Hakim an-Naisaburi adalah seorang tokoh hadis yang menyusun kitab hadis dengan menggabungkan kriteria Imam Bukhari dan Imam Muslim. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu‘aim al-Bayyi ad-Dabbi at-Tam-hani al-Hakim an-Naisaburi.
Hakim an-Naisaburi lebih dikenal di kalangan para muhaddits (ahli hadis) dengan nama Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, Hakim Abi Abdullah Muhammad bin Abdullah.
Al-hakim merupakan gelar an-Naisaburi dalam bidang hadis yang mengandung pengertian seorang muhaddits yang meneliti dan menguasai seluruh hadis yang diriwayatkan, baik matan (materi hadis), sanad (para penutur hadis), kelemahan dan keunggulan seorang perawi hadis, serta sejarah perawi dan hadis itu sendiri.
Ia mendapatkan pendidikan agama Islam dari ayah dan pamannya sendiri. Pada umur 9 tahun ia mulai belajar hadis, dan sejak umur 13 tahun menekuni ilmu ini secara khusus kepada Abu Hatim bin Hibban (Ibnu Hibban; w. 342 H/952 M), tokoh hadis yang dikenal dengan bukunya Sunan Ibnu hibban.
Hakim an-Naisaburi sendiri dalam kitab hadisnya al-Mustadrak banyak meriwayatkan hadis dari Ibnu Hibban. Dalam pengembangan ilmunya di bidang hadis, ia juga melakukan pengembaraan ilmiah ke Irak, Khurasan (sekarang termasuk daerah Iran), dan Hijaz (sekarang termasuk Arab Saudi).
Ia berulang kali mengunjungi kota-kota yang menjadi tempat para ahli hadis bermukim untuk mendiskusikan hadis yang ditemukannya, sehingga ia yakin akan kebenaran hadis tersebut.
Ia pernah mendiskusikan al-Mustadrak dengan gurunya, Daruqutni (w. 385 H/995 M), yang tinggal di Irak. Kemampuan ilmiah Hakim terhadap hadis dan ilmunya melebihi ulama hadis yang ada di zamannya, sehingga ia dijuluki Imam al-hadits.
Hakim an-Naisaburi pernah menjabat sebagai qadi (hakim) di Nisabur pada 359 H/970 M. Ia kemudian dipromosikan lagi sebagai hakim di Jurjan (sekarang termasuk wilayah Iran), tetapi ia menolak.
Hakim sering mengajak Ibnu Hibban berdiskusi tentang hadis. Terdapat pandangan yang berbeda antara keduanya, khususnya mengenai hadis yang terdapat dalam kitab sahihain (sahih al-Bukhari dan sahih Muslim).
Menurut penilaian Ibnu Hibban, 218 hadis dalam kedua kitab tersebut tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis. Sebaliknya, Hakim an-Naisaburi menerima seluruhnya karena memenuhi kriteria kesahihan hadis.
Sikap Hakim ini sebenarnya berawal dari kekagumannya terhadap Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dianggapnya sebagai tokoh hadis yang tiada bandingannya. Oleh sebab itu kriteria kesahihan hadis dari kedua tokoh tersebut digabungkannya dan kemudian digunakannya untuk meriwayatkan hadis.
Dalam meriwayatkan sebuah hadis, Hakim terkenal sebagai seorang muhaddits yang tasahul (memiliki syarat yang longgar dalam menilai kesahihan sebuah hadis).
Hakim an-Naisaburi meninggalkan karya yang cukup banyak, di antaranya kitab Takhrij al-hadits (Penelitian Hadis), Tarikh an-Naisabur (Sejarah Nisabur), Fada’il al-Imam asy-Syafi‘i (Keunggulan Imam Syafi‘i), Fada’il asy-Syuyukh (Keunggulan Para Guru Hadis), Tarikh ‘Ulama’ an-Naisabur (Sejarah Ulama Nisabur),
al-Madkhal fi Ushul al-hadits (Pengantar Kaidah Hadis), dan al-Mustadrak ila as-sahihain (himpunan hadis yang tidak diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim berdasarkan kriteria keduanya atau kriteria yang ditentukan oleh salah seorang di antara keduanya).
Hakim menetapkan kriteria kesahihan hadis sendiri sehingga kitab itu merupakan kitab hadis tambahan terhadap sahih al-Bukhari dan sahih Muslim.
Kitab al-Mustadrak ila as-sahihain yang terdiri dari 4 jilid dan memuat 8.690 hadis ini merupakan karya kebanggaan Hakim an-Naisaburi yang ditulisnya pada usia 52 tahun.
Hadis dalam kitab tersebut ada kalanya terdapat pula dalam kitab hadis lainnya seperti kitab as-Sunan (kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, yang di dalamnya bercampur hadis sahih, hasan dan daif) atau al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut).
Hanya saja hadis dalam al-Mustadrak berbeda jalur dengan hadis yang sama dalam kitab as-sunan atau al-musnad. Perbedaan terlihat pada tingkatan sahabat yang menerima langsung dari Nabi SAW dan generasi berikutnya.
Perbedaan lainnya, sebagaimana diungkapkan Hakim, adalah hadis-hadis dalam al-Mustadrak memenuhi kesahihan hadis seperti yang terdapat dalam sahih al-Bukhari dan sahih Muslim hadis-hadis ini tidak diriwayatkan kedua imam hadis tersebut.
Namun setelah dilakukan penelitian oleh ulama sesudahnya, ternyata tidak semua hadis dalam kitab tersebut memenuhi kriteria kesahihan hadis yang ditetapkan Bukhari dan Muslim.
Berdasarkan kenyataan di atas, ulama hadis merinci kandungan kitab al-Mustadrak sebagai berikut.
(1) Hadis yang tidak terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan sahih Muslim, baik lafal maupun maknanya, tetapi tidak dipungkiri bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab lain.
(2) Hadis yang berbeda lafalnya dengan yang ada dalam kitab sahih al-Bukhari dan sahih Muslim, tetapi maknanya sama.
(3) Hadis yang melengkapi kitab sahih al-Bukhari dan sahih Muslim.
(4) Hadis yang menggunakan jalur yang tidak dipergunakan dalam kitab sahih al-Bukhari dan sahih Muslim.
Hakim an-Naisaburi juga memberikan kontribusinya dalam bidang ilmu hadis. Ia menyusun buku Ma‘rifah ‘Ulum al-hadits dan al-Madkhal fi Ushul al-hadits yang membicarakan ilmu hadis dirayah. Kedua buku ini dijadikan rujukan oleh para muhaddits generasi berikutnya sampai sekarang.