Salah satu bangsa yang berasal dari rumpun bangsa Semit adalah bangsa Arab. Istilah “Semit” ini dinisbahkan kepada Sam bin Nuh. Para ahli sejarah membedakan bangsa Arab menjadi dua golongan besar: Arab Baidah (telah lenyap) dan Arab Baqiyah (masih ada). Disebutkan bahwa bangsa Arab berasal dari Semenanjung Arabia. Secara geografis, Semenanjung Arabia terletak di barat daya Asia.
Tempat kediaman asal bangsa Arab, Semenanjung Arabia, berbatasan di sebelah utara dengan Irak dan Suriah, di sebelah selatan dengan Samudera Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Persia dan Laut Oman, dan di sebelah barat dengan Laut Merah. Sebagian besar dari kawasan Semenanjung Arabia terdiri dari gurun yang terhampar luas di tengahtengah semenanjung. Secara keseluruhan, iklim Semenanjung Arabia sangat panas dengan suhu udara yang sangat tinggi.
Bangsa Arab Baidah. Bangsa Arab Baidah ini telah ada jauh sebelum Islam. Sejarah keberadaan mereka sangat sedikit diketahui. Selama ini, cerita tentang mereka diketahui dari kitab samawi, terutama Al-Qur’an dan syair Arab Jahili, seperti cerita tentang kaum Ad dan kaum Samud.
Menurut suatu keterangan, semula bangsa Arab Baidah ini mendiami daerah Babil di kawasan Asia Kecil, kemudian mereka pindah ke Semenanjung Arabia bagian utara. Bangsa Arab Baidah terdiri dari berbagai kabilah, antara lain kabilah Ad, Samud, Tasm, Amaliqah, dan Jadis. Mereka inilah yang diduga merupakan keturunan asli dari bangsa Semit.
Bangsa Arab Baqiyah. Oleh para ahli sejarah, bangsa Arab Baqiyah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bangsa Arab Aribah atau Arab Qahtaniyah dan Arab Musta’rabah (Muta’arribah) atau Adnaniyah.
Arab Aribah adalah keturunan dari Qahtan yang di dalam Taurat disebut Yaqzan. Mereka mendiami wilayah Yaman. Kabilah Arab Aribah ini antara lain adalah kabilah Jurhum, Kahlan, dan Himyar. Menurut catatan sejarah, mereka pernah berjaya mendirikan kerajaan besar yang melahirkan kebudayaan dan peradaban tinggi di zamannya.
Arab Musta’rabah atau Muta’arribah adalah keturunan Nabi Ismail AS. Mereka mendiami kawasan Hijaz. Disebut Musta’rabah atau Muta’arribah karena nenek moyang mereka yang pertama, Nabi Ismail AS, tidak berbahasa asli Arab, melainkan berbahasa Ibrani atau Suryani. Kemudian mereka disebut pula Adnaniyah karena salah seorang dari keturunan Nabi Ismail bernama Adnan.
Sejarah Bangsa Arab. Menurut sejarah, Nabi Ibrahim AS membawa istrinya (Siti Hajar) dan putranya (Ismail AS) ke Mekah. Ismail dan ibunya menetap di Mekah dan hidup membaur dengan kabilah Jurhum dari Bani Qahtan yang lebih dulu menetap di wilayah ini. Dari kabilah Jurhum inilah Ismail AS mengenal bahasa Arab. Setelah dewasa, Ismail AS menikah dengan salah seorang putri kabilah Jurhum dan dikaruniai 12 orang anak. Dari mereka inilah lahir suku Quraisy dan Nabi Muhammad SAW berasal.
Ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab dapat dibedakan menjadi penduduk pedalaman dan penduduk perkotaan. Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal permanen atau perkampungan tetap. Mereka adalah kaum nomad yang hidup berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain.
Mereka berpindah-pindah dengan membawa binatang ternak untuk mencari sumber mata air dan padang rumput. Adapun penduduk perkotaan sudah mempunyai tempat kediaman permanen di kota-kota. Mata pencarian mereka adalah berdagang dan bertani. Mereka sudah mempunyai kecakapan berdagang dengan baik dan cara bertani yang cukup maju.
Bangsa Arab hidup berkabilah, baik yang nomad maupun yang menetap. Oleh karena itu, perselisihan dan pertentangan selalu terjadi. Menjelang kelahiran Islam, dunia Arab merupakan wilayah yang dilanda peperangan terus-menerus.
Agama Bangsa Arab. Bangsa Arab sebelum Islam sudah menganut agama yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, suatu kepercayaan yang diwarisi dari Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Al-Qur’an mengakui dan menyebut ajaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim AS tersebut dengan sebutan hanif (hanif), yaitu keyakinan yang mengakui keesa an Allah SWT, Tuhan pencipta, dan pengatur alam semesta.
Tetapi lama-kelamaan keyakinan yang dianut bangsa Arab itu semakin tidak murni seperti yang diajarkan Nabi Ibrahim AS. Takhayul telah menodai kemurnian akidah agama hanif tersebut, hingga akhirnya sampai pada penyimpangan yang menyekutukan Allah SWT.
Kepercayaan yang menyimpang dari agama hanif itu terkenal dengan sebutan agama Wasaniyah (berhala), yaitu agama yang menyekutukan Allah SWT. Agama ini mengadakan penyembahan kepada ansab (batu yang belum mempunyai bentuk) dan asnam (semua jenis patung yang tidak terbuat dari batu).
Bangsa Arab Jahiliah itu masih mengakui Allah Yang Maha Agung, tetapi mereka merasakan adanya jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia. Manusia dipandang tidak mungkin berhubungan langsung dengan-Nya. Oleh karena itu, diciptakanlah patung berhala sebagai perantara.
Dari masa ke masa patung berhala semakin berkembang. Masing-masing kabilah dan keluarga mempunyai berhala kesayangan yang disimpan di dalam rumah dan disembah pada waktu tertentu. Di antara sekian banyak berhala itu ada beberapa berhala yang terkenal yang diletakkan di sekeliling Ka’bah, seperti Hubal, Manata, Lata, dan Uzza.
Pada peristiwa Fath al-Makkah (penaklukan kota Mekah) oleh Nabi Muhammad SAW dari pusat kekuasaannya di Madinah, berhala yang ada di sekeliling Ka’bah dihancurkan Rasulullah SAW dan tentara muslimin.
Tidak semua bangsa Arab Jahiliah itu menganut agama Wasaniyah. Ada juga kabilah yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Bangsa Arab Aribah atau Qathaniyah yang berdomisili di wilayah selatan Semenanjung Arabia telah berjaya mendirikan kerajaan besar. Mereka membangun kota dan mendirikan istana megah dengan arsitektur yang bermutu sangat tinggi.
Mereka juga sudah mampu mengolah pertanian dengan sistem irigasi, ahli dalam seni ukir terutama memahat patung, ahli ilmu nujum atau perbintangan, mempunyai angkatan perang yang tangguh, dan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan tetangga.
Bukti Arkeologis. Sebagian bukti materiil dari kebudaya an dan peradaban bangsa Arab zaman lampau itu telah ditemukan dan dapat disaksikan hingga kini, seperti puing bangunan Bendungan Ma’arib yang dibangun pada masa Kerajaan Saba di Yaman, bangunan suci Ka’bah yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim AS di Mekah, dan patung dan benda peninggalan sejarah lainnya.
Bangsa Arab Jahiliah, terutama yang mendiami daerah Hijaz juga mempunyai aspek budaya nonmateriil. Di kalangan bangsa Arab itu terdapat para pujangga dan penyair ulung, penutur cerita prosa, ahli pidato, ahli peribahasa, tukang tenung, peramal, dan penunggang kuda yang tangkas. Tetapi karena mereka hidup berkabilah, di antara kabilah itu selalu terjadi permusuhan dan peperangan yang berkepanjangan.
Bangsa Arab Jahiliah tidak terikat dengan norma atau aturan moral yang ketat. Perbuatan seperti minum arak, berjudi, berzina, mencuri, dan merampok dipandang sebagai hal yang lumrah. Kaum wanita dipandang sangat rendah dan dianggap sebagai harta yang dapat diwariskan maupun diperjualbelikan. Bahkan ada kabilah tertentu yang membenarkan norma untuk mengubur anak perempuan hidup-hidup sebab memelihara anak perempuan sampai dewasa dipandang sebagai beban dan dapat menimbulkan aib bagi kabilahnya.
Pengutusan Nabi Muhammad SAW. Di tengah memuncaknya agama Wasaniyah dan semakin longgarnya ikatan moral di kalangan bangsa Arab, Allah SWT memilih seorang pemuda dari suku Quraisy, Muhammad bin Abdullah, menjadi rasul-Nya. Muhammad diutus untuk menyampaikan agama yang benar dan untuk memperbaiki akhlak umat manusia.
Kerasulannya ditandai dengan diturunkannya wahyu pertama (QS.96:1–5) ketika ia berumur 40 tahun. Tiga tahun kemudian turun wahyu kedua (QS.74:1–7) yang mengandung perintah agar Nabi SAW mengajak manusia untuk memeluk agama yang dibawanya.
Sejak diturunkannya wahyu kedua, Rasulullah SAW mulai berdakwah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakatnya. Pada tahap awal, dakwah tersebut dilakukan secara rahasia dan sangat hati-hati. Setelah turun perintah dari Allah SWT (QS.15:94), selanjutnya dakwah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan ditujukan kepada masyarakat luas.
Kehadiran Islam membawa banyak perubahan bagi kehidupan bangsa Arab dalam berbagai aspek. Bangsa Arab yang tadinya hidup dengan sistem kabilah yang saling bermusuhan kini berhasil dipersatukan Rasulullah SAW atas dasar persaudaraan dan persamaan.
Penyebaran Islam. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, dapat dikatakan bahwa seluruh Semenanjung Arabia telah memeluk agama Islam. Para khalifah sebagai penguasa politik di Madinah melanjutkan usaha Nabi SAW untuk menyiarkan Islam ke negeri tetangga.
Ekspansi Arab-Islam pertama dilakukan Khalifah Umar bin Khattab. Ekspansi besar-besaran kedua berlangsung pada masa Dinasti Umayah (661–750) yang berpusat di Damascus. Dinasti ini sangat kuat bercirikan kearaban. Dalam waktu relatif singkat, Islam sudah menyebar ke luar Semenanjung Arabia.
Pada masa kejayaan pemerintahan Islam di bawah kendali bangsa Arab ini, wilayah pemerintahan Islam meluas sampai ke Spanyol di barat dan sampai ke India di timur. Untuk masa beberapa ratus tahun, penduduk negeri yang ditaklukkan itu tetap dalam agama mereka masing-masing.
Baru setelah mereka menyaksikan kemajuan peradaban Arab-Islam dan rapinya pemerintahan di negeri itu, mereka dengan sukarela memilih masuk Islam. Setelah itulah kemudian terjadi proses islamisasi secara luas. Lebih jauh dari itu, mereka bukan saja menjadi Islam, tetapi juga menjadi “Arab”. Misalnya, penduduk Mesir, Suriah, Palestina, Persia, Aljazair, Maroko, Libya, Tunisia, dan Spanyol adalah non-Arab yang menjadi Arab.
Hanya Persia yang kemudian berhasil kembali menegakkan nasionalisme mereka dan Spanyol yang dengan kejam mengusir orang Arab Islam dari negeri mereka. Mereka terarabkan dalam waktu beberapa abad.
Bahasa resmi yang digunakan dalam pemerintahan dan komunikasi sehari-hari adalah bahasa Arab. Peradaban yang dikembangkan penguasa pada masa itu adalah peradaban Arab-Islam. Beberapa di antara suku bangsa yang terarabkan itu sudah lupa akan bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Karena itulah, sekarang pengertian Arab dewasa ini tidak lagi didasarkan atas pemikiran etnis.
Di beberapa daerah baru tersebut bangsa Arab membangun kekuasaan dan membina kebudayaan. Sejarah mencatat bahwa Islam yang berintikan bangsa Arab sebagai pelaku sejarahnya telah menjadi kekuatan politik adikuasa. Bahasa Arab menjadi bahasa kesatuan umat Islam di seluruh pelosok negeri.
Mereka membina kebudayaan dan peradaban Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun nonagama di seluruh negeri. Hal ini dapat dilihat bahwa Damascus, Baghdad, Cairo, Cordoba (Spanyol), dan kota lainnya terkenal sebagai kota budaya dan ilmu pengetahuan. Melalui Cordoba dan Perang Salib, bangsa Eropa mengenal dan mempelajari berbagai aspek kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Arab muslim.
Masa Keemasan Arab-Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, Arab-Islam mencapai masa keemasannya. Dalam wilayah dan pemerintahan Islam itu banyak berhimpun suku bangsa non-Arab, antara lain yang terbesar Persia dan Turki.
Dinasti Abbasiyah banyak sekali menempatkan orang Persia untuk jabatan penting dalam pemerintahan, sehingga persaingan antara orang Arab dan Persia semakin ketat dan cenderung terbuka. Persaingan antara kedua golongan itu dilambangkan antara lain dalam perebutan kekuasaan antara dua putra Khalifah Harun ar-Rasyid, yaitu al-Amin yang didukung orang Arab dan al-Ma’mun yang didukung orang Persia. Dalam konflik itu, al-Ma’mun keluar sebagai pemenang. Peristiwa ini melambangkan jatuhnya dominasi Arab ke tangan Persia dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Masa Runtuhnya Dominasi Arab. Pada masa kekuasaan Islam yang semula didirikan bangsa Arab tersebut memasuki masa desintegrasi, ketiga bangsa itu (Arab, Persia, dan Turki) berlomba mendirikan kerajaan kecil. Mereka berusaha memerdekakan diri dari kekuasaan pusat (Baghdad) yang mulai menjadi ajang perebutan kekuasaan politik di antara tiga bangsa Islam yang besar tersebut.
Pada masa itu tercatat beberapa kerajaan Arab berdiri, misalnya: Idrisiyah di Maroko (172 H/789 M–378 H/989 M), Aghlabiyah di Tunisia (184 H/800 M–289 H/909 M), Dulafiyah di Kurdistan (210 H/826 M–285 H/898 M), Alawiyah di Tabaristan (250 H/864 M–316 H/928 M), Hamdaniyah di Aleppo dan Mosul (317 H/929 M–394 H/1004 M), Mazyadiyah di Hillah (403 H/1013 M–545 H/1150 M), Ukailiyah di Mosul (386 H/996 M–489 H/1096 M), dan Mirdasiyah di Aleppo (414 H/1023 M–472 H/1080 M).
Jatuhnya Baghdad ke tangan tentara Hulagu Khan pada 1258 merupakan peristiwa yang sangat memukul kekuatan bangsa Islam tersebut, terutama bangsa Arab yang dalam jangka waktu lama sulit bangkit kembali. Bahkan, ketika Kerajaan Usmani yang berdiri pada 1300 menjadi satu dari tiga kerajaan besar Islam, yang masa kejayaannya berlangsung pada abad ke-15, ke-16, dan ke-17, seluruh negeri berbahasa Arab jatuh menjadi daerah taklukannya.
Pada masa itu, kecuali di Mesir, peradaban dan kebudayaan Arab bagai terhenti karena Kerajaan Usmani lebih banyak mementingkan perkembangan militer daripada perkembangan kebudayaan dan peradaban.
Ketika Kerajaan Usmani mulai memasuki masa kemundurannya dan Eropa makin dominan, nasib bangsa Arab tetap tidak membaik. Beberapa wilayah kekuasaan Kerajaan Usmani mulai berjatuhan ke tangan kekuasaan Eropa, termasuk di dalamnya wilayah Arab.
Misalnya, pada 1820 Oman menjadi wilayah protektorat Inggris, 1830–1847 Aljazair ditaklukkan Perancis, 1881 Tunisia diserbu Perancis, 1882 Mesir diduduki Inggris, 1898 Sudan ditaklukkan Inggris, 1912–1913 Tripoli (Libya) diserbu Italia, 1912 Maroko menjadi rebutan Perancis dan Spanyol, 1914 Kuwait menjadi protektorat Inggris, 1916 Qatar menjadi wilayah protektorat Inggris, 1920 Inggris diberi mandat atas Irak oleh Liga Bangsa-Bangsa, dan pada 1920 Suriah dan Libanon menjadi daerah mandat Perancis.
Masa Kebangkitan Kembali Bangsa Arab. Kehadiran bangsa Eropa itu membuat bangsa Arab mengenal pergerakan nasional yang terjadi di Eropa. Oleh karena itu, gagasan nasionalisme juga berkembang, sebagaimana yang terjadi di negeri jajahan di seluruh dunia. Nasionalisme Arab itu dibentuk atas kesamaan bahasa. Dengan demikian, semua yang berbahasa Arab adalah bangsa Arab, tanpa melihat agama dan latar belakang etnis maupun keturunan.
Abad ke-19 dapat dikatakan merupakan awal masa kebangkitan kembali bangsa Arab. Sejak itu banyak bermunculan pujangga Arab yang menulis di berbagai harian dan jurnal berkala yang menyuarakan aspirasi pergerakan nasional Arab, baik dari aspek sastra, politik, sosial maupun keagamaan. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Suriah, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu semakin kuat karena ada usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah bangsa Arab dan di negeri tempat tinggal mayoritas bangsa Arab.
Namun, berbeda dengan negeri yang menyuarakan aspirasi nasionalnya, bangsa Arab ketika itu berada di beberapa wilayah kekuasaan. Cita-cita mendirikan satu negara Arab menghadapi tantangan yang sangat berat. Untuk mencapai cita-cita itu, paling tidak, mereka harus melalui dua tahap:
(1) memerdekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah dan
(2) mendirikan negara kesatuan Arab. Pada 22 Maret 1945 mereka berhasil mendirikan Liga Arab. Akan tetapi, terbentuknya Liga Arab itu belum berarti cita-cita utama, yakni mendirikan negara Arab bersatu, sudah tercapai. Apalagi, ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana. Terbentuknya Republik Persatuan Arab.
Cita-cita terbentuknya satu negara Arab bersatu bergelora kembali di tangan Gamal Abdel Nasser yang berhasil melakukan kudeta militer terhadap rezim Farouk di Mesir pada 23 Juli 1952. Dengan semangat yang sangat tinggi ia menyuarakan cita-cita nasionalisme Arab. Baginya, konsep nasionalisme Arab itu didasarkan pada kesamaan bahasa, latar belakang sejarah, dan letak geografis. Dengan demikian, beberapa negara yang terletak antara Suriah dan Mesir, Irak, Semenanjung Arabia dan beberapa negara di sekitar Semenanjung Arabia, bahkan Sudan dan Libya, menurutnya adalah bangsa Arab karena penduduknya berbahasa Arab.
Secara historis mereka merupakan satu kesatuan dan secara geografis negara tersebut berada dalam kesatuan wilayah serta mudah dijangkau alat komunikasi yang ada pada saat itu.
Tujuan yang ingin dicapai Nasser melalui nasionalisme Arabnya itu adalah Arabisme, kemerdekaan, kesatuan, reformasi, dan kemajuan. Rumusan tujuan ini diangkat dari kenyataan bahwa negara Arab pada saat itu umumnya lemah dan jauh berada di bawah kekuatan Eropa. Selain itu mereka terpecah-pecah. Menurut Nasser, untuk bisa maju mereka harus merdeka dan bebas dari pengaruh asing, kemudian bersatu untuk menghimpun semua potensi yang ada. Tujuan Arabisme yang tertuang dalam rumusan Nasser itu adalah kebangkitan kembali, penonjolan karakter Arab, dan peningkatan martabat bangsa Arab di mata dunia.
Pada dasarnya gerakan bangsa Arab secara parsial telah ada, tetapi itu mereka lakukan untuk wilayah masing-masing, tidak untuk bangsa Arab secara keseluruhan. Bahkan kebanyakan mereka mempertahankan keterikatannya dengan bangsa asing. Padahal, kehadiran bangsa asing (Eropa dan Amerika) di negara Arab tidak terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik, sehingga hasil dari sektor ekonomi terpenting banyak terserap oleh mereka.
Pengaruh Inggris di Mesir dan Irak masih sangat kuat, begitu juga pengaruh Amerika di Arab Saudi melalui ARAMCO (Arabian American Oil Company) yang didirikan Presiden Theodore Roosevelt bersama-sama pemerintah Arab Saudi pada 1944. Semua itu menurut Nasser merupakan indikasi bahwa negara Arab belum merdeka secara penuh.
Kesatuan yang dimaksud Nasser adalah kesatuan politik, yakni seluruh bangsa Arab berada dalam satu negara. Bentuk negara yang dicita-citakannya adalah United Arab Republic (Republik Persatuan Arab atau RPA). Inilah tujuan akhir yang ingin dicapai Nasser melalui nasionalisme Arabnya. Tanggapan pertama kali muncul dari pemimpin Yaman dan disusul Suriah.
Pada 1 Februari 1958 presiden Suriah, Quwatly, dan Nasser mencapai suatu kesepakatan, yakni mendeklarasikan negara RPA dengan Gamal Abdel Nasser sebagai presiden pertama dan Quwatly sebagai wakil presiden. Reaksi negara Arab terhadap deklarasi ini berbeda-beda. Raja Husein dari Yordania dan Raja Faisal dari Arab Saudi menentang unifikasi Mesir-Suriah, dan membentuk kesatuan tandingan, tetapi tidak begitu populer. Arab Saudi menjauh karena putra mahkota Faisal khawatir harus mendistribusikan hasil minyak pada seluruh masyarakat RPA.
Sementara itu, bangsa Arab Palestina menyambutnya dengan penuh kegirangan karena berharap bahwa RPA akan segera dapat membebaskan tanah air mereka yang diduduki Israel sejak 1948. Masyarakat Kristen Libanon menentang kehadiran RPA dengan memperlihatkan poster Presiden Sham’un yang beragama Kristen. Sham’un tidak ingin Kristen berada di tengah mayoritas Islam.
Kemudian ia meminta Liga Arab dan PBB untuk menyetop gerakan Nasser agar tidak mengganggu kemerdekaan Libanon. Selain itu, Sham’un juga meminta kepada Amerika Serikat untuk mengirimkan bantuan militernya, sehingga presiden Amerika Serikat menempatkan angkatan lautnya di Libanon dan angkatan laut Inggris di Yordania.
Sementara itu, junta militer Irak yang berhasil melakukan kudeta terhadap rezim Faisal II dan membentuk negara Republik Irak pada 14 Juli 1958, pada mulanya berhasrat menggabungkan diri dalam RPA. Akan tetapi, akhirnya mereka menolak gagasan itu karena khawatir hasil minyak Irak yang banyak itu harus didistribusikan kepada 30 juta rakyat Mesir dan 6 juta rakyat Suriah ketika itu.
Periode 1959–1960 merupakan saat yang sulit bagi Nasser untuk mewujudkan idenya. Irak dan Arab Saudi berjalan sendiri-sendiri. Libanon di bawah pengaruh Amerika Serikat dan Yordania di bawah pengaruh Inggris menyatakan netral dan merdeka. Kudeta militer di Sudan diperkirakan akan menyebabkannya bergabung dengan RPA, ternyata tidak. Beberapa politisi Suriah mulai ragu akan keandalan cita-cita politik Nasser karena kurang mendapat dukungan dari bangsa Arab.
Pukulan paling hebat terjadi pada 1961 ketika pemerintahan baru Suriah menyatakan tidak bergabung dengan RPA. Akhir 1961, tinggal Mesir sendiri dalam RPA. Tantangan yang terbesar, di samping persoalan pembagian penghasilan antarnegara, yang dihadapi Nasser adalah kepentingan negara Eropa dan Amerika Serikat di Timur Tengah.
Eksplorasi minyak di sana pada umumnya dilakukan perusahaan Eropa dan Amerika Serikat, sedangkan konsep ekonomi Nasser dengan RPA-nya adalah nasionalisasi perusahaan itu, yang tentu saja dapat mengakhiri otoritas perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu, mereka sangat berkepentingan dengan kemerdekaan negara Arab, tempat perusahaan itu beroperasi.
Kharisma Nasser dari Mesir terus menurun di kalangan para pemimpin Arab. Cita-cita RPA pupus sudah. Tampaknya Liga Arab menjadi puncak pencapaian gerakan nasionalisme Arab. Arab Saudi melangkah masuk untuk mengisi sebagian kekosongan yang ditinggal Nasser dan menjamin bahwa sesungguhnya perang bangsa Arab yang pertama dalam melawan Israel pada 1973 membawa panji Islam, identitas pemersatu bangsa Arab.
Kepemimpinan Arab Saudi atas negara Arab yang lain terutama karena kharisma Raja Faisal dan kekayaan minyak kerajaan itu yang membantu perjuangan bangsa Arab melawan Israel (terutama dalam perang Arab-Israel 1973). Akan tetapi, negara Arab yang terhimpun dalam Liga Arab itu lebih sering bertikai daripada bersatu.
Pada 1977 presiden Mesir Anwar Sadat dianggap mengkhianati bangsa Arab dengan berkunjung ke Israel untuk tujuan perdamaian. Pada 1978 ia menandatangani Perjanjian Camp David, sebuah perjanjian dengan Israel. Tentu saja negara Arab lainnya berang. Sejak itu bangsa Arab tidak lagi satu kata dalam melawan Israel.
Ketika terjadi peperangan Irak dan Iran pada 1980-an, beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi dan Kuwait, mendukung dan membantu Irak sebagai usaha agar revolusi Islam tidak meluas ke negara mereka. Adapun Libya dan Suriah justru mendukung dan membantu Iran.
Ketika Irak melakukan aneksasi atas Kuwait (1990) sikap negara Arab juga tidak persis sama. Hal ini juga terjadi ketika perang antara Amerika Serikat dan sekutunya pada 1990 melawan Irak untuk mengembalikan kemerdekaan Kuwait. Pada 1992, ketika Amerika Serikat memprakarsai PBB untuk melakukan embargo udara atas Libya, kembali anggota Liga Arab tidak mencapai kata sepakat. Bahkan sebagian besar justru mendukung keputusan PBB yang merugikan negara Arab itu.
Ketika Irak pada Maret 2003 diserang Amerika Serikat dan Inggris karena dicurigai memproduksi senjata pembunuh massal, beberapa negara Arab sangat berhati-hati bahkan terpecah menjadi pro dan kontra dalam menentukan sikapnya.
Tradisi perang antarkabilah sebelum Islam kelihatannya berubah menjadi tradisi konflik antarnegara dewasa ini. Akan tetapi, beberapa negara Arab dewasa ini sudah berkembang menjadi bangsa yang maju, terutama karena hasil minyak dan gas buminya yang melimpah. Karena kekayaan yang besar itu pembangunan berjalan lancar, gedung pencakar langit berdiri di kota-kota Arab. Karena itu pula pembinaan pendidikan dapat ditingkatkan. Perguruan tinggi modern berdiri, bukan saja dalam ilmu keagamaan tetapi juga dalam bidang sains dan teknologi.
Sementara itu, akibat pengaruh dari kebangkitan Islam timbul tanda bagi pemusatan perhatian kembali pada peranan ulama yang selama beberapa dekade kelihatan ditinggalkan karena lebih berorientasi pada gagasan nasionalisme yang menyingkirkan kesatuan agama. Konflik antarnegara Arab yang dilatarbelakangi gagasan nasionalisme itu oleh sebagian negara Arab dicoba diatasi dengan cara kembali memperhatikan ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Adams, Michael, ed. Handbook to the Modern World: The Middle East. New York: Fack On File Publication, 1988.
al-Bazzaz, Abdurrahman. “Islam and Arab Nasionalism,” Arab Nasionalism. Berkeley: University of California, 1962.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1980.
Cleveland, William L. A History of the Modern Middle East. Boulder: Westvoew Press, 1994
Dallu, Burhanuddin. Jazirah al-‘Arab Qabl al-Islam. Beirut: t.p., 1989.
Gibb, Hamilton A.R. “Pre Islamic Monotheism in Arabia,” Harvard Theological Review, 55:269–280, 1962.
Glubb, Sir John. A Short History of the Arab Peoples. New York: Dorset Press, 1969.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1974.
Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples. Cambridge: Harvard University Press, 1991.
al-Jawad, ‘Ali. al-Mufassal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam. Beirut: t.p., 1976.
an-Naqeeb, Khaldoun. Society and State in the Gulf and Arab Peninsula. New York: Routledge, 1990
Oxtoby, Willard Gurdon. “Arabian Religions,” The New Encyclopaedia Britannica. Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., t.t.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-sadharah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
Badri Yatim