Istilah wilayah berasal dari kata wala, yali, yang berarti kekuasaan, kewenangan, pertolongan, dan pengelolaan (sesuatu). Dalam fikih, istilah ini berarti wewenang seseorang untuk mengelola sesuatu atau mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak secara hukum. Dari kata ini muncul istilah “wali” bagi anak yatim.
Tindakan hukum seseorang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub (belum mampu bertindak hukum) dianggap belum sah, baik karena ia masih kecil (belum sempurna akalnya) maupun disebabkan kecakapan bertindak hukumnya menjadi hilang (seperti, gila dan orang yang dalam status pengampuan).
Pribadi seperti ini memerlukan seseorang yang dapat membantu mereka dalam melakukan tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka, maupun harta benda dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi mereka.
Secara terminologi, ulama mendefinisikan wilayah sebagai tindakan orang dewasa dalam mengelola persoalan pribadi dan harta orang yang tidak cakap bertindak hukum. Dari sudut ini konsep wilayah sama dengan konsep pengganti atau wakil dalam bertindak hukum. Wakil atau pengganti ini dapat berbentuk sukarela (adanya pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang diwakili) dan dapat juga berbentuk “paksaan” yang harus diterima seseorang melalui pendelegasian syarak (hukum Islam) atau hakim.
Untuk yang disebut terakhir ini, khusus ditujukan sebagai wakil dari orang yang tidak punya kecakapan bertindak hukum. Dalam kaitan ini wakil bertindak dan berbuat untuk kemaslahatan orang yang diampunya, berdasarkan pendelegasian dari syarak. Tugas dan wewenangnya mencakup segala persoalan yang dapat diwakilkan, seperti dalam transaksi dan perkara-perkara yang menyangkut peradilan atau hak.
Dalam perwalian yang secara “paksa” diterima seseorang dari syarak, segala tindakan hukum wali yang menyangkut kemaslahatan orang yang diampunya wajib dilaksanakan. Apabila orang ini telah memiliki ahliyyah al-ada’ (telah cakap bertindak hukum) dan ternyata ia tidak setuju dengan tindakan yang telah dilakukan walinya selama mengampu tersebut, tindakan wali itu tidak boleh dibatalkan, dengan syarat tindakan wali itu untuk kemaslahatan dirinya sendiri dan memenuhi persyaratan yang ditentukan syarak.
Perwalian yang menyangkut urusan pribadi orang yang diampu antara lain masalah perkawinan, kesehatan, dan pendidikan yang bersangkutan. Adapun yang menyangkut harta antara lain melakukan transaksi, pemeliharaan harta, nafkah, dan tindakan hukum lainnya yang menurut wali di anggap bermanfaat bagi orang yang diampunya.
Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa mengacu kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang diampunya. Karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan yang cukup rumit, syarak sangat menganjurkan agar yang menjadi wali adalah dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya; kedua orang ini diperkirakan akan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh.
Jika ayah atau paman tidak ada, kakek pun dapat diberi tugas perwalian ini, baik terhadap urusan pribadi mau-pun urusan harta. Apabila orang laki-laki terdekat tidak ada, hak perwalian dalam urusan pribadi dapat ditangani pihak ibu.
Adapun perwalian dalam masalah harta, jika ayah orang yang berstatus ahliyyah al-wujub ini telah meninggal dunia, maka wewenangnya hanya akan berpindah tangan kepada orang yang diberi wasiat oleh almarhum tanpa memper soalkan apakah yang ditunjuk itu laki-laki atau perempuan. Dalam kasus seperti ini, wewenang perwalian berubah nama menjadi wisayah (orang yang diberi wasiat untuk mengelola harta orang yang diampunya itu).
Dilihat dari segi kekuatannya, hak perwalian dibagi oleh ulama dalam empat bentuk.
(1) Hak perwalian yang bersifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi orang yang diampu. Misalnya, wali dapat memaksa orang yang diampunya untuk menikah, mengajarnya atau melakukan pengobatan berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada pada wali yang bertalian keluarga erat dengan orang yang berstatus ahliyyah al-wujub tersebut, seperti ayah atau kakek.
(2) Hak perwalian yang sifatnya lemah terhadap urusan pribadi orang yang diampu. Misalnya, wali semata-mata mengawasi, mengajar, dan mendidik yang diampunya. Dalam status seperti ini, seorang wali tidak dapat melakukan tindakan spekulatif yang banyak mengandung risiko terhadap orang yang diampunya.
(3) Hak perwalian yang sifatnya cukup kuat dalam urusan harta orang yang diampu. Misalnya, wali dapat memperdagangkan harta orang yang diampunya dengan tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu sendiri, bukan untuk si wali.
(4) Hak perwalian yang sifatnya sangat lemah terhadap harta orang yang diampu. Misalnya, wali hanya sekadar memelihara harta orang yang diampunya tanpa boleh memperdagangkannya serta mengeluarkan harta itu hanya sekadar biaya yang diperlukan orang yang diwakilinya.
Hak perwalian yang sifatnya kuat dalam persoalan pribadi dan harta orang yang diampu berada di tangan ayah, kakek, dan seterusnya sampai ke atas. Wali yang besar kekuasaannya terhadap harta tetapi kecil kekuasaannya terhadap urusan pribadi orang yang diampunya adalah keluarga dekat selain ayah dan kakek.
Hak perwalian sifatnya lemah dan kecil terhadap urusan pribadi dan harta apabila walinya adalah orang yang tidak mempunyai pertalian keluarga dengan orang yang diampu. Wali yang memiliki kekuasaan yang besar terhadap urusan harta tetapi kecil terhadap urusan pribadi adalah para wasi (orang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali anaknya).
Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali atau ayah orang yang berstatus ahliyyah al-wujub ini tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang akan bertindak sebagai penggantinya, hak perwaliannya berpindah tangan kepada penguasa atau hakim.
Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa penguasa atau hakim menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal). Akan tetapi, sebagai wali bagi orang-orang yang berstatus seperti ini, kekuasaan penguasa atau hakim merupakan kekuasaan umum yang sifatnya tidak begitu kuat.
Dalam kaitan ini ulama mengatakan bahwa perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh ayah jika ia meninggal dunia) lebih kuat daripada perwalian umum (penguasa atau hakim).
Daftar Pustaka
Basya, Qudri. al-Ahkam asy-Syar‘iyyah fi Ahwal asy-Syakhsiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1970.
Haydar, Ali. Durar al-hukkam Syarh Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Ibnu Nujaim, Zainal Abidin Ibrahim. al-Asybah wa an-Naza’ir. Cairo: Mu’assasah al-Halabi wa Syurakah, 1986.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen