Ali Bin Husein Zainal Abidin

(Madinah, 36 H/657 M – 95 H/714 M)

Ali bin Husein Zainal Abidin adalah seorang di antara sembilan fuqaha salaf (ahli hukum Islam terdahulu) terkemukaa di Madinah. Ia adalah keturunan Rasulullah SAW. Nama aslinya adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ia terkenal dengan nama Zainal Abidin karena gemar beribadah, juga nama as-Sajjad karena rajin sujud (salat).

Menurut Abu Qasim az-Zamakhsyari dalam bukunya Rabi‘ al-Abrar, ibu Zainal Abidin (Syahzanan atau Syahbanu, putri Yazdajird bin Anusyirwan) adalah keturunan Kisra, raja Persia. Ayahnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib, adalah keturunan Rasulullah SAW melalui nasab Fatimah az-Zahra. Ia anak tunggal karena ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya.

Ali bin Husein Zainal Abidin dibesarkan dan dididik di lingkungan keluarga Rasulullah SAW dan diasuh oleh ayahnya. Ia satu-satunya putra Husein bin Ali yang selamat dari pembantaian yang dilakukan tentara Yazid bin Mu‘awiyah (khalifah ke-2 Umayah, 61 H/680 M–64 H/683 M) di Karbala pada 10 Muharam 61 H. Pada waktu itu ia sedang sakit sehingga tidak ikut berperang membela ayahnya dan 72 orang pengikutnya yang gugur sebagai syuhada di depan matanya.

Ia sempat ditawan, dibawa ke Kufah untuk dihadapkan kepada Ubaidullah bin Ziyad, gubernur yang dijadikan Yazid sebagai penguasa di sana, kemudian dibawa ke Damsyiq (Damascus) untuk dihadapkan kepada Khalifah Yazid bin Mu‘awiyah. Namun akhirnya ia dibebaskan dan diantarkan pulang ke Madinah.

Pengalamannya pada peristiwa Karbala yang tragis tampak berkesan pada dirinya. Ia menjauhi cara hidup yang penuh kezaliman dan kesesatan, lalu memilih jalan beribadah (mendekatkan dirinya) kepada Allah SWT. Anaknya, Imam Muhammad al-Baqir, bercerita tentang ayahnya, “…setiap kali ia mendapatkan nikmat Allah, ia langsung bersujud, setiap kali ia membaca ayat Al-Qur’an tentang sujud, ia pun selalu bersujud, setiap selesai dilaksanakannya salat fardu, ia bersujud, setiap kali ia damaikan orang yang berselisih, ia pun melakukan sujud. Disebabkan seringnya ia bersujud tampak bekas sujud di wajahnya, karena itu pula ia dijuluki as-Sajjad (orang yang senang sujud)….”

Ali bin Husein Zainal Abidin adalah seorang sufi, wali Allah SWT yang telah mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan hal gaib secara spiritual). Hal ini terbukti, ketika Abdul Malik bin Marwan mengirim surat kepada Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (w. 714), panglima yang mewakili Dinasti Umayah di Irak pada masa Marwan bin Hakam. Surat itu antara lain berisi, “…jauhkanlah diriku dari lumuran darah Bani Abdul Muthalib sebab kulihat keluarga Abu Sufyan, setelah bergelimang di dalam dosa, tidak lagi mampu bertahan kecuali dalam waktu yang tidak lama….”

Surat itu dikirimkan kepada Hajjaj dengan pesan agar merahasiakannya. Namun hal ini telah dibukakan atau dikasyfkan Allah SWT kepada Ali bin Husein Zainal Abidin, yang kemudian segera menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan:

“Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Dari Ali bin Husein kepada Abdul Malik bin Marwan. Amma ba‘d. Anda telah menulis surat hari ‘ini’, bulan ‘ini’, kepada Hajjaj mengenai keamanan kami, Bani Abdul Muthalib. Semoga Allah SWT memberi balasan sebaik­baiknya untuk Anda. Wassalam.”

Surat dikirim melalui seorang pelayannya ke Syam (kini Suriah), tempat Abdul Malik bin Marwan. Khalifah itu mengetahui melalui surat itu, bahwa tanggal pengirimannya persis sama dengan tanggal suratnya untuk Hajjaj. Setelah diselidiki, ternyata keberangkatan utusan Ali bin Husein dari kota Madinah bertepatan dengan jam dan hari keberangkatan utusannya sendiri menujukediaman Hajjaj. Ia akhirnya menyadari bahwa Allah SWT telah mengkasyfkan peristiwa itu kepada Ali bin Husein. Ia pun mengirimkan hadiah dan sepucuk surat pada Ali bin Husein, agar ia berkenan mendoakan kebaikan baginya.

Walaupun banyak beribadah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, Ali bin Husein Zainal Abidin tidak pernah mengabaikan masyarakat di sekitarnya. Ia selalu tampil sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat di mana pun ia berada. Ia selalu memanfaatkan dirinya sebagai sumber ilmu dan panutan akhlak mulia, demikian komentar dari Zuhri, Ibnu Khallikan, Ibnu Hajar, al-Ghazali, serta ulama dan sufi lainnya.

Peristiwa Karbala dengan segala akibatnya memberikan pelajaran penting baginya, betapa sebagian besar masyarakat Islam pada waktu itu telah diliputi kebingungan, kebekuan pikiran, serba salah dalam bertindak, dan selalu terbentur dalam menghadapi teror dan kezaliman para penguasa. Sebagian lagi bersikap acuh tak acuh, menghindari protes, dan membiarkan apa saja yang terjadi, walaupun hal itu diketahui akan membawa kehancuran.

Ali bin Husein bertindak dengan sangat hati-hati membenahi keadaan masyarakat, menyadarkan mereka akan nilai luhur ajaran Islam. Ia mengupayakan perbaikan secara menyeluruh dan membebaskan mereka dari sifat apatis serta kemerosotan moral.

Di sisi lain, ia selalu menghindari keterlibatan dalam pemberontakan terhadap pemerintahan pada masanya. Menurut pendapatnya, tindakan itu tidak banyak menguntungkan umat, tetapi justru akan menambah banyak darah yang tertumpah, sedangkan keadilan pemerintah yang didambakan tidak bisa terwujud dalam kenyataan.

Ia menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan tirani dan kekuatan sewenang­-wenang yang menempatkan dirinya pada posisi sulit untuk mengembangkan potensi umat. Namun, ia selalu berusaha mencari jalan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam dengan penuh kearifan. Salah satu jalan yang ditempuhnya ialah menyusun doa munajat, yang diabadikannya dengan bentuk tulisan yang berjudul as-Sahifah as-Sajjadiyyah. Tujuan tulisannya ini adalah untuk mengobati penyakit rohani, sekaligus menyingkapkan hikmah dan etika pengabdian kepada Allah SWT. Dengan doa itu seorang mukmin dapat memanjatkan permohonan kepada Tuhannya, terutama dalam situasi yang mengimpit, ketika cobaan hidup datang menerjang. Dengan doa tersebut, diharapkannya manusia dapat mengadukan segala sesuatu kepada Tuhannya, sekaligus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Setelah posisinya semakin membaik, ia melangkah lebih jauh, berupaya menegakkan hak asasi manusia, sebagaimana tercermin dalam bukunya Risalah al-suquq. Dalam risalah ini diungkapkannya hak dan kewajiban manusia terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama insani, dan makhluk Allah SWT lainnya. Mengenai hak dan kewajiban sesama manusia, dijelaskan antara lain hak dan kewajiban rakyat kepada pemerintah, dan sebaliknya hak dan kewajiban pemerintah kepada rakyat yang dipimpinnya.

Risalah ini ditulis pada abad ke-7, jauh sebelum adanya Magna Charta yang dipaksakan oleh kaum kesatria Inggris terhadap raja mereka pada 1215 dan kemudian dikembangkan menjadi “Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Manusia” yang disepakati secara internasional pada 1948.

Pada 86 H/705 M Khalifah Abdul Malik bin Marwan meninggal dunia. Kedudukannya digantikan anaknya, al-Walid bin Abdul Malik. Timbul kecemburuan pada diri Khalifah Walid melihat Ali bin Husein Zainal Abidin semakin dikagumi dan ditaati rakyat.

Khalifah mengkhawatirkan kelestarian kursi kekhalifahannya. Maka pada 95 H/714 M, khalifah itu, melalui saudaranya Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, mengirim seseorang untuk mendekati Ali bin Husein Zainal Abidin, kemudian meracuninya. Ali bin Husein meninggal dan dimakamkan di Baqi (Madinah), dekat pusara pamannya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, ‘Aisyah. Zainab Batalat Karbala. Cairo: Dar al-Hilal, 1966.
al-Amin, Abdul Wadud. Imam al-‘Ali Zain al-‘Abidin. Beirut: Dar at-Tarjih al-Islami, 1980.
al-Makki, Ibnu Hajar al-Haitami. as-Sawa’iq al-Muhriqah. Cairo: Maktabah Cairo, 1965.
Subhi, Ahmad Mahmud. Nazariyyat al-Imamah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
asy-Syablanji, Mu’min. Nur al-Absar. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Ahmadi Isa