): arkhe yang bermakna “asli”, “awal”, dan ”autentik”; dan tektoo, “berdiri stabil dan kokoh”.

Hasil karya utama dalam seni arsitektur Islam adalah masjid, sebab masjid merupakan titik tumpuan ungkapan kebudayaan Islam sebagai konsekuensi dari ajaran Islam yang mengajarkan salat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya.

Dalam arsitektur Islam dikenal beberapa jenis masjid sesuai dengan penggunaannya, antara lain (a) masjid jami, (b) masjid madrasah, (c) masjid makam (mausoleum), dan (d) masjid tentara.

Kemudian muncul bangunan di luar masjid dan madrasah yang juga masih merupakan rangkaian ungkapan kehidupan Islam sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan manusia, yaitu istana/keraton, bangunan benteng pertahanan, dan makam.

Arsitektur Islam mengalami perkembangan dari bentuk yang sederhana pada abad ke-6 sampai ke tingkat sempurna yang mengagumkan pada abad ke-8 dan seterusnya, dan memiliki keanekaan bentuk sesuai dengan budaya umat yang menciptakannya.

Perkembangan arsitektur tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor, antara lain: (1) semakin tingginya teknologi bangunan; (2) pengaruh sosial politik dan kenegaraan, misalnya peperangan yang menyebabkan munculnya benteng dan tembok pertahanan; dan (3) berubahnya tingkat ekonomi masyarakat yang menyebabkan mereka mampu membuat industri keramik.

Perkembangan arsitektur Islam itu dapat dilihat dalam berbagai tahapan masa dan berkembang di berbagai tempat yang sekaligus menunjukkan ciri masing-masing perkembangan itu:
(1) asal mula pertumbuhan arsitektur Islam;
(2) masa perkembangan bentuk arsitektur Islam, masjid, dan bangunan lainnya;
(3) perkembangan arsitektur Islam pada masa Abbasiyah dan Seljuk;
(4) perkembangan arsitektur Islam di tangan Bani Fatimiyah dan kaum Mamluk di Mesir dan Suriah;
(5) perkembangan arsitektur Islam di Spanyol;
(6) perkembangan arsitektur Islam di tangan kaum Usmaniyah;
(7)perkembangan arsitektur Islam di India;
(8) perkembangan terakhir pada Abad Pertengahan;
(9) arsitektur Islam di Indonesia; dan
(10) dekorasi serta hiasan dalam arsitektur Islam.

Asal Mula Pertumbuhan Arsitektur Islam. Pertumbuhan arsitektur Islam berawal pada masa Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Pada bentuk awalnya arsitektur Islam itu –sebagaimana terlihat pada masjid– bukanlah bangunan megah seperti yang tampil pada masa kejayaan nya, melainkan sederhana dan bersahaja.

Masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW sangat sederhana, denahnya merupakan segi empat dengan hanya dinding yang menjadi pembatas di sekelilingnya. Dalam dinding tersebut dibuat bagian depan yang disebut mihrab dan serambi yang langsung bersambung dengan lapangan terbuka sebagai bagian tengah masjid segi empat tersebut. Bagian pintu masuknya diberi gapura.

Bahan yang digunakan sangat sederhana, seperti batu alam atau batu gunung, pohon, dan daun kurma. Namun demikian, arsitektur sederhana ini merupakan prototipe arsitektur masjid pada masa kemudian.

Ketika arah salat –dari Madinah ke utara, yakni ke Yerusalem (Masjidilaksa)– dipindahkan ke Baitullah di Mekah, dinding yang kedudukannya pada arah Mekah itu menjadi arah kiblat. Bedanya dari serambi lainnya ialah adanya sedikit penonjolan pada dinding ini dan tempat ini sedikit ditinggikan, yang selanjutnya digunakan Nabi Muhammad SAW sebagai tempat menyampaikan dakwahnya.

Pada perkembangan lebih lanjut tempat ini berubah bentuk menjadi semacam relung atau ceruk yang senantiasa menunjukkan arah kiblat, dan kemudian bernama mihrab. Mihrab merupakan perkembangan bentuk tempat yang biasa digunakan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan dakwahnya.

Perencanaan (arsitektur) masjid ketika itu terdiri dari urutan sebagai berikut: pertama-tama dibutuhkan sebuah tempat, kemudian tempat itu dibuat menyerupai ruang agar orang yang melakukan salat dapat terlindung dari berbagai gangguan alamiah.

Masjidilharam juga pada mulanya merupakan masjid lapangan, bagian tengahnya dikelilingi serambi yang ada di sekitar dinding masjid serta terbuka menghadap ke lapangan. Tetapi setelah berkali-kali diadakan penyempurnaan, akhirnya Masjidilharam menjadi masjid yang berarsitektur mengagumkan.

Masa Perkembangan Bentuk Arsitektur Islam, Masjid, dan Bangunan lain. Masa ini mencakup perkembangan arsitektur Islam pada zaman Bani Umayah (661–750) dan zaman Bani Abbas (750–puncak kejayaannya).

(1) Masjid. Berdasarkan arsitektur masjid yang sangat sederhana pada masa Nabi SAW, muncullah bangunan masjid dengan ukuran kecil yang disebut musala. Musala ini pada umumnya mempunyai denah seperti tipe masjid Arab asli dengan tetap mempergunakan lapangan sebagai tempat berkumpul. Ciri khasnya adalah salah satu dinding yang berada di bagian arah kiblat memakai semacam atap rata yang bertiang. Penonjolan bentuk atap ini berkembang menjadi semacam mimbar yang dipergunakan untuk menyampaikan khotbah pada hari Jumat, sementara lapangan lepas terbuka tanpa dinding.

Pada saat Bani Umayah berkuasa, sekitar tahun 700-an, dibangun masjid di berbagai tempat, misalnya di Basrah, Kufah, dan Fustat (nama lama kota Cairo). Pada waktu itu keseluruhan masjid merupakan bangunan segi empat dan beratap rata. Pada dinding yang berada di arah kiblat kembali ada penonjolan atap sebagai mihrab. Atapnya ditopang sejumlah tiang sehingga seluruh ruangannya seperti dipenuhi barisan tiang.

Ini menunjukkan bahwa pada saat itu belum ditemukan cara pemakaian konstruksi pendukung atap dengan jumlah tiang yang lebih sedikit. Namun bahan dinding sudah diperindah dengan batu merah serta mulai memakai tiang batu. Contoh yang menonjol dari tipe bangunan yang memakai arsitektur semacam ini adalah Masjid Ziyad di Kufah (638–639) dan Masjid Amar di Fustat.

Pada perkembangan selanjutnya arsitektur Islam mem peroleh pengaruh dari luar, antara lain dengan diambilalihnya bentuk gereja menjadi masjid di daerah yang ditaklukkan Islam. Di Damsyiq (Damascus) oleh kaum Syiah dibangun sebuah masjid yang pada mulanya adalah gereja dengan cara mengubah beberapa bagiannya lalu membuat tonjolan berupa mihrab pada dinding yang mengarah ke kiblat.

Pada saat ini dapat disebutkan bahwa telah lahir bentuk arsitektur corak masjid-gereja atau masjid-basilika. Hiasan mosaik yang tadinya memuat episode cerita gerejani diubah menjadi motif hiasan yang mencerminkan hiasan khas Islam bermotif tumbuhan yang ditambah dengan unsur alam lainnya.

Pada masa Bani Umayah ini arsitektur masjid mengalami perubahan yang sangat berarti, terutama disebabkan dorongan dari para pemimpinnya. Al-Walid, salah seorang rajanya, adalah tokoh pembangun masjid. Ia memperkenalkan penambahan kelengkapan arsitektur Islam (masjid) berupa menara yang kemudian menjadi bagian bangunan masjid.

Selanjutnya perkembangan arsitektur masjid dalam Islam memiliki aneka ragam bentuk dan corak. Arsitektur sedemikian berkembang sehingga ada menara (minaret) yang berbentuk segi delapan atau segi banyak yang menyerupai sudut bintang, berbentuk silindris, atau berbentuk sangat ramping menjulang ke atas, atau berbentuk menara yang mempunyai ruang bertingkat.

Pada Masjid Jami Damascus, misalnya, yang merupakan perombakan dari gereja, dua buah menara berasal dari menara lonceng gereja. Di Mesir banyak terdapat menara mercusuar dari peninggalan zaman Iskandar Zulkarnain yang bentuknya lebih ramping sehingga tampak menjulang.

Contoh penerapan arsitektur seperti ini adalah menara Masjid Sidi Okba. Menara pada masjid di Iran berbentuk menara pilin, yakni menara yang berbentuk spiral, sebagai hasil penampilan dari masuknya pengaruh Babilonia. Menara berentuk silindris lebih banyak terdapat di Turki.

Pada masa berikutnya kepentingan penguasa turut memperkaya arsitektur Islam, misalnya dengan munculnya maksura, sebuah tempat yang khusus dibuat untuk menjadi tempat penguasa melaksanakan salat. Selanjutnya mimbar juga merupakan elemen arsitektur masjid yang cemerlang. Kebanyakan mimbar dibuat dari kayu seperti yang terdapat di Masjid Okba Qairawan. Hal itu memungkinkan para ahli ukir menerapkan hiasan megah pada bahan tersebut.

Lama kelamaan bentuk masjid tidak lagi beratap rata tetapi mengembang ke arah pemakaian lengkung dan kubah. Konstruksi lengkung ini dinamakan iwan, yakni gapura atau gerbang dengan atap melengkung yang menutupi tiga bagian dinding dari badan gapura. Bagian dinding lainnya, yakni bagian yang terbuka ke bagian muka, tetap dalam keadaan terbuka.

Arsitektur dengan pemakaian iwan ini dikembangkan dengan sempurna pada salah satu masjid jami di Isfahan yang bergaya Seljuk. Beberapa iwan tampil sebagai pintu gerbang masjid yang kemudian menuju ke ruang besar dengan beratapkan iwan yang lebih besar sebagai kubah penutup ruang induk.

Dalam perkembangan selanjutnya bentuk lengkung iwan ini mengalami modifikasi dengan berbagai penampilan seperti berpuncak lancip atau lengkung yang lonjong ke atas, sehingga kubah mendominasi seluruh penampilan arsitektur masjid. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila bentuk ini pada masa kemudian bahkan sampai saat ini dihubungkan dengan ciri simbolis khas bangunan Islam.

Ketika Harun ar-Rasyid, penguasa Abbasiyah (Baghdad), digantikan Sultan al-Muttaqin, pusat pemerintahan dipindahkan ke Samarra. Di ibukota yang baru ini al-Muttaqin mendirikan Masjid Jami Askar (846–852). Penulis Barat menyebut masjid ini sebagai The Great Mosque of Samarra.

Masjid ini besar dan mempunyai kekhasan arsitektur Islam. Kekhasan arsitektur masjid ini adalah adanya penggunaan pilar yang merupakan kolom dari susunan batu yang ditempatkan di antara empat buah tiang yang mengapit kolom tersebut pada setiap sudutnya. Bahan batu pengisi kolom itu terdiri dari susunan batu bata yang dibakar. Selanjutnya, menaranya berbentuk spiral yang dikenal dengan julukan Ma al-Wiyah.

(2) Arsitektur Istana. Selain kegemilangan perkembangan arsitektur masjid, umat Islam memiliki prestasi di bidang arsitektur bangunan non-agama, misalnya istana. Pada rentang waktu antara tahun 600-an sampai 700-an Masehi para penguasa Islam telah mendirikan istana tempat kediaman sebagai bangunan resmi lambang pemerintahan dan kekuasaannya. Salah satu contohnya adalah Istana Kausair Amra (di kawasan Mesir sekarang).

Istana ini merupakan suatu gubahan yang terdiri dari tiga bagian yang beratap tiga bagian lengkung kelung yang masing-masing menutup ruangan. Dindingnya langsung mendukung lengkung tersebut. Dinding tersebut diperkaya dengan mosaik dan lantainya terdiri dari marmer yang disusun seperti mosaik berwarna cemerlang. Istana ini menunjukkan tipe bangunan Arab asli yang selalu tampil dengan tembok tinggi dan lebar yang mengelilingi bangunan utama, kemudian menjadi batas pemisah antara alam dan lingkungan istana.

Setelah tembok pembatas yang kuat itu, terdapat lapangan luas sebagai titik orientasi ke arah bangunan istana. Sesudah pendopo, terdapat ruang mahkota sebagai lambang kesultanan, baru sesudahnya terdapat ruang dalam istana.

Bangunan istana di samping didasarkan pada cara hidup bangsa Arab yang sering berpindah-pindah, bangunan istana juga meninggalkan bentuk bangunan yang berkaitan dengan tempat kediaman mereka. Ini merupakan suatu penampilan berupa arsitektur lokal yang bercorak Islam, yakni kelompok perumahan dan masjid.

(3) Arsitektur Kuburan. Islam juga mencapai prestasi arsitekturnya dalam bentuk makam. Misalnya, pembuatan kubah dengan hiasan yang merupakan corak atau bentuk stalaktit terbalik, yang terdapat pada kuburan Siti Zubaidah, istri Khalifah Harun ar-Rasyid. Kuburan ini membentuk gabungan lengkung yang berujung sedikit meruncing secara tersusun ke atas saling bertumpuk dengan setiap ujung lengkung stalaktit sebagai landasan bagi lengkungan di atasnya.

Sebagai kesatuan lengkung, stalaktit ini secara otomatis merupakan pengisi bidang yang penuh dan terus dapat disusun secara vertikal ke atas. Konstruksi lengkung stalaktit ini biasa juga dikenal sebagai lengkung sarang lebah atau muqarnas.

Perkembangan Arsitektur Islam pada Masa Abbasiyah dan Seljuk. Perkembangan arsitektur ini dimulai sekitar awal abad ke -11 dengan memandu pengembangan ke arah dua hal pokok yang sangat berarti bagi perkembangan arsitektur Islam, yakni: (a) penggunaan teknik bahan batu bata dari seni arsitektur Persia yang diterapkan pada bentuk lengkung iwan, dan (b) pengembangan bangunan lain yang menjadi bangunan fasilitas, seperti istana dan bangunan untuk kepentingan sosial.

(1) Arsitektur Masjid. Dengan mengambil contoh Masjid Jami di Isfahan, pola perencanaannya terdiri dari penampilan pemakaian lengkung iwan sebagai bentuk keseluruhan. Kelengkapan bangunan yang sangat menonjol adalah menara. Menara dalam gaya Seljuk menampilkan beberapa corak yang berlainan. Penampilan menara dalam gaya arsitektur Seljuk ini terkadang lebih menonjol dari bangunan induknya, bahkan bukan hanya masjid, bangunan istana dan makam juga diberi menara.

(2) Arsitektur Kuburan. Selain masjid, arsitektur gaya Seljuk juga sangat berkembang dalam bidang bangunan kuburan. Kekhususan yang menonjol dari bangunan kuburan itu terletak pada elemen dekoratif yang memenuhi seluruh bangunan. Dari kebiasaan membuat bangunan kuburan yang megah, dalam perkembangan selanjutnya timbul penggabungan bentuk masjid kuburan.

Dasar yang menjadi pangkal tolaknya ialah kuburan yang terdapat di Bukhara, yang merupakan bangunan segi empat dengan gapura iwan sebagai tempat masuknya. Bagian dalam bangunan dihiasi dengan mosaik dari keramik berwarna berkilat, yang dikombinasikan dengan susunan batu bata merah, yang merupakan komposisi lukisan dinding yang indah dengan warna cemerlang.

Lorong lengkung jendela berfungsi sebagai elemen dekoratif, bahkan ditambah dengan lengkung yang merupakan relung kosong tanpa ruang jendela. Beberapa bangunan kuburan juga dilengkapi dengan menara kecil dengan proporsi yang serasi sehingga merupakan komposisi indah yang merupakan gubahan dari elemen yang diperhitungkan secara matang.

Saat itu dikenal pula adanya masjid madrasah yang merupakan penjelmaan dari keterpaduan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dengan masjid sebagai lembaga pendidikan.

(3) Arsitektur Istana. Bangunan lain yang menunjukkan perkembangan arsitektur Islam pada masa itu adalah istana Baghdad. Kekhususan yang merupakan penampilan baru dari arsitektur istana ini adalah penerapan hiasan muqarnas atau stalaktit seperti yang diterapkan pada bangunan kuburan. Susunan hiasan stalaktit ini digabungkan menjadi lengkung stalaktit yang lebih besar.

Pola pembuatan istana ini kelihatannya dipengaruhi pembuatan istana di Samarra; susunan ruang diatur berdasarkan pemakaiannya, sehingga terasa ada urutan prioritas dalam penempatannya. Lapangan merupakan titik orientasi yang di satu pihak berhubungan dengan pintu keluar, dan di lain pihak berhubungan dengan ruang istana yang terdiri dari pendopo, ruang mahkota, ruang bagian dalam, dan ruang pribadi sebagai ruang tempat tinggal khalifah serta kerabat istana.

(4) Arsitektur Benteng. Di antara bangunan non-religi yang muncul pada saat ini adalah benteng pertahanan, yang juga menunjukkan perkembangan arsitektur Islam pada masa itu.

Perkembangan arsitektur tersebut di atas berkembang di daerah kekuasaan Abbasiyah, seperti di Samarkand dengan dibangunnya Masjid Jami Samarkand. Demikian juga di Persia ketika Syah Abbas yang Agung (abad ke-15) mendirikan Masjid Agung sebagai masjid Syah. Arsitektur Islam itu juga berkembang dalam bangunan istana pada daerah kekuasaan Seljuk.

Perkembangan Arsitektur Islam pada Masa Fatimiyah dan Mamluk di Mesir dan Suriah.

Pada masa ini tercatat prestasi yang sangat gemilang. Zaman Fatimiyah (909–1171) sempat menggelar arsitektur Islam yang megah berupa masjid dan non-masjid, yang dilanjutkan kaum Mamluk di kemudian hari. Arsitektur gaya Fatimiyah ini terlihat dipengaruhi unsur luar, terutama dari Persia dan Mesopotamia melalui Suriah. Bahan bangunan yang digunakan saat itu terdiri dari batu yang banyak terdapat di sekitarnya, kemudian batu bata­ merah, dan batu kapur.

(1) Arsitektur Masjid. Pada masa ini arsitektur masjid merupakan hasil dari penggunaan konstruksi ruang dan tiang. Logika dasar dari penggunaan tiang tersebut adalah ingin memperoleh ruang yang lebih luas dan besar. Contoh yang dapat dikemukakan pada masa ini adalah Masjid al-Azhar dan Masjid al-Hakim.

Pengaruh Bizantium tampak membekas pada arsitektur kedua masjid ini, dengan bentuk menar yang masif serta penggunaan lengkung sebagai gapura dan pintu gerbang. Karena diperlukan adanya pengamanan, bangunan masjid ini dikelilingi tembok pengaman yang terbuat dari batu bata yang sangat tebal dan kuat.

Pada ruang utamanya ditemukan kekhususan dengan dipergunakannya tiang marmer sebagai pendukung atap. Bagian ini terdapat pada dinding arah kiblat, yang dengan lengkung dan kubahnya menunjukkan corak Persia.

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) mendirikan masjid madrasah di Suriah yang kemudian berkembang menjadi masjid berkubah gaya Persia. Arsitektur masjid di Suriah sebenarnya merupakan manifestasi dari berbagai akulturasi budaya yang pernah mempengaruhi, seperti gaya Seljuk, Usmaniyah, dan Umayah.

Sesudah pemerintahan Saladin, muncul dinasti baru, yakni Mamluk yang juga tampil sebagai penerus perkembangan arsitektur Islam. Sultan Baybars adalah sultan yang terkenal dari kaum Mamluk ini. Monumen arsitektur Islam yang lahir dari zaman kekuasaannya ialah Masjid Madrasah Sultan Baybars, masjid yang diberi julukan namanya sendiri sebagai bukti kaitan antara pembangunan masjid dan kepentingan sultan sebagai pendirinya.

Pada masjid ini juga didirikan bangunan kuburan berkubah. Masjid ini memiliki konstruksi ruang dan tiang. Konstruksi tiang itu biasanya merupakan salah satu cara untuk memperluas ruang, sehingga masjid itu pun tampak luas dan besar. Empat buah kubah dipergunakan sebagai atap penutup masjid dengan kubah yang menutupi ruangan yang ada pada dinding arah kiblat sebagai kubah utama.

Sultan Mamluk yang gemar berperang, keras dalam membangun kehidupannya, serta senang menikmati kekuasaannya, secara tidak langsung mempengaruhi corak arsitekturnya.

Pada saat itu antara lain muncul satu corak lain arsitektur masjid, yakni bangunan berupa perpaduan antara masjid madrasah dan rumah perawatan bagi orang sakit yang berbentuk masjid rumah sakit, misalnya Masjid Sultan Qalawun.

(2) Arsitektur Benteng. Ketika berhasil merebut kekuasaan dari Daulah Fatimiyah pada 1171, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dihadapkan dengan suasana Perang Salib yang berkepanjangan. Dalam keadaan seperti ini, perkembangan arsitektur yang paling menonjol adalah keberhasilannya membangun Benteng Cairo, yakni bangunan pengaman yang didirikan pada 1183. Sebagian bahan bangunan yang dipergunakan adalah batu alam yang berbentuk balok, serupa dengan batu balok yang dipakai untuk bangunan piramida.

(3) Arsitektur Kuburan. Bangunan kuburan pada umumnya mempergunakan dua sampai tiga kubah, yang ditopang lengkung pada setiap sisinya dan sekaligus berfungsi sebagai pintu gerbang. Kemegahan setiap bangunan makam ini seolah-olah merupakan proyeksi dari masa kekuasaannya.

Perkembangan Arsitektur Islam di Spanyol.

Arsitektur Islam Spanyol dapat dilihat terutama pada arsitektur Masjid Cordoba dan Istana Granada. Masjid yang didirikan Abdurrahman ad-Dakhil pada 786 ini mempunyai pola dasar bentuk masjid Arab asli dengan gaya masjid Umayah. Pada masa selanjutnya masjid ini telah mengalami penyempurnaan pada tahun 822, 976, dan 990, antara lain penambahan tiang sebagai cara untuk memperluas masjid.

Mula-mula tiang ditambah dengan lima deret, kemudian 17 deret memanjang, dan 8 deret ke samping. Penonjolan lain adalah adanya marmer monolit sebagai kubah penutup mihrab, yang dihiasi dengan ukiran bermotif renda yang dikerawang pada batu. Kekhususan lain adalah adanya tiang rangkap yang menopang lengkung bercorak ladam kuda. Hal yang baru dari arsitektur masjid ini adalah adanya peninggian yang ditempatkan di atas mihrab.

Kelengkapan baru ini ialah adanya maksura, tempat khusus bagi sultan melakukan salat. Keistimewaan lain adalah adanya tiang ganda bertumpuk yang dikombinasikan dengan lengkung. Kemudian ada tiang yang dipasang dengan mananamnya.

Istana yang didirikan di Granada terkenal dengan julukan Istana Singa, atau yang lebih terkenal dengan Alhambra. Penampilan istana ini dimulai dengan pintu gerbang megah, yang disusul dengan pelataran yang dilengkapi berbagai elemen, seperti kolam yang memakai air mancur yang didukung patung singa. Pintu gerbang itu terkenal dengan nama “gerbang singa”.

Dua belas patung singa dari marmer mendukung air mancur tadi, mencangkung berkeliling dan mengeluarkan air dari mulutnya. Air mancur dengan 12 singa tersebut merupakan pelataran sebagai titik orientasi terhadap ruang fasilitas, seperti ruang harem yang dilengkapi dengan kamar pribadi.

Perkembangan Arsitektur Islam di Tangan Kaum Usmaniyah. Arsitektur pada masa ini umumnya menampilkan corak yang sedikit berbeda dari arsitektur sebelumnya. Perkembangan tersebut dapat dili­hat dalam bentuk masjid, istana, dan kuburan, bahkan dalam bentuk pemandian.

(1) Arsitektur Masjid. Umat Islam pada zaman Usmani menampilkan tiga bentuk masjid, yakni tipe masjid lapangan, masjid madrasah, dan masjid kubah. Hal yang baru dalam rangka perkembangan arsitektur Islam gaya Usmaniyah ini ialah munculnya perencanaan bangunan oleh seorang arsitek yang pernah belajar di Yunani, yaitu Sinan.

Ia telah menghasilkan karya dalam berbagai bentuk bangunan, antara lain Masjid Sultan Sulaiman di Istanbul, yang menampilkan pertautan simbolis antara kemegahan masjid sebagai lambang sultan yang berkuasa dan keagungan masjid sebagai sarana keagamaan, misalnya, dengan memunculkan menara yang langsing dan tinggi seolah-olah muncul dari lengkung kubah dan melesat lepas ke ketinggian.

Pada masjid agung tersebut terdapat pula kolam hias yang sangat indah. Selain itu, muncul pula bangunan masjid yang berfungsi ganda, misalnya masjid yang dilengkapi dengan dapur umum yang diperuntukkan khusus untuk memberi makan fakir miskin.

(2) Arsitektur Istana. Bangunan istana Sultan menunjukkan arsitektur tersendiri pula. Corak hias istana ini berdasarkan pola dasar ornamen arabesk dengan ditambah pola hiasan geometris yang berlatar belakang marmer atau tegel berwarna. Dalam ruang istana terdapat lukisan yang menggambarkan makhluk hidup yang terkadang dilukiskan dalam bentuk relief.

(3) Arsitektur Kuburan. Bentuk lain yang muncul dalam masa Usmaniyah adalah kuburan yang memakai corak bangunan berkubah, kemudian gangnya ditata mengelilingi bangunan terseut dan merupakan bangunan yang beratap.

(4) Arsitektur Pemandian Umum. Bangunan pemandian umum juga memiliki arsitektur yang khusus. Bangunan ini berbentuk persegi yang beratap rata di bagian depannya dan beratap kubah pada bagian sumber airnya. Selain itu, pemandian ini dilengkapi dengan relief.

Perkembangan Arsitektur Islam di India. Pada masa ini baik bangunan masjid, kuburan, maupun istana, semuanya menampilkan corak yang sama.

(1) Arsitektur Masjid. Arsitektur masjid India pada umumnya mengambil corak masjid lapangan, kemudian memakai lengkung iwan; bahan yang digunakan terdiri dari batu. Hal ini sudah lama digunakan dalam membuat candi. Di Masjid Qutubuddin, misalnya, terdapat corak atap kubah dalam jumlah banyak dan mengatapi hampir semua ruangan, dan gapuranya mirip dengan bangunan candi ala India.

Corak menaranya berbentuk bulat seperti pilar yang runcing pada puncaknya serta mencuat tinggi ke atas. Bentuk itu tampil pada bentuk menara yang bernama Qutub Minar dengan ketinggian 73 m. Menara ini terdiri dari lima tingkat, tiga tingkat pertama merupakan ruangan yang dihiasi dengan batu cadas merah dan bangunan menara berdiri sendiri terlepas dari bangunan masjid.

(2) Arsitektur Kuburan. Monumen arsitektur Islam lainnya adalah bangunan kuburan yang berupa makam untuk para raja atau sultan. Bangunan tersebut dilengkapi dengan menara yang dibangun khusus dan berdiri sendiri terlepas dari kesatuan dengan bangunan induknya. Kuburan Tugluq Syah, penguasa pertama Dinasti Tugluq dari Kesultanan Delhi (1320–1325), merupakan sebuah bangunan yang direncanakan dengan baik.

Dinding bangunannya dibuat agak miring, ditutupi dengan hiasan marmer putih yang menopang kubah yang juga dari bahan marmer putih. Menaranya menjadi titik fokus bangunan tersebut. Bangunan yang terkenal adalah Taj Mahal di Agra. Bangunan ini berdiri di ujung taman yang luas dengan air mancur, yang dibatasi dengan pintu gerbang berbentuk lengkung iwan dan diatapi dengan ku­bah berbentuk bunga masif; temboknya dihiasi dengan relung berupa takikan pada tembok.

(3) Arsitektur Istana. Karya arsitektur lainnya adalah istana. India menampilkan istana yang merupakan gabungan antara gaya Persia dan gaya India sendiri.

Perkembangan Terakhir pada Abad Pertengahan.

Arsitektur Islam pada masa ini dimulai dengan munculnya Dinasti Usmaniyah dari Turki. Pada sekitar abad ke-16 Usmani Turki telah mencapai puncak kejayaan dengan menguasai daerah Mesir, Suriah, Mesopotamia, Asia Kecil, Tunisia, dan Aljazair, bahkan ke Eropa. Selanjutnya kebudayaan Islam itu berkembang bukan lagi di bidang fisik; penekanannya adalah Islam sebagai pedoman hidup dan mengutamakan penekanan spiritualnya. Arsitektur masjid dan lain-lain pada masa berikutnya lebih banyak mengikuti gaya yang sudah ada.

Arsitektur Islam di Indonesia. Arsitektur Islam Indonesia terlihat pada bangunan masjid, yang didukung keadaan alam Indonesia dan hasil transformasi budaya. Cirinya adalah bangunan konstruksi kayu dengan atap tumpang berbentuk limas dan tembok keliling halaman masjid dengan struktur gerbang seperti candi Majapahit.

Citra masjid lama di Indonesia merupakan contoh interaksi antara ilham agama dan tradisi arsitektur pra-Islam di Indonesia. Masjid semacam ini ialah masjid kerajaan (masjid agung) seperti masjid di Demak, Kudus, Cirebon, Banten, sebagai cikal bakal masjid di Jawa.

Perkembangan dari corak masjid atap tumpeng –pengaruh dari masjid Cina– masih dapat dilihat pada Masjid Agung Surakarta dan Yogyakarta dengan kelengkapan unsur bangunan yang berasal dari arsitektur Eropa sesuai dengan pembangunan istana itu sendiri. Terdapat juga pengaruh dari Usmani Turki, seperti Masjid Raya Medan, dan pengaruh dari Persia.

Pada abad modern, yang mengagumkan dari arsitektur Islam di Indonesia adalah berdirinya Masjid Istiqlal (dibangun sejak 1961 dan diresmikan 1978) yang bukan saja merupakan masjid terbesar di Asia belahan timur, tetapi juga masjid dengan kubah amat besar serta menara yang menjulang amat tinggi, juga dengan beduk yang berukuran besar.

Dekorasi dan Hiasan dalam Arsitektur Islam. Salah satu kelengkapan penting dalam arsitektur Islam adalah segi dekoratif dan ornamental yang memberikan kesan khusus. Hal tersebut merupakan pulasan terakhir dalam pembuatan bangunan sebagai unsur arsitektur Islam, yang kemudian menentukan mutu dan nilai penampilannya. Berikut ini adalah unsur dekorasi dan hiasan yang cukup menonjol dalam arsitektur Islam.

(1)          Lengkung yang beraneka ragam telah menimbulkan kesan dekoratif secara tersendiri, seperti lengkung tapal kuda, lengkung perahu, dan lengkung mahkota. Perkembangan selanjutnya menjadi kubah juga merupakan salah satu elemen keindahan arsitektur Islam itu.

(2)          Tiang sebagai penyangga merupakan perwujudan garis vertikal yang memberikan kesan kuat dan tegap. Susunan dan bentuknya yang khas juga dibantu dengan efek dari bahan marmer dan batu warna.

(3)          Bidang pada dinding bangunan serta bidang yang terdapat pada sambungan lengkung merupakan ruang yang meriah dan indah karena hiasan mosaik berwarna dari bahan tegel keramik yang mengilap membuat bentuknya menjadi sangat indah dan bersinar.

(4)          Seni hias yang merupakan hiasan rumahtangga juga dipergunakan dalam masjid, misalnya lampu hias dengan ukiran yang indah dengan berbagai cahaya membuat masjid bersinar.

(5)          Seni ukir dalam ukuran yang lebih besar diterapkan pada bangunan Islam. Tiang kayu yang ditatah hampir keseluruhannya penuh dengan ukiran, bahkan mimbar pun tidak lepas dari ornamen ukiran ini.

(6)          Hias geometris yang dipadukan dengan pola hias huruf Arab sesuai dengan cuplikan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi hiasan dinding.

Apabila diperhatikan lebih lanjut, ternyata seni rupa yang masuk ke dalam arsitektur Islam itu cenderung membentuk seni terapan yang mengutamakan fungsi sebagai pengisi arsitektur daripada seni rupa yang hanya semata-mata mengekspresikan rasa hati kreatornya. Dengan bakat, kesungguhan, dan pengalaman atas perkembangannya dari zaman ke zaman, seni hias khas Islam telah mendukung keberhasilan arsitektur Islam dalam mengisi sejarah arsitektur dunia.

Daftar Pustaka

Beg, Muhammad Abdul Jabbar, ed. Fine Arts in Islamic Civilization. Kuala Lumpur: The University of Malaya Press, 1981.
Brend, Barbara. Islamic Art. London: British Museum Press, 1991.
Fletccher, Banister Sir. A History of Architecture-Moslem Architecture. t.tp.: The Athlone Press, 1961.
Frishman, Martin and Hasanuddin Khan, ed. The Mosque: History, Architectural Development and Regional Diversity. London: Thames and Hudson, 1994.
Grabar, Oleg. The Formation of Islamic Art. New Haven and London: t.p., 1973.
Haog, John D. Islamic Architecture. New York: Harry and Abraham Inc, Publisher, 1972.
Ismail Razi Al-Faruqi, “Islam and Architecture,” Fine Arts in Islamic Civilization. Kuala Lumpur: The Malay University Press, 1981.
Israr, C. Sejarah Kesenian Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
James, David. Islamic Art: An Introduction. London: Hamlyn, 1974.
Kuban, Dogan. Muslim Religious Architecture. Leiden: E.J. Brill, 1974.
M.D., Sagimun. Peninggalan Sejarah: Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia. Jakarta: Haji Masagung, 1988.
Michell, George, ed. Architecture of the Islamic World. London: Thames and Hudson, 1978.
Petersen, Andrew. Dictionary of Islamic Architecture. London and New York: Routledge, 1996.
Rachim, Abdur. Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Bandung: Angkasa, 1983.
Steele, James, ed. Architecture for Islamic Societies Today. London and Genewa: t.p., 1994.

Syahrin Harahap