Ali Akbar adalah seorang ilmuwan muslim dari Sumatera Barat. Ia dikenal sebagai dokter pertama di Indonesia yang banyak membahas problem seksual dalam perkawinan dan rumahtangga yang dikaitkan dengan tuntunan ajaran Islam.
Ali Akbar lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Islam yang taat beragama. Pendidikan informalnya dimulai dengan belajar mengaji Al-Qur’an sampai tamat, kemudian masuk Madrasah Diniyah di surau Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi. Pendidikan formalnya berawal di HIS, VSM bersubsidi di Bukittinggi. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Ambachtsschool dan MULO di kota yang sama. Setelah tamat dari MULO 1934, ia melanjutkan studi ke sekolah dokter NIAS di Surabaya sampai 1942. Studi kedokterannya diselesaikan di IKA DAIGAKU (Sekolah Dokter Tinggi) di Jakarta 1943.
Dua tahun setelah meraih gelar dokter, Ali Akbar mengawali kariernya sebagai dokter di Painan, Sumatera Barat. Pada 1948 ia diangkat menjadi anggota Dewan Penasihat Gubernur Militer Sumatera Tengah dan sekretaris lokal Joint Committe III sampai 1950. Selanjutnya ia ditugaskan sebagai dokter di kedutaan RI di Arab Saudi dan ditempatkan di kota Mekah. Di kota suci inilah ia banyak mendalami ajaran Islam. Selain itu, selama bertugas di Arab Saudi, ia banyak melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam, seperti Iran, Mesir, dan Libanon. Tugasnya di kedutaan berakhir 1954 dan kemudian ia dipanggil kembali ke tanah air.
Setelah berada kembali di Indonesia, Ali Akbar dipilih menjadi anggota DPR (1955–1960). Sebagai anggota DPR ia pernah menjadi ketua misi parlemen RI dalam kunjungan ke Iran 1955. Pada 1956 ia terpilih sebagai wakil ketua misi ulama Islam dalam kunjungan ke Cina. Lepas dari DPR, pada 1960 ia diaktifkan kembali sebagai pegawai Departemen Kesehatan dan ditempatkan pada bagian fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Di UI kariernya menanjak terus.
Pada 1966 ia diangkat menjadi ketua Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’, di samping sebagai dosen. Pada 1968 ia diangkat sebagai lektor kepala Ilmu Faal FKUI dan mendapat penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial. Pada tahun itu juga ia terpilih sebagai ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (YARSI) sekaligus merangkap sebagai dekan Sekolah Tinggi Kedokteran YARSI di Jakarta.
Setelah pensiun sebagai pegawai negeri, Ali Akbar aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada 1973 ia terpilih sebagai anggota pengurus Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) Pusat (sekarang Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan). Di BP4 ia juga dipercaya sebagai redaktur khusus Nasehat Perkawinan, majalah yang diterbitkan oleh BP4 Pusat, sampai 1980.
Kontribusinya dalam dunia ilmu terbukti dari sejumlah makalah dan artikel yang ditulisnya, terutama dalam majalah Nasehat Perkawinan. Tema tulisannya pada umumnya mengacu pada masalah perkawinan dan kehidupan rumahtangga. Kumpulan dari berbagai artikelnya dalam Nasehat Perkawinan diterbitkan menjadi buku Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Antara, 1979).
Ali Akbar terkenal dengan resep cinta kasih dalam mempertahankan keutuhan perkawinan dan kedamaian dalam rumahtangga. Menurutnya, cintakasih adalah cinta yang ditimbulkan Tuhan dalam hati suami-istri. Cinta kasih inilah yang melahirkan perasaan ketenangan dan ketenteraman yang diistilahkan Al‑Qur’an dengan rasa sakinah seperti diterangkan dalam firman Allah SWT yang berarti:
“Dan di antara tanda‑tanda, kekuasaan‑Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri‑istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan‑Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar‑benar ter-dapat tanda‑tanda bagi kaum yang berpikir” (QS.30:21).
Lebih jauh dijelaskan oleh Ali Akbar bahwa cinta‑kasih sangat berbeda dengan cinta‑berahi yang timbul di hati pria dan wanita yang saling tertarik satu sama lain. Cinta‑berahi bersumber dari nafsu libido yang muncul karena pengaruh lahiriah atau keindahan jasmaniah.
Menurut Ali Akbar, dalam hal membina rumahtangga yang bahagia, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih pasangan hidup. 1) Faktor umur. Pengalaman menunjukkan bahwa karena beberapa sebab wanita lebih cepat tua terlihat dari pria dan karenanya suami sebaiknya lebih tua 3‑6 tahun dari istrinya.
2) Faktor pendidikan. Sebaiknya dipilih istri yang pendidikannya tidak begitu jauh berbeda dengan suami, agar istri dapat memahami aspirasi suami dan dapat memberikan bantuan jika diperlukan.
3) Faktor agama. Sebaiknya suami‑istri seagama karena perbedaan agama dan kepercayaan sering membawa konflik dalam rumahtangga dan membingungkan anak‑anak dalam pendidikan keagamaan. 4) Faktor keturunan. Calon suami‑istri perlu meneliti keturunan masing‑masing, khususnya yang berkaitan dengan penyakit keturunan, seperti idiot dan penyakit gila.
5) Faktor kesukuan. Sebaiknya calon suami‑istri berasal dari satu suku bangsa karena perbedaan adat‑istiadat dan budaya tidak jarang menimbulkan konflik dalam rumahtangga.
Tentang pendidikan seks bagi remaja, Ali Akbar menjelaskan bahwa pendidikan seks boleh diberikan asalkan disertai dengan dasar iman dan pendidikan agama. Tanpa pendidikan agama, pendidikan seks justru akan menambah rusaknya moral remaja. Tuntunan ajaran agama yang berkaitan dengan pendidikan seks meliputi hal berikut.
1) Islam memberikan penegasan mengenai adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam hal anatomi, fisiologi, dan psikologi. Misalnya wanita mengalami haid, hamil, melahirkan, dan menyusui.
2) Islam menjelaskan beberapa hukum yang berkenaan dengan kehidupan seks, seperti kewajiban memisahkan tempat tidur bagi anak laki‑laki dan perempuan yang beranjak dewasa, perlunya anak laki‑laki dikhitankan, dan mandi wajib sesudah junub dan mimpi yang disertai pengeluaran mani bagi laki‑laki.
3) Islam memberikan tuntunan mengenai tata‑cara hubungan suami‑istri, seperti diterangkan dalam hadis riwayat Aisyah binti Abu Bakar, ketika ia ditanya bagaimana cara Rasulullah SAW berjunub, ia menjawab, “Dia tidak melihat punyaku dan aku pun tidak melihat punyanya.”
Karena itu, tujuan pendidikan seks dalam Islam ialah hidup bahagia dalam rumahtangga, yang akan memberikan sakinah (ketenangan), mawadah, cinta‑kasih, rahmah (kasih sayang), serta keturunan muslim yang taat kepada Allah SWT dan selalu mendoakan orangtuanya.
Mengenai etika seks dalam Islam, Ali Akbar menjelaskan bahwa seks adalah suatu naluri kekuatan yang sangat dahsyat yang dapat memberikan nikmat bagi manusia dalam rangka hidup berumahtangga. Sebaliknya, naluri seks yang tidak terkendali akan menyebabkan kehancuran manusia, kegelisahan, dan teror, sehingga manusia tersebut akan melakukan hubungan seks dengan siapa saja tanpa pernikahan.
Islam mengajarkan bahwa hubungan seks hanya dapat dilakukan melalui pernikahan yang sah. Segala bentuk hubungan seks di luar pernikahan, yang sering disebut free sex (seks bebas) adalah zina dan hukumnya haram (QS.17:32). Bahkan, untuk mencegah timbulnya hal yang mengarah kepada zina, Islam melarang laki-laki dan perempuan melakukan khalwat (berada berdua‑duaan dalam satu ruangan), seperti dinyatakan dalam sebuah hadis yang berarti:
“Jauhilah berduaan dengan perempuan. Demi Allah, yang diriku berada dalam kekuasaan‑Nya, jika seorang laki‑laki berduaan dengan perempuan, maka pastilah setan menyelinap di antara keduanya” (HR. Tabrani).
Lebih lanjut Ali Akbar menjelaskan bahwa dalam soal hubungan seksual, Islam memberikan peraturan dan petunjuk yang jelas, antara lain Islam melarang homoseksualitas, yaitu hubungan seks bagi orang yang sejenis, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan (QS.7:80–84).
Islam juga mengutuk berbagai penyimpangan dalam hubungan seksual, seperti masochism (laki‑laki mencari kepuasan seksual dengan cara disiksa dan dipukul oleh wanita pasangannya), sadisme (lawan dari masochisme, laki‑laki mendapat kepuasan seksual dengan jalan menyiksa wanita pasangannya), dan voyeurisme (mencari kepuasan seksual dengan mengintip perempuan telanjang, sedang mandi, atau berganti pakaian).
Khusus mengenai hubungan seksual di antara suami-istri, Ali Akbar menekankan bahwa kepuasan dari hubungan tersebut sangat tergantung pada suasana batin dan kondisi kejiwaan kedua pasangan suami‑istri dan sama sekali tidak tergantung pada teknik sanggama yang dilakukan. Berbagai teknik sanggama yang diajarkan semata‑mata hanya menambah dan melengkapi kepuasan, bukan faktor penentu timbulnya kepuasan seksual yang hakiki. Mengenai hubungan seksual bagi suami‑istri ini ada hadis Nabi SAW, yang berarti:
“Apabila kamu mencampuri istrimu, lakukanlah dengan sungguh-sungguh, dan jika kamu sudah selesai sebelum istrimu selesai, janganlah tinggalkan ia sehingga ia selesai pula” (HR. Bukhari).
Mengenai kehidupan rumahtangga pada abad modern, Ali Akbar mengatakan bahwa keutuhan rumahtangga di masa sekarang lebih banyak dihadapkan pada berbagai godaan dan problem sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta akibat pergaulan bebas yang melanda kehidupan masyarakat. Karena itu, kedua pihak, suami dan istri, harus sama‑sama aktif dan secara sungguh-sungguh merawat dan memupuk cinta‑kasih agar perkawinan mereka kekal dan bahagia.
Daftar Pustaka
Akbar, Ali. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara, 1979.
BP4 Pusat. “Keluarga dan Kecemburuan Sosial,” Nasehat Perkawinan, 253, Juli 1993.
Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’, Kementerian Kesehatan R.I. Kumpulan Masalah Kesehatan. Jakarta: Sastra Kencana, 1956.
Taha, Nasharuddin. Pedoman Perkawinan Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
Musdah Mulia