Ar-Raniri, Nuruddin

(w. 22 Zulhijah 1069/21 September 1658)

Nuruddin ar-Raniri adalah seorang ulama besar, penulis, ahli fikih, dan syekh Tarekat Rifaiyah yang merantau dari India dan menetap di Aceh. Ia menentang ajaran wujudiyyah (panteisme) Hamzah Fansuri. Ia berjasa menyebarkan bahasa Melayu melalui bukunya di Asia Tenggara, sehingga belajar agama Islam lebih mudah.

Nama lengkap ar-Raniri adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi‘i. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 di Ranir (sekarang Rander) dekat Surat, Gujarat, In­dia. Pendidikan awal dalam masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahiran­nya sendiri.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim, Arab selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Sebelum kem­bali ke India, ia menunaikan­ ibadah­ haji dan ziarah ke ma­kam Nabi Muhammad SAW pada 1621 M (1030 H).

Setelah beberapa tahun mengajar agama dan diangkat sebagai seorang syekh Tarekat Rifaiyah di India, ia mulai merantau ke Nusantara dengan memilih­ Aceh sebagai tempat menetap­. Ia tiba di Aceh 31 Mei 1637 berte­patan dengan 6 Muharam 1047. Belum dapat diketahui secara pasti sebab-sebab yang mendorong dia merantau ke Aceh.

Diduga kedatangannya ke Aceh adalah karena Aceh ketika itu sedang berkembang menjadi­ pusat perdagangan, kebudayaan, dan politik serta­ pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara,­ menggantikan Malaka yang telah jatuh ke dalam kekuasaan Portugis; mungkin juga karena ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid ar-Rani­ri, yang telah tiba di Aceh 1588.

Setelah menetap di Aceh, Syekh Nuruddin ar-Raniri dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang produktif. Ia banyak menulis kitab dalam­ berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, hadis,­ akidah, sejarah, mistik, filsafat, dan perbandingan agama. Yang menonjol dalam tulisannya adalah ia selalu menyebutkan­ sumber kutipan untuk memperkuat argumen yang ia kemukakan­.

Sebagai ahli fikih, buku karang­annya­ yang terkenal adalah as-sirath al-Mustaqim (Jalan Lurus). Buku ini membi­carakan berbagai masalah­ ibadah, antara lain salat, puasa, dan zakat. Syekh Nuruddin ar-Raniri adalah salah seorang ulama yang berjasa dalam menyebarluaskan bahasa­ Melayu di kawas­an Asia Tenggara. Karya-karya­nya yang ditulis dalam bahasa Melayu membuat­ bahasa ini semakin populer­ dan menjadi bahasa Is-lam kedua setelah bahasa Arab.

Bahkan, ketika itu, jalan yang paling mudah bagi setiap orang Islam untuk mengetahui ajaran agamanya­ adalah dengan belajar bahasa Melayu, agar dapat membaca kitab agama yang tertulis dalam bahasa tersebut. Kitab yang ditulis Syekh Nuruddin ar-Raniri sangat populer dan dikenal luas oleh umat Islam di kawasan Asia Tenggara. Bersamaan de­ngan itu pula, bahasa Melayu tersebar luas sebagai lingua franca.

Hubungan baik ar-Raniri dengan Sultan Iskandar Sani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan­ ajaran dan paham mistik yang dibawanya­. Peluang itu lebih berkembang lagi, terutama­ setelah ia diangkat sebagai mufti Kesultanan Aceh.

Ia menentang paham wujudiyyah yang berkembang­ di Aceh waktu itu, suatu paham yang sebelumnya dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (keduanya pengikut pemikiran dan ajaran Ibnu Arabi).

Untuk me­nyanggah pendapat dan paham wujudiyyah Hamzah Fansuri, ia sengaja menulis beberapa kitab,­ antara lain: Asrar al-‘Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Para Kekasih), dan al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di samping itu ia juga menyanggah­ ajaran Hamzah melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyyah.

Ar-Raniri menentang ajaran wujudiyyah karena ia menganggap ajaran tersebut berasal dari ajaran panteisme Ibnu Arabi yang kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, yaitu:

(1) kesatuan wujud Tu­han dengan makhluk dan

(2) perbedaan­ antara syariat dan hakikat.

Terhadap masalah pertama yang menyatakan keesaan Tuhan dengan makhluk, Syekh Nuruddin menjelaskan bahwa jika Tuhan dan makhluk, ha­kikatnya adalah satu, maka jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan, dan dengan sifat ketuhanannya­ ia akan dapat mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi dan berbuat apa saja yang dikehendakinya­.

Menurut Nuruddin, hal ini mustahil terjadi pada manusia. Lebih lanjut, ia mengemuka­kan bahwa ajaran yang menyatakan “wujud Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk adalah­ wujud Allah” mengandung­ empat kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT, yaitu:

(1) intiqal, artinya wujud Allah SWT berpindah kepada­ makhluk, seperti seorang berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain,

(2) ittihad, artinya dua wujud menjadi satu, seperti bersatunya emas dengan­ tembaga,

(3) hulul, artinya wujud Allah SWT masuk ke dalam makhluk, seperti air masuk ke dalam kendi, (4) ittisal, artinya wujud Allah SWT berhubungan dengan makhluk, seperti manusia dengan­ anggotanya.

Mengenai masalah kedua, yaitu bahwa syariat berbeda dengan hakikat dan karena itu perbedaan Tuhan dengan makhluk hanya dari segi syariat, bukan­ dari segi hakikat, Nuruddin menolaknya dengan­ mengemukakan sejumlah pandangan dari ulama yang menyatakan kaitan yang sangat erat antara syariat dengan hakikat.

Pengetahuan Syekh Nuruddin ar-Raniri sangat luas dan tidak terbatas hanya dalam pengetahuan agama. Ilmunya juga mencakup berbagai pengetahuan­ umum, seperti filsafat, sejarah dan perbandingan agama.

Daftar pustaka

al-Attas, Syed Muhammad Naquib. A Commentary on the Hujjatu’l Siddiq of Nur ad-Din ar-Raniri. Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986.
–––––––. Comments on The Re-examination of ar-Raniri’s Hujjatu’l­ Siddiq: A Refutation. Kuala Lumpur: Museums Department, 1975.
–––––––. “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh,” Mono­graph of the Royal Asiatic Society, Malaysian Branch, No. 111, Singapura, 1966.
al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia Diungkap Al-Qur’an, terj. Jakarta: Firdaus, 1991.
Daudi, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syaikh Nuruddin ar-Raniry. Jakarta: Rajawali, 1983.
–––––––. Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
ar-Raniri, Nuruddin. Bustan as-Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pus-taka, 1966.

Ahmad M. Sewang