Turunan kedua atau manusia yang masih kecil disebut anak. Al-Qur’an menyebut anak sebagai berita baik, hiburan mata, dan perhiasan hidup. Allah SWT berfirman, “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya…” (QS.19:7); dan “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” (QS.18:46).
Rasulullah SAW sendiri bersabda, “Anak adalah buah hati dan sesungguhnya ia adalah sebagian dari harum-harumnya surga” (HR. at-Tirmizi). Memohon kepada Tuhan agar diberi anak yang saleh merupakan tuntunan agama Islam, sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan doa Nabi Ibrahim AS: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah padaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (QS.37:100).
Anak telah menjadi perhatian ajaran Islam sejak ia belum dilahirkan, bahkan sejak ia belum berbentuk. Ini dapat dilihat pada prinsip agama Islam tentang perkawinan dan pentingnya memelihara kebersihan keturunan. Memelihara kebersihan keturunan adalah salah satu dari lima prinsip (al-Qawa‘id al-Khamsah) yang dirumuskan ilmu usul fikih tentang tujuan syariat dan hukum Islam, yaitu terpeliharanya: jiwa, agama, keturunan, akal, dan harta.
Anak yang lahir dari pasangan orangtua/suami istri yang jauh ikatan kekerabatannya secara genetika mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi anak yang kuat (dari segi fisik dan mental) dan cerdas. Nabi SAW bersabda, “Carilah orang asing (yang bukan kerabat) untuk dikawini supaya tidak membuat anak-anakmu lemah” (HR. at-Tirmizi).
Anak merupakan amanat dari Allah SWT. Sebagai amanat, ia harus dipelihara, diberi bekal hidup, dan dididik agar kelak menjadi manusia yang dewasa secara fisik dan mental. Ia berhak memperoleh perlindungan dari semua yang dapat menghambat, apalagi merusak perkembangannya secara jasmani maupun rohani. Orangtua dan masyarakat berkewajiban memberikan perlindungan tersebut; ibunya, misalnya, wajib menyusuinya selama 2 tahun dan menjaga kesehatannya dengan memberinya makanan bergizi, sedangkan masyarakat wajib menyiapkan sarana pendidikan untuknya.
Berbeda dengan orang dewasa, anak belum bisa berpikir secara abstrak dan belum bisa mengenali dirinya sendiri. Ia peka terhadap gangguan kesehatan fisik atau kecelakaan serta terhadap masalah psikis (jiwa). Perilakunya juga belum stabil.
Perkembangan kepribadian anak dipengaruhi lingkungan hidup anak. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak adalah orangtua. Pada setiap anak terdapat bakat, yaitu kemampuan yang menonjol dalam salah satu aspek kepribadian, yang diperoleh sebagai pembawaan. Belajar dan latihan yang sungguh-sungguh bisa menyebabkan bakat anak berkembang lebih sempurna.
Anak saleh adalah anak yang tumbuh, bahkan setelah menjadi manusia dewasa, mengetahui dan mengamalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, orangtuanya, dan masyarakat di lingkungan hidupnya. Anak durhaka adalah anak yang salah asuh dalam pertumbuhannya; setelah dewasa, ia mengabaikan kewajibannya terhadap orangtuanya dan masyarakat, bahkan melakukan tindakan atau perbuatan kebalikan dari kewajiban tersebut di atas.
Al-Qur’an mengingat kan setiap orangtua agar memelihara anaknya dari siksa api neraka (QS.66:6). Selain itu Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa anak itu merupakan salah satu ujian bagi orangtua (QS.8:28 dan QS.64:15).
Etika Islam tentang penyambutan kelahiran seorang anak antara lain adalah: menunggui kelahirannya, mengucapkan kalimat azan segera setelah ia lahir, menyiapkan dan memberinya nama yang baik, melakukan akikah (penyembelihan kambing, dua ekor apabila yang lahir anak laki-laki atau seekor kambing apabila yang lahir anak perempuan), memotong rambutnya pada saat akikah dan pemberian nama tersebut, dan bersedekah kepada orang miskin pada saat pemotongan rambut tersebut.
Hal-hal itu sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Disembelihkan kambing untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur rambutnya, dan diberi nama” (HR. Hanbali dan at-Tirmizi dari Samrah); “Di antara kewajiban orangtua terhadap anaknya ialah memberinya nama yang baik dan mendidiknya sopan-santun” (HR. al-Baihaqi dari Ibnu Abbas); dan “Hai Fatimah, cukurlah rambutnya (maksudnya: Hasan) dan sedekahkanlah perak untuk orang-orang miskin seberat rambut itu” (HR. Hanbali dan at-Tirmizi dari Ibnu Abbas).
Anak termasuk salah satu dari mereka yang oleh Al-Qur’an disebut muhrim. Dalam ilmu fikih, anak belum termasuk ke dalam kategori mukalaf, yaitu manusia dewasa yang dibebani kewajiban agama seperti salat dan puasa. Hanya saja, agar kelak anak menjadi anak yang saleh, orangtua dan masyarakat berkewajiban mendidiknya untuk mengenal dan mengamalkan kewajiban tersebut sebelum ia dewasa.
Anak, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi salah satu golongan yang berhak menerima waris (ahli waris) atas harta benda yang ditinggalkan orangtuanya yang meninggal dunia. Anak laki-laki yang dimaksud dalam soal waris ialah: (1) anak laki-laki dari orangtua yang mati, (2) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah-seibu dari yang mati, (3) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dari yang mati, (4) anak laki-laki dari paman seayah-seibu, (5) anak laki-laki dari paman seayah, dan (6) anak laki-laki dari anak laki-laki. Adapun anak perempuan yang dimaksud ialah: (1) anak perempuan dari yang mati dan (2) anak perempuan dari anak laki-laki dari yang mati.
Anak laki-laki maupun perempuan terhalang menerima waris karena sebab berikut: (1) perbedaan agama, sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi orang Islam” (HR. Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid); (2) pembunuh, sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Bagi seorang pembunuh tidak ada warisan apa pun” (HR. an-Nasa’i dan Daruqutni [Ali bin Umar bin Ahmad bin Maddi, hafiz dan perawi hadis, ahli qiraah, fikih, dan nahu; w. 385 H/995 M] dari Umar bin Syaib dari ayahnya); dan (3) budak.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ahkam at-Tirkah wa al-Mawarits. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1963. Dewan Ulama al-Azhar. Child Care in Islam. Cairo: t.p., 1985.
Rifai, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Toha Putra, 1978.
Sani, Abdullah. Anak Yang Shaleh. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Sarlito, Wirawan S. “Bagaimana Mendidik Anak Berbakat,” Majalah Keluarga (BP4), No. 220, Oktober 1990.
St Nursiah Hamid